Optika.id - Pada Selasa 31 Oktober 2023, jam 9 WIB saya selaku Pelapor akan menyampaikan aduan pelanggaran etika di hadapan Majelis Kehormatan MK.
Saya berpendapat, tidak cukup hanya memberhentikan dengan tidak hormat Hakim Konstitusi Anwar Usman, tetapi lebih jauh, Putusan MK Nomor 90 yang cacat moral konstitusional juga harus dinyatakan tidak sah, sehingga konsekuensinya tidak bisa menjadi dasar untuk pendaftaran Pilpres, alias Gibran Jokowi batal menjadi cawapres.
Baca Juga: Denny Indrayana: Gibran Akan Jadi Cawapres Prabowo
Tidak hanya itu Mega-Skandal Mahkamah Keluarga seharusnya membuka pintu lebar-lebar untuk potensi pemecatan bukan hanya Anwar Usman, tetapi juga impeachment Jokowi sebagai Presiden RI, karena dugaan telah merusak kemerdekaan Mahkamah Konstitusi, dengan ikut cawe-cawe dalam Putusan syarat umur Capres-Cawapres di MK, demi menggolkan dinasti dan kroni keluarga Jokowi melalui pencawapresan Gibran.
Bukan saja keputusan itu bertentangan dengan prinsip imparsialitas dimana seharusnya Hakim Terlapor mengundurkan diri sesuai konsep judicial disqualification, tetapi yang lebih mengganggu adalah, Putusan 90 terindikasi merupakan hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir.
Sehingga, dengan semua elemen tertinggi demikian, tidaklah patut jika
pelanggaran etika dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan kejahatan yang biasa-biasa saja, dan cukup dijatuhkan sanksi etika semata. Kerusakan yang diakibatkan terlalu dahsyat, sehingga prinsip bahwa putusan Mahkamah Konstitusi harus dihormati sebagai yang terakhir dan mengikat (final and binding), kali ini harus dibuka opsi pengecualian (exception), justru demi menjaga kewibawaan, kehormatan dan keluhuran Mahkamah Konstitusi itu sendiri.
Dalam kondisi yang sedemikian penting dan genting itulah, peran Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mesti dijadikan pintu masuk, untuk melakukan koreksi mendasar. Bukan hanya dengan
menjatuhkan sanksi etis berupa pemberhentian dengan tidak hormat
kepada Hakim Terlapor, tetapi yang lebih penting adalah menilai dan dimanipulasi oleh Hakim Terlapor dan kekuatan kekuasaan yang mendesain kejahatan yang terencana dan terorganisir tersebut (planned and organized crime).
Baca Juga: Polri Akan Tangkap Harun Masiku, Begini Tanggapan Denny Indrayana
Itu sebabnya, Pelapor dengan penuh kerendahan hati berdoa agar
Majelis Kehormatan Mahkamah Yang Mulia, berkenan menggunakan
amanah yang sekarang ada di pundak Majelis Yang Mulia untuk bukan
hanya menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, ataupun Pemilihan
Presiden 2024, tetapi lebih jauh, menyelamatkan Negara Hukum
Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pelapor mengusulkan Putusan 90 tidak boleh dimanfaatkan, ataupun
dinikmati keuntungannya, oleh para pihak yang telah dengan sengaja
memanfaatkan hubungan kekerabatan antara Hakim Terlapor dengan
Presiden Joko Widodo. Pemanfaatan relasi keluarga demikian, bukan hanya koruptif, kolutif dan nepotis, tetapi juga telah merendahkan dan mempermalukan lembaga Mahkamah yang seharusnya dijaga dengan segala daya dan upaya kehormatannya.
Karena itulah, Pelapor mengusulkan Putusan 90 tidak boleh digunakan
sebagai dasar untuk maju berkompetisi dalam Pilpres 2024. Perlu ada putusan provisi untuk menunda pelaksanaan dari Putusan 90 yang menabrak nalar dan moral konstitusional tersebut. Lebih jauh, dengan menerapkan penyelamatan keadilan konstitusional (constitutional
restorative justice), maka Majelis Kehormatan Yang Mulia semoga berkenan untuk menyatakan tidak sah Putusan 90, atau paling tidak memerintahkan agar Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan
ulang perkara nomor 90 tersebut, dengan komposisi hakim yang berbeda, tanpa Hakim Terlapor.
Baca Juga: Jabatan Denny Indrayana Sebagai Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia Dinonaktifkan Sementara
Lebih jauh, untuk menghindari putusan Majelis Kehormatan tidak dilaksanakan dalam tenggat waktu Pilpres yang sangat sempit, dan menghindari upaya banding disalahgunakan untuk menunda eksekusi, maka Pelapor meminta dilaksanakannya putusan Majelis Kehormatan, meskipun ada upaya hukum banding (uitvoerbaar bij voorraad).
Pelapor sangat mengerti dilema dan tidak mudahnya melakukan judicial activism yang demikian. Namun, ketika kita berhadapan dengan pelanggaran etik dan kejahatan yang luar biasa, maka
diperlukan juga tindakan penegakan hukum yang luar biasa.
Editor : Pahlevi