Mementingkan Keluarga Dalam Politik = Nepotisme

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 05 Mei 2024 08:27 WIB

Mementingkan Keluarga Dalam Politik = Nepotisme

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS

Surabaya (optika.id) - Saya tertarik mengutip pernyataan kedua bintang film Amerika Serikat di atas, yaitu aktor John Krasinski dan aktres yang lebih senior Meryl Streep tentang betapa pentingnya keluarga itu. John mengatakan bahwa apapun kondisinya bagi dia keluarga adalah nomor satu, dan soal ini tidak bisa diganggu gugat.

Sementara Meryl mengatakan hal yang substansinya sama yaitu bagi dia keluarga adalah nomor satu, dan sejak dulu sampai nanti keluarga tetap nomor satu.

Pernyataan kedua bintang film Hollywood itu memang merupakan nilai, filosofi keluarga dimanapun di dunia ini dan apapun latar belakangnya, bahwa semuanya memiliki pandangan family value seperti itu. Dalam kehidupan sosial hal tersebut adalah hal yang mutlak harus dimiliki setiap individu dalam mempertahankan keluarganya. Itu adalah sikap yang bagus dan terpuji.

Namun dalam kehidupan politik, berbangsa dan bernegara filosofi mengutamakan atau menomor satukan keluarga itu adalah praktek yang tidak bagus, dan menjadi bad political education.

Baca Juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN

Praktek mendahulukan keluarga dalam politik itu adalah Nepotisme. Menurut Wikipedia, definisi Nepotisme itu adalah: “Nepotism is the act of granting an advantage, privilege, or position to relatives or friends in an occupation or field. These fields may include but are not limited to: business, politics, academia, entertainment, sports, religion, and health care” atau “.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Nepotisme adalah tindakan pemberian keuntungan, hak istimewa, atau kedudukan kepada kerabat atau teman dalam suatu pekerjaan atau bidang. Bidang-bidang ini mungkin termasuk tetapi tidak terbatas pada: bisnis, politik, akademisi, hiburan, olahraga, agama, dan perawatan kesehatan”

Praktek-praktek Nepotisme itu seringkali mengakibatkan jatuhnya suatu pemerintahan dimana-mana di dunia ini karena ditentang mati-matian oleh rakyatnya yang kehidupan ekonominya susah namun menyaksikan semua sektor kebutuhan ekonomi negara itu dikuasai oleh kroni dan kerabat sang penguasa.

Untuk kasus Indonesia para kroni dan kerabat penguasa itu diberikan hak istimewa pengelolaan ekonomi bisnis disegala bidang selama puluhan tahun misalkan pengelolaan hutan, bisnis minyak dan gas, bisnis pertambangan, perdagangan bahan-bahan pokok, industri properti, penguasaan lahan, monopoli ekspor impor, dan sebagainya.

Baca Juga: Melepaskan Diri Pola Pikir Kolonial

Dalam sejarah politik Indonesia kita menyaksikan runtuhnya kekuasaan presiden Jenderal Soeharto dulu adalah disamping – krisis ekonomi moneter yang drastisd – juga dikarenakan praktek KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang berkepanjangan. Saya ingat almarhum Kiai Haji Hasyim Muzadi – mantan Ketua PWNU Jatim dan PBNU pusat secara pribadi menelpon saya tanggal 21 Mei 1998 sehabis maghrib dan memberi info kalau presiden Soeharto malam itu akan mengundurkan diri karena tidak mendapatkan dukungan rakyat dan menteri-menterinya.

Memang benar info KH. Hasyim Muzadi itu bahwa presiden Indonesia kedua, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya pada 21 Mei 1998 setelah runtuhnya dukungan untuk kepresidenannya yang telah berlangsung selama 32 tahun. Wakil Presiden B.J. Habibie kemudian mengambil alih kursi kepresidenan.

Siapapun yang diberi amanat rakyat untuk memimpin negara ini harus menyadari bahwa praktek Nepotisme (juga Korupsi dan Kolusi) itu bisa menjatuhkan kekuasaanya karena akan ditentang oleh rakyat dan diharamkan oleh Allah SWT.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU