Hitung-hitung Untung Rugi Student Loan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 05 Feb 2024 17:13 WIB

Hitung-hitung Untung Rugi Student Loan

Surabaya (optika.id) - Belakangan ini, isu komersialisasi pendidikan ramai dibahas. Pasalnya, salah satu institut teknik di Indonesia mempersulit mahasiswanya untuk membayar biaya pendidikan. alih-alih mengatasinya dengan cicilan uang kuliah tunggal (UKT) yang biasanya difasilitasi oleh universitas atau penangguhan UKT, institut tersebut malah bekerja sama dengan salah satu pinjaman online (pinjol) yang menerapkan bunga tinggi untuk para mahasiswa yang kekurangan biaya untuk membayar UKT.

Seiring dengan hal tersebut, istilah student loan juga banyak dibahas. Sebagai informasi, student loan merupakan jenis bantuan keuangan yang diberikan oleh lembaga untuk membantu biaya kuliah mahasiswanya. Uang tersebut nantinya harus dikembalikan oleh yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian. Banyak negara, seperti Kanada, Jerman, Perancis, Thailand, India, Amerika Serikat hingga Inggris memanfaatkan layanan ini dengan mekanisme yang berbeda.

Baca Juga: Beasiswa Mahaghora Dibuka Sampai 26 Juli 2024

Indonesia seolah tak mau ketinggalan. Beberapa waktu yang lalu, dalam rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut jika Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sedang membahas kemungkinan memberikan student loan atau pinjaman ke mahasiswa untuk berkuliah.

Wacana tersebut dilontarkan sebagai respons masifnya protes mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mempermasalahkan penggunaan layanan pinjol sebagai alternatif mereka membayar UKT yang setinggi langit. Adapun ITB bekerja sama dengan Danacita yang menerapkan biaya layanan terlalu tinggi bagi mahasiswa.

Kendati demikian, Sri Mulyani juga waspada dengan dampak dan masalah jangka panjang yang disebabkan oleh student loan ini.

Student Loan sudah Ada Sejak Tahun 80-an

Indonesia sebetulnya sudah mengenal sistem student loan ini jauh sebelum Sri Mulyani mencetuskannya. Pada tahun 1980-an, wacana student loan ini sudah dicetuskan oleh Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Pinjaman khusus kepada mahasiswa tersebut disebut dengan Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI).

Dikutip dari News on Indonesia (1982), Senin (5/2/2024) Direktur BNI 1946, H.M Poetiray menjelaskan bahwa saat itu bank yang dia pimpin memiliki banyak kantor cabang pembantu (KCP) di hampir semua universitas dan instansi negeri ini.

Antara lain Universitas Sumatera Utara (USU), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Indonesia (UI). Akan tetapi, tugas KCP tersebut hanya sebatas mengumpulkan sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) alias biaya sekolah dengan staf yang mengumpulkan hanya berjumlah lima orang.

BNI 1946 saat itu mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Mereka juga sangat aktif menyediakan dana kepada masyarakat sehingga memiliki surplus likuiditas.

Akhirnya, pada tahun 1982, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memperkenalkan KMI. Dalam buku Dasar-dasar Perkreditan (1988), Thomas Suyatno menyebut bahwa program KMI ini dilaksanakan oleh BNI 1946. Lantas, apabila belum ada kantor cabang BNI 1946, maka program tersebut dilaksanakan oleh bank pemerintah yang ditunjuk oleh Bank Indonesia (BI).

Untuk batas maksimum kredit yang diberikan yakni Rp750.000 setahun. Suku bunga kredit yang dibebankan kepada nasabah adalah sebesar 6% setahun dengan jangka waktu kredit maksimal 10 tahun. Thomas pun menjelaskan perihal syarat-syarat penerima kredit mahasiswa tersebut.

KMI hanya dapat diberikan kepada mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi negeri. Untuk mahasiswa program S1 telah lulus sarjana muda atau memperoleh beban studi minimal 90 SKS (sistem kredit semester) untuk mahasiswa IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Dan 110 SKS untuk mahasiswa perguruan tinggi bukan IKIP. Telah lulus semester pertama untuk mahasiswa program gelar S2, S3, serta program non-gelar D3 tulis Thomas, dikutip Optika.id, Senin (5/2/2024).

Gagalnya Student Loan

Ironisnya, program KMI tersebut gagal. Pemerintah pada akhir 1980-an mengakhiri program pinajaman mahasiswa itu. menurut peneliti Teguh Yudo Wicaksono dan Deni Friawan dalam tulisan mereka yang berjudul Recent Developments in Higher Education in Indonesia: Issues and Challenges di buku Financing Higher Education and Economic Development in East Asia (2011), penyebabnya adalah karena tingkat gagal bayar yang tinggi.

Baca Juga: Nadiem Makarim Batalkan Kenaikan UKT Setelah Dipanggil Presiden!

Pangkal kegagalan KMI tersebut, tulis Teguh dan Dani, adalah buruknya administrasi. Setelah menyelesaikan studi mereka, banyak mahasiswa penerima kredit yang tidak melunasi pinjamannya. Padahal, apabila kredit tidak dibayar, maka ancamannya adalah penahanan ijazah mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mantan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti), M. Nasir pernah menyebut ketika dia menjadi mahasiswa, dia menerima kredit dari program pemerintah itu. Banyak yang gagal bayar tidak mempermasalahkan penahanan ijazah. Pasalnya, mereka (mahasiswa) tidak butuh ijazahnya, melainkan hanya butuh fotokopi ijazah yang dilegalisir.

Lebih lanjut, menurut Teguh dan Dani, bank yang memberikan pinjaman mempunyai administrasi yang tergolong buruk. Alhasil, mereka gagal memantau serta melacak lulusan yang mengikuti program KMI ini.

Bank-bank memperlakukan pinjaman mahasiswa seperti hibah karena mereka mengira itu adalah bagian dari program pembangunan pemerintah dari Bank Indonesia. Pengelolaan pinjaman yang buruk ini tercatat sebagai pinjaman bermasalah, dan pinjaman mahasiswa telah dianggap oleh sektor perbankan sebagai bisnis yang berisiko tinggi. Hal ini menyebabkan perbankan enggan untuk terlibat lagi dalam program ini. tulis Teguh dan Deni.

Program kredit mahasiswa ini seiring berjalannya waktu diadaptasi oleh perusahaan swasta. Pada tahun 2006 misalnya, sebuah yayasan pendidikan swasta Sampoerna Foundation mendesain ulang program pinjaman mahasiswa ini. Yayasan tersebut, dalam merancang programnya, bekerja sama dengan International Finance Corporation (IFC) dan Bank International Indonesia (BII) sebagai kreditor. BII dalam program ini berperan sebagai administrator.

Menurut perkiraan, total anggaran program pinjaman mahasiswa hampir 20 juta dolar AS, dengan setengah dari dana tersebut didukung IFC, imbuh Teguh dan Deni.

Adapun karakteristik dari pinjaman tersebut yakni tanpa agunan. Kendati demikian, mahasiswa atau  anggota keluarganya yang bertindak sebagai penjamin harus memiliki minimal penghasilan Rp40 juta setahun. Batas pinjaman yang diberikan oleh yayasan ini dari Rp10 juta hingga Rp200 juta dan bunganya sebesar 1,5% per bulannya dengan tenor pembayaran enam bulan hingga tiga tahun.

Akan tetapi, sejak diluncurkan secara resmi pada tahun 2007, yang menerima pinjaman tak lebih dari 15 mahasiswa saja. Hal ini menunjukkan bahwa program tersebut hanya menjangkau penerima yang sangat amat terbatas.

Baca Juga: PDIP Desak Pemerintahan Jokowi Turunkan Biaya UKT!

Menurut Teguh dan Dani, keterbatasan ini tidak hanya disebabkan oleh pendeknya tenor pembayaran saja, namun juga karena keterbatasan kelembagaan atau peraturan itu sendiri.

Sementara itu, dari aspek kelembagaan atau peraturan tertulisnya, bank masih menganggap pinjaman mahasiswa terlalu berisiko serta tidak ada insentif kuat yang diberikan oleh pemerintah atau bank sentral bagi bank untuk meminjamkan uang kepada program pinjaman mahasiswa itu.

Sementara itu, Ekonom Australia, Bruce Chapman dalam tulisannya 5 Higher Education Financing and Inequality the Critical Role of Student Loan Scheme DesignIllustrations from Indonesia, Vietnam and Thailand di buku Human Capital Formation and Economic Growth in Asia and the Pacific yang terbit pada 2013 mencoba menjelaskan asumsi skema pinjaman mahasiswa di Indonesia ini.

Total utang per mahasiswa sebesar Rp30,4 juta, yang secara kasar mencerminkan biaya kuliah rata-rata yang saat ini dibebankan di universitas di Indonesia dan perkiraan biaya minimalnya, biaya hidup, tingkat bunga riil sebesar 3% per tahun, dan jangka wktu pengembalian 10 tahun, tulis Chapman.

Terlepas dari itu, student loan ini memang bisa dibilang sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, pinjaman itu bisa mengubah perilaku kredit konsumtif menjadi produktif. Akan tetapi, di sisi lain, student loan bisa menjadi petaka bagi perekonomian.

Membengkaknya student debt sudah menjadi masalah di Amerika. Sekitar 20 juta rakyat Amerika adalah mahasiswa di setiap tahunnya. Ada 12 juta di antaranya, atau 60%, meminjam uang untuk membantu pembiayaan pendidikan tinggi. Masalahnya, sekitar 13,7ri peminjam student loan di Amerika dinyatakan gagal bayar terhadap utang pendidikannya pada 2011, tulis Reza Prama Arviandi dalam Buku Putih Kajian Infrastruktur Indonesia (2019).

 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU