Yogyakarta (optika.id) - Film dokumenter Dirty Vote yang mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 telah menimbulkan kontroversi dan kritik dari berbagai pihak. Salah satu tokoh yang terlibat dalam film tersebut adalah Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Zainal membantah berbagai tudingan yang dialamatkan kepadanya, mulai dari dituduh sebagai bagian dari kelompok kiri, radikal, simpatisan PDIP, PKS, hingga anak buah Mahfud MD.
Zainal mengatakan bahwa tudingan-tudingan tersebut tidak berdasar dan tidak logis. Ia menegaskan bahwa dirinya hanya berperan sebagai narator yang menyampaikan fakta-fakta hukum dan analisis akademis terkait Pemilu 2024. Ia juga menampik anggapan bahwa film Dirty Vote merupakan bagian dari kampanye hitam atau dukungan terhadap salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Baca Juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024
Kalau kami punya dukungan 01 atau 03 misalnya, yang turun untuk belain kami 01 dan 03 yang habis-habisan akan bertarung di Tiktok, Twitter, Instagram. Memang gak ada, ujar Zainal dalam diskusi film Dirty Vote yang digelar di Fisipol UGM, Selasa (13/2/2024).
Baca Juga: Zainal Arifin Mochtar Sebut MK Sulit Kabulkan PHPU!
Zainal juga mengaku siap menghadapi laporan yang dibuat oleh Forum Komunikasi Santri Indonesia (FOKSI) ke Bareskrim Polri terkait film Dirty Vote. Ia menilai bahwa laporan tersebut merupakan risiko yang harus dihadapi sebagai bagian dari proses demokrasi. Ia berharap bahwa penegak hukum dapat bekerja secara profesional dan objektif dalam menangani kasus ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ya gimana? Orang nggak ngapa-ngapain aja juga bisa dilaporin. Saya kira risiko ini sederhana. Bagian dari risiko, dihadapin aja, kata Zainal.
Baca Juga: Yusril Buktikan Sengketa Pilpres AMIN Hanya Asumsi, Bukan Bukti
FOKSI melaporkan Zainal bersama dengan sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono, dan dua pakar hukum tata negara lainnya, Bivitri Susanti dan Feri Amsari, ke Bareskrim Polri pada Senin (13/2/2024). FOKSI menuduh mereka melakukan tindak pidana pemilu karena menayangkan film Dirty Vote di masa tenang pemilu. FOKSI menganggap bahwa film tersebut telah menciptakan kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres. FOKSI mengacu pada Pasal 287 ayat (5) UU 7/2017 tentang Pemilu sebagai dasar laporannya.
Editor : Pahlevi