Surabaya (optika.id) - Ketua Badan Eksekutif Nasional Perserikatan Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi menilai jika tidak ada pembahasan substansi yang menyentuh ke akar persalan dan situasi perempuan dalam lima kali agenda debat capres-cawapres. Sehingga, menurutnya agenda politik perempuan tidak secara komprehensif dibahas sebagai agenda jangka panjang dari produk politik Pemilu 2024 nanti.
Situasi perempuan hanya dilihat dari sudut pandang yang parsial, hal ini ditunjukkan dengan pernyataan dari masing-masing calon yang hanya melihat persoalan perempuan pada aspek ibu hamil, makanan bergizi, dan kekerasan seksual, kata Armayanti, dalam keterangan tertulis, Rabu (7/2/2024).
Baca Juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Persoalan perempuan, sambungnya, erat berkaitan dengan relasi kuasa patriarki melalui paradigm model pembangunan yang berorientasi pada investasi dan tidak mengedepankan keadilan serta keberlanjutan. Hal tersebut pada akhirnya menciptakan pemiskinan dan lapisan kekerasan yang sistematik bagi perempuan.
Senada, dalam keterangan yang sama, Perserikatan Solidaritas Perempuan juga menilai bahwa visi-misi ketiga paslon masih belum mengakomodir kepentingan persoalan perempuan secara holistic. Khususnya permasalahan yang berkaitan dengan perempuan nelayan, perempuan buruh migran, perempuan petani, dan perempuan adat yang hingga saat ini masih menjadi kelompok terpinggirkan dan dimiskinkan secara sistematik structural oleh kebijakan serta pembangunan patriarki.
Armayanti menyebut jika permasalahan kejahatan perempuan juga merambah pada ruang private atau keluarga dan tidak terjadi hanya di ruang publik saja. Akar persoalan kejahatan terhadap perempuan, imbuhnya, diakibatkan oleh relasi kuasa patriarki pada sistem sosial yang berdampak pada ketimpangan gender di berbagai aspek. Mulai dari sosial, politik dan ekonomi.
Perihal kematian ibu dan anak yang masih tinggi dan sempat disinggung oleh ketiga paslon, menurutnya hal tersebut perlu dibenahi pada akar masalahnya, bukan hanya sekadar penanganan parsial.
Tidak dapat dilihat sebagai hal yang parsial akibat oleh kekurangan gizi misalnya, akan tetapi ketimpangan ekonomi dan minimnya akses kesehatan di pedesaan bagi perempuan, ucap Armayanti.
Baca Juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Lebih lanjut, menurut Mike Verawati selaku Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), isu perempuan masih kerap dilihat secara segmentasi saja. Dengan kata lain, dia menyayangkan bahwa pembahasan persoalan perempuan ini baru mencuai apabila sebuah pembahasan isu diasosiasikan sebagai isu perempuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Padahal sejak awal kita bicara soal pelanggaran HAM, pertahanan, ekonomi, digitalisasi, lingkungan, perubahan iklim, krisis energi, itu juga masih dianggap bukan segmen yang berkaitan dengan isu perempuan, ujar Mike.
Meskipun dia tidak menampik bahwa persoalan perempuan masuk dalam visi-misi masing-masing paslon, namun dia melihat bahwa ketiga paslon masih berfokus pada penyelesaian di hilir masalah saja. Ketiga paslon dinilai masih belum menawarkan program yang sifatnya intervensi akar masalah di hulu. Sebagai contoh, pembenahan paradigm berbasis kesetaraan gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI).
Baca Juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
Misal, bicara penyelesaian kekerasan perempuan. Tapi kita masih menghadapi persoalan perspektif aparat yang masih belum clear soal kekerasan itu sendiri, imbuhnya.
Untuk diketahui, berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada Januari sampai November 2023, pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sebanyak 1.290 kasus. Adapun jenis kekerasan paling banyak dari akumulasi angka tersebut yakni kekerasan fisik di area domestic berupa kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT, kekerasan seksual, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO).
Kita tidak menjebol akar-akar masalah itu dalam agenda, jadi maaf kata kalau agendanya ujungnya hanya persoalan programatik yang itu tidak menyelesaikan akar masalah ketimpangan gender dan sosial inklusi, tutur Mike.
Editor : Pahlevi