Optika.id - Berdasarkan laporan dari World Health Organization (WHO) atau badan kesehatan dunia, ada sekitar 703.000 orang yang bunuh diri tiap tahunnya. Dalam laporan tersebut, WHO juga menyebut bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian keempat terbesar di dunia pada kelompok usia 15 hingga 29 tahun.
Sepanjang tahun 2023 dari Januari hingga Oktober, kejadian bunuh diri banyak menimpa mahasiswa. Terbaru pada Oktober 2023 lalu ada seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang yang melakukan aksi nekat bunuh diri dengan melompat dari Mall Paragon, Semarang pada Selasa, (10/10/2023) lalu.
Baca Juga: Jokowi Tolak ke Jawa Timur Usai Ada Rancangan Demo Mahasiswa
Sehari setelahnya, mahasiswi dari perguruan tinggi swasta di Semarang juga ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya.
Lantas, kenapa banyak mahasiswa yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya?
Azmul Fuady Idham, M. Arief Sumantri dan Puji Rahayu dari Fakultas Psikologi Universitas Airlangga (Unair) menjawabnya dalam riset yang berjudul Ide dan Upaya Bunuh Diri pada Mahasiswa yang terbit di Jurnal Intuisi (2019).
Berdasarkan penelitian mereka, hasilnya 36 dari 62 responden rentang usia 17 tahun ke atas atau sekitar 58,1% memiliki kecenderungan ide dan upaya bunuh diri yang tinggi.
Pada beberapa individu terdapat jarak antara ide bunuh diri terhadap tindakan bunuh diri. Ide bunuh diri biasanya telah dipikirkan terlebih dahulu dalam beberapa hari, minggu, ataupun tahun, tetapi pada beberapa individu mungkin tidak pernah memikirkannya sebelumnya, dengan kata lain sering terjadi secara impulsif. tulis Azmul dan kawan-kawannya, dikutip Selasa (21/11/2023).
Dari hasil penelusuran Azmul, cara yang dipilih korban bunuh diri, antara lain gantung diri, lompat dari gedung, serta di rel kereta.
Terlepas dari apa masalah yang melatarbelakangi kejadian bunuh diri pada mahasiswa, Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Nizam menyebut bahwa kampus perlu membangun lingkungan yang sehat, aman dan nyaman bagi seluruh warganya.
Dalam keterangannya di media, dia berharap kampus bisa menciptakan lingkungan yang sehat secara holistic, jasmani, psikologis atau emosional, spiritual, intelektual, sosial, finansial dan organisasi. Sehingga, bisa membangun resiliensi mahasiswa dan dosen terhadap gangguan psikologis kejiwaan, mengurangi stress dan menghindari depresi.
Di sisi lain, Psikolog Lia Sutisna Latif menjelaskan banyak penyebab utama bunuh diri yang terjadi di kalangan mahasiswa yakni depresi. Lia menekankan bahwa secara gender, perempuan mempunyai prevalensi yang lebih tinggi untuk melakukan bunuh diri dibanding laki-laki. Adapun masalah depresi yang menimbulkan ide mengakhiri hidup tersebut menurut Lia adalah lantaran mereka merasa tak punya harapan lagi.
Kedua, disebabkan juga karena adanya kematian orang terdekat. Misalnya, salah satu orang tuanya meninggal, kata Lia, kepada Optika.id, Selasa (21/11/2023).
Baca Juga: Psikolog Asep Haerul Gani: Generasi Muda Gampang Cemas dan Overthinking
Penyebab depresi lainnya adalah karena putusnya relasi hubungan dengan seseorang, konflik dengan keluarga, atau kegagalan dalam studi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Itu kan membuat mahasiswa atau mahasiswi merasakan hal yang berat, ujarnya.
Luka emosional yang bertumpuk dan intens, sambung Lia, membuat seseorang melakukan tindakan yang cukup nekat. Misalnya, seseorang yang putus hubungan dengan kekasihnya, ditekan keluarga perihal kelulusan dan prestasi studinya, dan penyebab lainnya seperti bullying atau perundungan.
Hal tersebut diperparah dengan individu yang mengalami depresi kesusahan mencari pelayanan konseling yang membantu dirinya.
Apakah kampus juga memiliki badan pelayanan konseling untuk mahasiswa-mahasiswi? Dia merasa dirinya kuat dan bisa menangani hal tersebut tanpa dukungan keluarga atau justru keluarganya tidak tahu kalau selama ini anaknya itu mengalami depresi. tutur Lia.
Lebih lanjut, mahasiswa masuk ke dalam perkembangan individu akhir remaja pada usia 18 atau 19 tahun. Di masa-masa itulah timbul banyak tuntutan dari dirinya maupun orang lain. alhasil, mereka harus lebih fokus untuk masa depan serta banyak peran hidup yang sudah harus lebih matang.
Baca Juga: Pasar Bandeng Gresik: Mahasiswa PMM UMG Terjun ke Warisan Budaya Lokal
Misalnya, kayak kebutuhan untuk emosi menjadi lebih stabil, memikirkan ide tertentu, kemudian mampu untuk lebih konsisten terhadap minatnya. Kemudian, ada perubahan fisik juga dan harus bisa menerima terhadap perubahan fisik dirinya. Kemudian harus belajar untuk peranan sosial yang lebih baik. kata dia.
Di sisi lain, yang membuat bingung para mahasiswa adalah kebebasan yang mereka dapatkan. Pasalnya, mahasiswa sudah mencapai kebebasan karena lebih mandiri dibandingkan tugas perkembangan mereka di masa kanak-kanak, akan tetapi di sisi lain mereka juga masih tergantung pada orang tuanya. Jadi, kata Lia, kebingungan-kebingunan tersebut tetap ada.
Faktor lainnya adalah para mahasiswa ini dihadapkan dengan berbagai penilaian hidup dari orang lain sehingga menekan mereka. Tugas yang cukup banyak di usia remaja akhir tersebut bisa membuat mahasiswa kewalahan, dan, apabila tidak ada pegangan yang cukup kuat maupun mereka mendapatkan support system dari sosial dan keluarganya, maka mereka bisa menjadi lebih rentan.
Maka dari itu, Lia menyarankan apabila ada orang terdekat yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya, sebaiknya menghubungi keluarga terdekat, atau menarik mereka agar bisa ditenangkan. Mereka juga harus dibawa ke tempat yang aman dan terhindari dari tempat yang terlalu banyak orang atau tempat-tempat yang berbahaya. Contohnya, area dapur yang ada pisau dan benda tajam lainnya, jendela lantai atas, dan kawasan rentan lainnya.
Cara lainnya adalah menjalin percakapan yang menenangkan dan tanpa tekanan. Kendati demikian, dia mengakui bahwa tak mudah memulai percakapan dengan seseorang yang berusaha mengakhiri hidupnya.
Kita bisa mengatakan bahwa kehadiran kita siap untuk mendengarkan, kata Lia.
Editor : Pahlevi