Optika.id. Surabaya. Ditemukan sejumlah fakta, peran Muhammadiyah dihilangkan dalam sejarah nasional Indonesia, kata Kevin W. Fogg, sejarawan dan Indonesianis dari University North Carolina at Chapel Hill, Amerika Serikat.
Pernyataan mengejutkan itu dirilis Fogg dalam Webste resmi milik Kevin Fogg, 26 November 2021. Menurut Fogg, dia sendiri heran atas temuan sejarah itu. Riset sejarah Fogg ternyata menemukan fakta hilangnya peran Muhammadiyah dalam sejarah nasional. Padahal hasil risetnya bukti sejarah dia temukan sangat besar peran Muhammadiyah dalam masa perjuangan dan pasca perjuangan.
Baca Juga: Khofifah Gabung Kubu Prabowo-Gibran, Seberapa Besar Dampaknya?
Dalam temuannya, peneliti yang fokus studi sejarah di Kawasan Asia Tenggara itu, menguraikan bahwa salah satu yang tampak adalah soal peranan kiai dan guru Islam Muhammadiyah yang sedikit tercatat dalam sejarah nasional. Padahal eksistensi perjuangan umat Islam di masa kolonial sangat besar dan tidak bisa dianggap remeh.
Yang bikin saya heran, kok sumbangan umat Islam yang begitu besar tidak begitu didalami, dihargai sebagai dasar yang kuat bagi perjuangan Indonesia dalam masa revolusi, ungkapnya sebagaimana dikutip situs resmi Muhammadiyah.
Secara tidak langsung, kata Fogg ormas Islam seperti Muhamamdiyah bersama NU dan ormas lain punya peran penting dalam dinamika kolonilaisme di Indonesia, sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah
Perlu dicatat Muhammadiyah dilahirkan pada tanggal 19 November 1912 oleh KH Ahmad Dahlan. Umurnya jauh lebih tua dari Republik Indonesia yang baru diproklamirkan 17 Agustus 1945.
Peran Yang Dihilangkan
Menurut Fogg ada 2 peran Muhammadiyah yang dihilangkan dalam sejarah nasional Indonesia. Satu, peran Muhammadiyah dalam pergolakan 10 November 1945 di Surabaya.
Seruan Bung Tomo dianggap inspirasi bagi seluruh umat Islam di Indonesia karena merasa sebagai muslim berkewajiban membela negara, tutur Kevin. Menurut Kevin, sebagai organisasi yang lebih rapi, dalam peperangan itu Muhammadiyah mengirimkan anggota yang punya kecakapan yang memadai terkait perang (laskar) hingga persoalan dapur dan obat-obatan.
Selain itu, Muhammadiyah memiliki peran tidak langsung yaitu mengajarkan sejak lama lewat pendidikan dan forum keagamaan bahwa perjuangan membela tanah air merupakan suatu kewajiban dan kemuliaan di dalam Islam, tambahya. Sumbangan Muhammadiyah sangat terlihat dalam perjuangan di Surabaya, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi. Muhammadiyah adalah organisasi yang sangat well-organized, urai Fogg.
Kedua, peran yang hilang adalah peranan para perempuan Muhammadiyah dalam masa revolusi.
Ini terkait kepanduan Muhamamdiyah, yakni Hizbul Wathan yang berubah jadi laskar perang saat revolusi. Dalam data Fogg, peranan para perempuan Muhammadiyah tidak sekadar di dapur belaka. Melainkan juga turut mengatur muslihat untuk pukul mundur para penjajah. Itu terjadi di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Muhammadiyah sebagai organisasi jadi paling penting dalam menahan serangan Belanda, simpulan Fogg.
Muhammadiyah Berhasil Bawa Baru Pendidikan Islam Modern Indonesia
Peran Muhammadiyah dalam sejarah bangsa juga diakui oleh Robert Hefner dari Boston University, Amerika Serikat. Secara khusus Hefner bahkan memuji Muhammadiyah organisasi Islam yang paling
Bagus dan berperan di dunia.
Antropologi dari Universitas Boston itu mengakui Muhammadiyahberhasil membawa wajah baru bagi pendidikan Islam modern yang ideal tidak hanya di Indonesia, tapi juga di dunia muslim secara umum.
Sebelum Muhammadiyah lahir, sistem pendidikan di dunia muslim umumnya menggunakan sistem mulazamah (komunitas kecil), madrasah (lembaga sekolah) ataupun jamiah (pendidikan tinggi).
Dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesiai, dahulu pendidikan Islam dalam arti madrasah menurut Hefner baru bermula pada akhir abad ke-18 dengan sistem pengajaran klasik melalui pendirian berbagai pondok pesantren tradisional.
Pendidikan seputar Al-Quran, Hadis, kitab hukum (ushul fiqh) dan ilmu pokok (ushuluddin) di dalam Islam. Sedangkan sumber-sumber pengajaran (kurikulum) hampir dipastikan berasal dari Timur Tengah.
Setelah Muhammadiyah lahir, Muhammadiyah memberikan sumbangan yang paling penting dalam kultur agamis, yakni perguruan tinggi Islami yang baru, yaitu madrasah dalam arti Muhammadiyah, jelas Hefner dalam Pengajian Ramadan 1442 H, Jumat (16/04/2021).
Muhammadiyah dianggap Hefner berhasil membawa wajah baru karena menyertakan kurikulum pelajaran yang tidak sebatas permasalahan agama dan hanya bersumber dari Timur Tengah. Tetapi Muhammadiyah turut menyertakan pendidikan sains dan sumber-sumber Barat yang saat itu lazimnya dianggap kafir atau menyimpang oleh kalangan tradisional.
Pakem pemahaman Muhammadiyah memadukan antara nash (dalil) dan waqi (konteks zaman) dianggap Hefner cukup berhasil menghadirkan wajah peradaban Islam yang maju dan positif.
Lahirnya berbagai amal usaha Muhammadiyah di berbagai bidang selain agama adalah contoh lain dari pandangan keagamaan Muhammadiyah memandang hukum dan realitas. Atas kesesuaian pemahaman dan pengamalannya di berbagai bidang itu, Muhammadiyah dianggap Hefner berhasil menyelamatkan tradisi politik maupun tradisi sosial dari krisis yang beberapa kali terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Ulama al nushus dan ulama al waqi masih terus diharapkan dan telah tercapai sejak lama oleh sumbangan Islam Indonesia dan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Akibat sumbangan itu tidak hanya umat Islam yang selamat atau diselamatkan, tapi juga seluruh rakyat Indonesia, simpulan Hefner.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kaca Mata Sejarah Ambivalen
Merespon temuan sejarah Fogg tentang hilangnya peran Muhammadiyah dalam sejarah nasional Indonesia itu, Dr Saad Ibrahim, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur (PWM Jatim) menyatakan bahwa sejarah selalu terbagi menjadi dua: obyektif dan subyektif.
Dalam perspektif subyektif, sejarah lebih menampakkan diri sebagai narasi subyektif, kata Ibrahim kepada Optika.id lewat WhatsApp, Senin 29/11/2021.
Subyektifitas ini melekat pada penguasa demi memperkokoh eksistensinya. Jika penguasa berwarna kuning, maka peran kuning disejarahkan dengan sekokoh-kokohnya, walaupun sebenarnya tidak obyektif, katanya. Lebih lanjutnya Ibrahim menyatakan bahwa jika penguasanya merah, hijau, dan lain-lainnya maka semuanya warnanya ikut pula, tutur Ibrahim.
Ketua PWM Jatim yang selalu energik itu menganggap dua perspektif sejarah itu memang dominan.
Diponegoro adalah pahlawan di mata kita. Kalua dimata Belanda, sang penguasa pada waktu itu, tentu sebaliknya. Peran sejarawan menarasikan sejarah secara obyektif, urainya.
Memprihatinkan
Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur (MTM Jatim), Dr Muhammad Sholihin Fanani, memprihatinkan jika data sejarah itu sengaja dihilangkan.
Kita merasa prihatin terhadap kondisi bangsa ini yang kurang menghargai sejarah bangsanya sendiri. Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya, urainya kepada Optika.id, Senin, 29/11/2021 lewat WhatsApp.
Psikolog jembolan Fakultas Psikologi Universitas Airlangga itu mengakui bahwa data sejarah memang kompleks. Data itu terformulasi dengan baik oleh penulisnya (sejarawan). Sejarawan dimana pun selalu berada dalam perspektif tertentu. Akibatnya data di luar perspektif itu bisa tersingkir. Begitu juga penulis sejarah oleh negara, tulis Fanani.
Subyektivitas sejarah itu suatu fenomena umum. Karena itu diperlukan sejarawan lain untuk melengkapi data sejarah lama. Peran riset Fogg adalah menutup kelemahan sejarah nasional kita itu, urainya lebih detil.
Baca Juga: Gaya Hidup Kaum Kolonial di Batavia, dari Politik Adu Domba Hingga Menjelma Badut Belanda
Menurut Fanani, para pelaku sejarah Islam pada umumnya pejuang yang ikhlas. Yang mereka pikirkan adalah kemerdekaannya. Akibatnya bisa terjadi dikemudian hari muncul ambivalensi jika ada kekuatan tertentu yang mempunyai kepentingan politik dalam sejarah bangsa kita, ujar mantan Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Jln Pucang itu.
Mereka yang berkepentingan politis terhadap sejarah nasional inilah yang selalu menimbulkan problem dan konflik politik pasca kemerdekaan, pungkas Fanani.
Lahir di Yogya, Tapi Berkembang di Sumatera Barat
Sementara itu ilmuwan sejarah dari Fakultas Ulmu Budaya Universitas Andalas, Padang, Dr Zulqayyim mengakui Mhmadiyah merupakan organisasi yang lebih rapih dan menampakan keegalitarian, tulisnya kepada Optika.id, Senin, 29/11/2021, lewat WhatsApp.
Sebagai organisasi yang rapih dan modern Muhammadiyah selalu memberi kesempatan kepada jajarannya di bawah: Cabang, Ranting, organisasi otonom lainnya untuk berkembang dan mandiri, tuturnya.
Kemampuan berorganisasi modern itulah yang menyebabkan Muhammadiyah mampu berperan dalam bidang Pendidikan, kesehatan, dan politik secara sistematis dari bawah ke atas dan sebaliknya, katanya dosen yang kalem itu.
Menurut Zulqayyim, Muhammadiyah berkembang pesat di Sumatera Barat, utamanya di Padang.
Ada ungkapan Muhammadiyah lahir di Yogyakarta dan dibesarkan di Sumatera Barat. Di sini Peran hizbul wathan dan Aisyiyah juga signifikan di masa kolonial dan perang kemerdekaan (1945-1949). Tidak hanya di Padang, tetapi juga di berbagai daerah, pungkasnya.
Aribowo
Editor: Amrizal Ananda Pahlevi
Editor : Pahlevi