Bahayakah Raja Jawa Itu?

author Pahlevi

- Pewarta

Minggu, 25 Agu 2024 10:48 WIB

Bahayakah Raja Jawa Itu?

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Rasa Keadilan Dalam Masyarakat

Surabaya (optika.id) - Kita semua tahu bahwa nusantara kita ini dahulu dipimpin oleh para raja dan sultan dimana sebagian besar mereka memimpin nusantara ini dengan bijaksana, memakmurkan rakyatnya dan dalam upaya memerdekaan nusantara dari penjajah asing seperti dari Portugis, Inggris dan Belanda mereka berada digaris terdepan bersama elemen bangsa lainnya untuk melawan penjajah itu.

Namun baru-baru ini Bahlil yang merupakan ketua umum baru Golkar dalam pidatonya menggambarkan seorang Raja Jawa sosok yang menakutkan dengan mewanti-wanti agar tak main-main dengan Raja Jawa. Menurutnya, sosok tersebut bisa mencelakakan orang lain. "Jadi kita harus lebih paten lagi. Soalnya Raja Jawa ini kalau kitamain-main celaka kita. Saya mau kasih tahu aja jangan coba-coba main-main barang ini," katanya saat Penyampaian Visi Misi di Munas Golkar, Jakarta, Rabu (21/8/2024). "Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini. Saya kasih tahu, sudah, waduh ini, dan sudah, sambungnya.

Saya tidak percaya begitu saja tentang karakter Raja Jawa yang menakutkan yang disebut Bahlil itu karena saya tahunya Raja Hamengkubuwono yang memimpin wilayah Yogyakarta dan sekitarnya itu sosoknya adalah priyayi yang anggun, bijaksana dan dekat dengan rakyatnya. Demikian pula Raja Solo.

Lalu siapakah yang dimaksud Bahlil Raja Jawa itu?

Emirza Adi Syailendra menulis sebuah artikel menarik di medianya S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technology University Singapore tanggal 05 May 2017 berjudul: Ascent of a Javanese King: President Jokowis Leadership Style (Pendakian Raja Jawa: Gaya Kepemimpinan Presiden Jokowi") . Dia mengelaborasi bagaimana budaya Jawa berpengaruh dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Menurutnya budaya Jawa telah meresap ke dalam politik Indonesia sepanjang sejarah politik Indonesia yang singkat. Pencarian Sukarno untuk persatuan bangsa sangat terinspirasi dari tokoh Jawa Gadjah Mada yang bertekad untuk menyatukan nusantara di bawah kendali Kerajaan Majapahit. Benediktus Anderson, menulis pada tahun 1998 tentang pengganti Soekarno, menggambarkannya sebagai berikut: "Ketika berbicara secara langsung, Soeharto melihat dirinya bukan sebagai presiden modern tetapi sebagai raja Jawa."

Lalu tulisan Emirza itu juga menyinggung gaya kepemimpinan Jokowi yang menggunakan budaya Jawa itu. Berasal dari latar belakang Jawa non-aristokrat, Presiden Jokowi dikenal menggunakan kalender Jawa dalam urusan seremonial. Contohnya adalah ketika dia memutuskan untuk mengumumkan perombakan kabinet keduanya pada 27 Juli 2016, yang, jika dihitung menggunakan siklus Wetonan sistem yang sering digunakan oleh orang Jawa untuk menentukan tanggaluntuk peristiwa penting jatuh pada hari yang baik untuk awal yang baru.

Baca Juga: Jangan Menyerahkan Urusan Bukan Pada Ahlinya

Filosofi sugih tanpa bandha atau rendah hati menjadi tidak terlepas dari citra politiknya sehari-hari. Kunjungan dadakannya yang sering dilakukan blusukan ke tempat-tempat seperti daerah kumuh dan pasar basah meroket popularitasnya ketika mendekati pemilihan presiden 2014 karena memproyeksikan kepribadian seorang pria rakyat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dalam menghadapi rivalnya Emirza menjelaskan Jokowi juga melakukan tawar-menawar dengan saingannya Prabowo Subianto, pelindung Partai Gerakan Indonesia Besar (Gerindra), untuk menangani oposisi. Langkah ini dipandang sebagai upaya untuk mengasingkan penantang lain, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Argumen ini diperkuat setelah referensi tidak langsung oleh Jokowi setelah unjuk rasa anti-Ahok pada 4 November 2016. Dia mengatakan ada aktor politik yang memobilisasi Muslim melawan Ahok, sebuah pernyataan yang dianggap oleh banyak orang sebagai sasaran saingannya, termasuk Yudhoyono.

Cara lain Jokowi dalam menangani Yudhoyono adalah melalui Antasari Azhar, mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang secara terbuka mengklaim bahwa dia dijadikan kambing hitam dalam kasus pembunuhan profil tinggi pada tahun 2010 pada masa pemerintahan Yudhoyono. Antasari sebelumnya meminta grasi setelah Jokowi menjadi presiden pada 20 Februari 2015, namun ditolak. Permintaannya akhirnya dikabulkan tepat sebelum pemilu Jakarta setahun kemudian pada 16 Januari 2017, yang menimbulkan pertanyaan tentang motif politik Jokowi.

Keputusan menarik lainnya yang dibuat oleh Jokowi adalah ketika dia tiba-tiba memutuskan untuk bergabung dalam unjuk rasa 2 Desember 2016 untuk berdoa bersama para pengunjuk rasa untuk menunjukkan bahwa dia digdaya tanpa aji atau kuat tanpa paksaan. Baginya penting untuk berada di acara berisiko tinggi untuk menunjukkan bahwa dia bertanggung jawab. Kepercayaan publik terhadapnya telah melemah setelah dia tidak terlihat di mana pun selama rapat umum sebelumnya pada 14 November.

Baca Juga: Sang Pengkritik, Cucu Wapres itu Telah Menghadap Sang Khalik

Pelestarian citra selama situasi politik yang bergejolak penting dalam konsep kekuasaan Jawa. Ini sangat penting dalam melestarikan keyakinan bahwa raja masih menikmati "cahaya ilahi" sebagai simbol otoritas. Seperti yang dijelaskan oleh Anderson, "begitu orang-orang percaya bahwa cahaya ilahi raja [Jawa] telah bergerak, akan sulit untuk dipulihkan". Jokowi dilaporkan mengesampingkan banyak pertemuan penting untuk menjadi sorotan pada rapat umum.

Lalu apakah bahasan Emirza tentang budaya Jawa dalam perpolitikan Indonesia itu in line dengan pidato Bahlil yang secara samar-samar mengatakan jangan main-main dengan Raja Jawa.

Wallahu Alam

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU