Pengamat Unair: Jokowi Semakin Memanfaatkan Kekuasaan Menjelang Akhir Jabatannya

author Danny

- Pewarta

Minggu, 22 Okt 2023 23:30 WIB

Pengamat Unair: Jokowi Semakin Memanfaatkan Kekuasaan Menjelang Akhir Jabatannya

Optika.id - Polemik putusan MK yang belakangan ini terjadi membuat persepsi masyarakat menganggap bahwasannya Jokowi telah memanage Mahkamah Konstitusi dengan memutuskan usia Calon Wakil Presiden minimal 40 tahun atau yang pernah menjadi Kepala Daerah. Dengan ini, terbukti bahwasannya sekan-akan MK itu mempunyai singkatan Mahkamah Keluarga. 

Ia mengatakan, kepemimpinan Jokowi akhir-akhir ini sedikit unik. Selain itu, banyak juga berbagai macam lembaga survei yang jelas-jelas membayar untuk memberikan elektabilitas pasangan agar tinggi. Dapat dilihat bahwa elektabilitas Anies selalu berada di bawah, meskipun setelah mendeklarasikan dengan Cak Imin, hasilnya tetap sama. 

Baca Juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

"Kecuali lembaga survei yang kredibel, itu tidak, jadi semuanya itu by desain dari langkah-langkah Jokowi yang seperti bermain teater. Fenomena ini meneruskan demokrasi, justru malah di Indonesia ini menghancurkan demokrasi. Inilah yang berbahaya, fenomena kepemimpinan ini adalah fenomena tidak penting dan itu bagian dari disruptif organisasi," ujar Aribowo dalam pantauan Optika.id secara daring. 

Deklarasi ini, jelas menghadirkan banyak penjagaan jarak. Selain karena Gibran berbelok ke Prabowo, sebelumnya Kaesang juga merapat ke PSI. Justru, dengan perilaku Jokowi ini akan timbul hubungan menghangat bersama Bu Mega. Langkah-langkah semakin tidak masuk akal dilakukan, indikatornya bagaimana orang-orang, pada satu ujung kekuasaan kepemimpinan itu mereka tidak punya kekuasaan penuh. Menjelang kekuasaan berakhir, demokrasi jalan tapi memberikan keleluasaan kepada siapapun. 

Baca Juga: Temu Kangen Keluarga Besar Bani Hasan: Guyup, Rame, dan Gayeng

"Teori demokrasi dimana-mana, demokrasi bisa jalan kalau oposisi berjalan. Ini sudah, dari sekarang kita lihat dulu zaman SBY ada semacam buzzer tapi tidak desruptif seperti zaman Jokowi. Tidak menjelek-jelekan isinya, tetapi secara sistematis melakukan kekerasan. Itu yang banyak orang megatakan serangan kepada Anies itu dari udara, darat dari kiri dan kanan. Ruang itu terbatas, mereka tidak punya keleluasaan, termasuk juga untuk memanage. Mungkin ada kecenderungan suara Anies akan naik saat terbuka, kalau Prabowo dengan Gibran, itu menarik. Tetapi tidak merubah konselerasi, peta politik akan luar biasa, terutama antara Ganjar dan Prabowo. Itu memberikan suara yang luar biasa, kalau dia dengan Gibran, dia bisa potensial untuk kalah," pungkasnya. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Akan tetapi, kesimpulan dari banyak lembaga survei, Prabowo itu suara bergantung pada calon presiden bukan wakilnya. Wakil itu paling mendapatkan dukungan 2-3 persen, karena itu potensi untuk kalah itu terbuka pada Prabowo yang semula Elektabilitasnya besar.

"Kedua, AMIN kalau bisa menterjemahkan isu program tentang perubahan, itu secara konkrit mungkin akan menambah suara. Berkali-kali tim Ganjar harus menang di satu putaran, kalau dua putaran pasti kalah. Ada kemungkinan irisan suara setelah endorse dari Jokowi. Maka dari itu, suara Prabowo dan Anies tidak beririsan, kalau Prabowo kalah di putaran kedua, suaranya bisa jadi ke Anies. Kalau Prabowo-Ganjar putaran kedua maka Ganjar akan kalah, jika Anies-Ganjar pun, maka bisa jadi berpotensi kalah," pungkasnya. 

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU