Usai Debat Cawapres, Walhi Ingatkan Tren Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Hidup

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Rabu, 24 Jan 2024 16:48 WIB

Usai Debat Cawapres, Walhi Ingatkan Tren Kriminalisasi Aktivis Lingkungan Hidup

Optika.id - Kasus-kasus intimidasi serta kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan melonjak tajam dalam sepuluh tahun terakhir ini. Menurut catatan dari Auriga Nusantara, ada sebanyak 133 kasus strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia sejak tahun 2014 hingga tahun 2023 ini.

Teranyar pada tahun 2023, tercatat ada 30 kasus SLAPP. Jumlah tersebut naik dari angka tahun sebelumnya yang mencapai 24 kasus. Tak hanya itu, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan adalah kasus yang paling mendominasi dengan sebanyak 82 kasus. Disusul kekerasan fisik sebanyak 20 kasus, lalu intimidasi dengan 15 kasus, pembunuhan sebanyak 12 kasus, imigrasi atau deportasi sebanyak 2 kasus dan perusakan property sebanyak 2 kasus.

Baca Juga: Isu Lingkungan Tidak Mendapat Atensi dari Pemerintah

Dalam keterangannya, Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Teo Reffelsen mengamini catatan dari Auriga Nusantara itu. Serangan terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM yang angkanya naik menurut dia disebabkan oleh pemerintah yang kerap kali menutup mata dalam menyikapi realita di lapangan.

"Ini menunjukan bahwa negara absen dalam melindungi mereka. Negara sebenarnya bukan tidak bisa, tapi memang tidak mau sehingga semua serangan terhadap pembela HAM tersebut dibiarkan begitu saja," ucap Teo dalam keterangannya kepada Optika.id, Rabu (24/1/2024).

Terhadap perlindungan aktivis, Teo menyebut bahwa sudah ada Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 66 UU tersebut, sudah diatur perihal konsep anti-SLAPP.

"Pada level teknis, di Internal kejaksaan dan Mahkamah Agung juga sudah ada peraturan acara pemeriksaan SLAPP," ucap Teo.

Akan tetapi, dia menyayangkan bahwa penegak hukum masih tidak mempunyai pemahaman komprehensif mengenai regulasi perlindungan terhadap aktivis lingkungan tersebut. Budaya penegakan HAM pada aparat penegak hukum pun cenderung masih lemah. Alhasil, polisi, jaksa, bahkan hakim pun kerap mengabaikan perlindungan kepada para aktivis lingkungan ini.

"Paralel dengan hal tersebut, masih banyak tersebar pasal-pasal karet (elastis) yang bisa dimanfaatkan untuk memidana pembela HAM. Kita lihat saja, misalnya, kasus Budi Pego. Dia orang yang memperjuangkan lingkungan, tapi dipidana atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali," ucap Teo.

Baca Juga: Ini Tanggapan Walhi Soal Jokowi Sebut Solusi Polusi Udara Jakarta yaitu Pindah ke IKN

Untuk diketahui, Budi Pego merupakan aktivis anti tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Saat menggelar aksi unjuk rasa menolak tambang, Budi Pego ditangkap. Dirinya dicap sebagai komunis lantaran ada spanduk berlogo palu arit di antara peserta aksi. Padahal, Budi sendiri mengaku tidak tahu apa itu Marxisme dan Leninisme.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Maka dari itu, apabila situasi tersebut dibiarkan secara terus menerus, Teo menegaskan bukan tak mungkin negara akan semakin bertindak semena-mena terhadap aparat dan rakyatnya sendiri. apalagi, melihat sejarah yang mencatat bahwa banyak aktivis lingkungan dan HAM yang dibunuh karena kelantangannya menyuarakan kritik terhadap pemerintah.

"Sebagai contoh kasus pembunuhan Munir dan Golfrid Siregar," jelas Teo. 

Adapun Munir adalah aktivis HAM yang tewas dibunuh dengan cara diracun arsenic oleh agen Badan Intelijen Negara. Sedangkan Golfrid adalah advokat sekaligus aktivis lingkungan hidup dari Walhi. Golfrid ditemukan terkapar di bawah terowongan Titi Kuning, Medan, Sumatera Utara pada tanggal 3 Oktober 2019 silam.

Baca Juga: Walhi Komentari Penolakan UU Anti Deforestasi

Maraknya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan HAM itu, lanjut Teo, menunjukkan bahwa regulasi yang melindungi mereka masih lemah.

"Untuk memperkuat status pengakuan pembela HAM, perlu dibuat satu UU khusus mengenai perlindungan pembela HAM atau UU anti-SLAPP atau juga dapat melebur melalui revisi UU HAM," ucap Teo.

 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU