Optika.id - Pengamat politik Assoc. Prof. TB Massa Djafar meragukan kinerja para lembaga servei. Hasil yang mereka rilis banyak mengandung parakdoks yang tidak bisa diuji secara ilmiah.
Dia menyatakan hal itu dalam podcast aktivis politik Zulvan Lindan yang bertajuk Unpacking Indonesia. Video yang diunggah di Platform Youtube sejak tiga haru lalu itu membahas peran lembaga survei dalam debat ketiga Pilpres beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol
Menurutnya, ada paradoks yang ditunjukkan oleh hasil-hasil survei itu. Dunia riset dilakukan melalui survei dan fakta politik melalui praktek demokrasi yang panjang. Dua fakta itu bagai tidak nyambung. Riset memotret kecendrungan kekinian. Sedangkan fakta politik Indonesia sudah melalui sejarah yang panjang. Survei seperti mengabaikan hal itu.
Di samping itu, katanya, kalau kita mau cek berapa banyak pemilih rasional di Indonesia? Itu tidak pernah didiskusikan.
Jadi paparan lembaga survei lebih mencerminkan middle class walaupun mengatasnamakan lembaga riset dengan pretensi mengungkapkan suara seluruh pemilih.
Tetapi faktanya, kata ahli politik itu, dia tidak yakin atas hasil-hasil survei itu. Ada banyak fakfor yang tidak bisa diprediksi (unpredictable). Walau pun secara metodologi ada justifikasinya. Survei itu bagai terjadi begitu saja. Ini dengan sendirinya memaksakan bahwa kesimpulan mengikuti fakta yang dibuat.
Contohnya, kita lihat fenomena di akhir Orde Baru. Kalau ukurannya parlementer hampir 70 persen Pak Harto itu didukung oleh rakyat. Tapi faktanya, Pak Harto jatuh. Itu artinya dukungan politik tidak riil, dan bagai dipaksakan.
Begitu juga kurang lebih yang terjadi pada pada dunia survei sekarang. Ada missing link antara hasil survei itu dengan kenyataan di masyarakat, bebernya.
Maaf kalau saya meragukan hasil-hasil survei itu. Karena untuk mengetahui sikap dan dukungan para pemilih itu tidak mudah. Itu perlu kedalaman yang lebih kualitatif, kata TB. Massa Djafar.
Tetapi itu, lanjutnya, tidak mungkin dilakukan karena untuk mengetahui suara rakyat seluruhnya dibutuhkan seluruh variabel secara lengkap, dan utuh.
Djaffar menyebutkan pengalamannya sewaktu Pilgub DKI, dia kebetulan diundang oleh Bawaslu. Katanya, cara lembaga survei mengajukan pertanyaan itu juga berpengaruh pada jawaban.
Baca Juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama
Saya katakan waktu itu. Saya mengkritik itu. Kalau KPUD DKI bertanya seperti itu pasti incumbent yang menang. Ini ada kaitan dengan Pilpres, tambahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia bertanya, mana pertanyaan sosial ekonomi yang mencerminkan kesenjangan sosial. Itu tidak dimunculkan. Itulah alasan mengapa saya meragukan hasil survei-survei itu.
Faktor lain yang harus dipertimbangkan, katanya, kita juga tahu bahwa sekarang ini dalam proses demokratis kita marak dilakukan political engineering yang sangat canggih. Termasuk yang dilakukan lembaga survei seperti Kompas. Orang juga meragukan hasil survei yang disebut Kompas.
Kalau kita tarik lagi ke atas ini menunjukkan ada pekerjaan rumah yang belum selesai. Ini menunjukkan bahwa format politik kita itu ada masalah.
Suvei itu nampak sekali bias dan sesukanya. Walau ada lembaga Persepi. Lembaga itu sendiri tidak pernah melakukan pengawasan secara terbuka untuk menguji sebuah hasil survei itu murni aktivitas ilmiah atau dibayar.
Baca Juga: Pengamat Sebut Anies Segera Gabung Partai, Tak Selamanya Bisa Independen!
Kita bisa menyatakan walaupun ada yang kredibel, bahwa sebagai besar Lemsur itu tidak kredibel. Dan kita tahu, ada beberapa surveyor yang terlalu gegabah memainkan hasil surveinya. Misalkan ada lembaga survei yang yakin Anies gak akan dapat tiket. Berdasarkan riset, sambungnya.
Jadi terlihat jelas, ungkapan berdasarkan riset yang murni dengan konsultan pemenang itu beda-beda tipis. Jika situasi ini dibiarkan sangat rentan dan rawan.
Ini, katanya, membuktikan bahwa masyarakat punya cara sendiri untuk membaca fenomena sosial politik atas apa yang mereka rasakan itu tidak bisa dijelaskan oleh lembaga survei.
Djaffar menawarkan jalan keluar untuk mengurangi kesalahan itu. Yaitu dengan melakukan kombinasi metode kualitatif, dan kuantitatif.
Hal itu penting sebagai ikhtiar untuk menjelaskan mengapa itu terjadi. Kalau tidak kita akan terus keliru dalam mengambil kesimpulan, tukasnya.
Editor : Pahlevi