Menelisik Jalur Rempah Nusantara Lewat Seni Rupa

author Denny Setiawan

- Pewarta

Rabu, 01 Des 2021 14:27 WIB

Menelisik Jalur Rempah Nusantara Lewat Seni Rupa

i

dok: Galeri Nasional Indonesia

Optika.id - Dalam rangkaian acara  Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021, Galeri Nasional Indonesia mengadakan diskusi secara virtual tentang "Jalur Rempah Nusantara, Dan Globalisme Dalam Praktik Seni Rupa" Senin, (29/11/2021). 

Diskusi ini dipandu oleh Sudjud Dartanto (Kurator Seni) dan menghadirkan tiga narasumber dari kalangan seniman yaitu, Sri Astari Rasyid (Seniman/Mantan Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria, Makedonia, dan Albania), Faisal Kamandobat (Seniman/Kurator), dan Heri Dono (Seniman Kontemporer). 

Baca Juga: Pameran Skip Art-Exhibition#2, Menjawab Tantangan dan Tak Lupakan Akar

Sudjud Dartanto mengungkapkan diskusi ini bertujuan untuk mengangkat kearifan lokal akar ketahanan budaya dari sektor kebutuhan dasar manusia yaitu sandang, pangan, dan papan. Sesuatu yang sangat pokok di kebudayaan terutama di pabrik tangan nusantara, dia sebetulnya juga bisa melampaui teritori Indonesia bisa ke Malaysia, Singapura Thailand, dan seterusnya. 

Lebih lanjut, Hal ini bisa mengangkat kreatifitas Indonesia dalam mengolah sumber daya alamnya sebagai bentuk peradaban seperti yang kita kenal sekarang. 

Sebagai bagian dari PKN 2021 pameran ini merupakan gelaran pameran yang kesebelas, dalam penyelenggaraan ini ada perbedaan yang signifikan dari pameran-pameran sebelumnya, yang pertama diselenggarakan ditengah situasi pandemi covid 19, kedua menjadi bagian dari PKN yang diselenggarakan Kemendikbudristek, dan ketiga sebagai penanda titik balik memaknai ulang konsep 20 tahun sejak pertama kali diadakan tahun 2001. 

Kurator bersepakat mengambil tema " Terra (In) Cognita ". Terra yang berarti tanah atau kawasan, Cognita itu sendiri bermakna dikenal. Yang berarti tanah atau kawasan yang dikenal atau juga bisa tak dikenal. Konteks itu sekaligus simbol atas imajinasi pada wilayah tanah yang menumbuhkan produksi sandang, pangan, dan papan. 

Dengan mereferensikan seni sebagai ungkapan suatu tafsir kreatif dari para perupa atas jarak masa lalu yang tersusun dari memori kolektif yang mempengaruhi konteks kekiniannya. Inilah gagasan yang akan diangkat untuk membingkai keberagaman gagasan oleh para perupa yang membentang dari dua dimensi, tiga dimensi, instalasi, dan seni media. Justru dengan tantangan jarak dan waktu yang jauh, kami melihat perupa menghasilkan imajinasi yang kuat. 

Dari situ, diskusi ini mencari eksplorasi nuansa kosmopolitan yang terlintas dari para perupa. Kemudian kesadaran seperti apa yang perlu dialami dan dipraktikkan oleh teknologi informasi dan seluruh bangsa telah berjejaring, bahkan saling bergantung oleh pasar teritorial lengkap dengan kekayaan alamnya sebagai daya dukung kehidupan. Maka sebagai apa bentuk kesadaran secara etis dan estetis.

Memahami Konteks Seni Rupa Dalam Kenusantaraan dan Globalisme

Menurut Faisal Kamandobat, "kita tahu rempah-rempah merupakan salah satu diferensiater kita, pembeda kita dengan bangsa lain dalam pecaturan dunia. Ini merupakan komoditas yang paling banyak kita miliki, kalau sekarang China punya keunggulan trademark giok atau logam-logam langka sebagai kado diplomatik dengan negara-negara lain terutama dengan kompetitor-kompetitornya, ini yang digunakan dengan menahan logam ini untuk disteknologi tinggi.

"Sebetulnya kita juga punya rempah-rempah yang sangat kaya dan itu bisa menjadi kartu diplomatik, ketika kita bersinggungan dengan negara-negara lain. Kita bisa menjadi adidaya dengan rempah-rempah itu, adidaya dalam industri herbal dan farmasi. Belum lama ini beberapa media meliput menyampaikan posisi China sedang melakukan overtaking atau  (nyalip) menikung Amerika sebagai negara  terkaya didunia yang mencoba untuk masuk ke sektor teknologi tinggi begitu juga dengan India dan mungkin juga stabilitas dikawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, tidak kecil kemungkinan bahwa kita akan segera melakukan lompatan yang tidak jauh dengan dimasa peradaban yang sekarang," jelasnya panjang lebar.

Dan bagaimana dengan peradaban baru, lanjutnya, ini juga dunia sekarang dalam pergeseran yang sangat cepat dan radikal. Mungkin yang pertama di sektor teknologi, yang kedua di sektor keuangan. "Yang terakhir mungkin barangkali ini yang akan mengubah kita secara keos yakni ontologi kita atau definisi kita sebagai manusia, ini ditantang di tengah situasi dan faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi hidup kita sedang berimbas pada kehidupan."

"Pameran yang saya tampilkan di PKN 2021 ini berjudul Mandala Paladium. Mandala itu satu sistem politik lama yang itu khas nusantara dan sangat khas ASEAN sebetulnya. Karya ini berupa manuskrip berupa karya sastra, sebetulnya berupa karya ilmiah dalam sastra disilmiah nusantara dari berbagai kepulauan dan sub etnik tentang tradisi herbal, ada dari Maluku, Aceh, Bali, Jawa, Bugis dll, yang saya ekstrak ke dalam manuskrip tradisional mereka serta dikonfirmasi oleh beberapa ahli nutrisi kolega saya untuk mereview ulang naskah-naskah tersebut," imbuhnya.

[caption id="attachment_9214" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

"Kemudian saya jadikan sebuah karya visual yang isinya kekayaan herbal kita, jadi kalau penonton sakit perut atau yang lainnya, nanti bisa mengobati lewat membaca karya ini dan dapat resep melalui karya."

Menurutnya, selain dari karya-karya manuskrip nusantara tentang pengobatan juga ada dari tradisi islam. Dari tradisi Islam ada tibun Nabawiah atau pengobatan ala nabi serta karya ini seperti itu. Jadi melihat transformasi nusantara dari era klasik Hindu hingga masa Islam ssbagai medium antara nusantara klasik dan modern dengan pengaruh budaya Barat. 

"Di situ ada pesawat luar angkasa yang akan terbang ke sana dengan membawa model tahanan mandala ke makro kosmos itu yang saya bayangkan kalau kita bumi ini hilang hancur dan kita bawa keluar angkasa yang pertama kemudian plasma-plasma itu untuk pengobatan, yang kedua kitab-kitab kearifan dari moyang kita, dan yang terakhir adalah karya seni yang kita miliki sebagai interaksi dalam nusantara tidak hanya yang dipertunjukan tapi lebih kepada interaksi dengan Tuhan."

"Jadi kalau NASA atau Roskosmos Rusia ke angkasa hendak membawa itu, pindah ke peradaban lain saya tidak tahu apakah NASA tersebut bisa melangsungkan kehidupan disana. Jadi karya ini semacam proposal bagi nusantara."

"Nah ini kalau kita melihat nusantara, yang pertama kalau orang ngomongin pasti rempah-rempah kita itu merupakan produk alam kita. Tapi satu alam akan memiliki makna tergantung etik kita perilaku kita berpikir tentang alam tersebut. Ada satu masa di nusantara ini, dihuni oleh kelompok-kelompok kecil di desa-desa kecil, tatanan ini berlaku sekitar satu abad sebelum masehi, atau dalam catatan ekolomius dititk lompat itu sekitar di Selaka Negaraan. Selaka Negaraan inilah kemudian nusantara ini, untuk pertama kali mengadopsi model mandala sebagai sistem politik, sebagai sistem sosial, dan sistem religi. Yang nanti manfestasinya berkembang kemudian sampai ke era sekarang bahkan monas itu ditata sebagai sistem Mandala. Ada pusatnya, pinggiran, melebar terus semacam itu kedalam satu tatanan keseimbangan dari abad satu sebelum masehi di Selaka Negaraan."

Kemudian prinsip utama dari Mandala, katanya, yang pertama adalah keseimbangan antara alam dengan manusia, manusia dengan Tuhan. Yang kedua di dalam Mandala ini terdapat satu akumulasi kuasa terpusat sedemikian rupa, tapi ingat misalnya dalam tatanan politik, kalau di desa terpusat dari makam moyang atau kepala suku. Jika di keluarga bisa kepada ayah tergantung model kepadatannya. "Tapi selain terpusat dan menyebar, jadi jika kita di dalam nusantara itu memiliki posisi kita tidak bisa hanya mengambil gelarnya. Tapi yang paling penting harus dipancarkan power itu, dalam bentuk tanggung jawab sosial, tanggung jawab inkromental dan seterusnya. Itu merupakan karakter utama dalam Mandala keseimbangan dari semua aspek tekno levelnya."

"Kemudian ada model Mandala di Hindu yang merupakan penyatuan manusia dengan dewa dan roh, jadi kalau kita datang ke candi-candi pakem-pakem itu sangat jelas seperti kuil-kuil dalam Hindu. Tapi juga ada didalam Budha yang ada satu keheningan, ada kemurnian disitu, satu persepsi kemurnian ruang. Baik Hindu maupun Budha ini ditata dalam tatanan sosialnya itu kemudian melebur menjadi satu dalam satu sistem sosial. Di satu sisi kita melihat semacam ini di Bali itu tetap tatanan sosialnya, tetap pada adat semuanya. Raja, rakyat, giwanse, meskipun itu orang jabah, alam dan segala macamnya itu dalam satu totalitas yang padat di situ. Sehingga praktis individu itu tidak hadir."

[caption id="attachment_9213" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

Menurutnya di satu sisi masyarakat Mandala klasik itu solid, di sisi lain individu dalam masyarakat itu di struktur sosial sangat longgar. Oleh karena itu datangnya Islam sebagai agama dagang disitu bukan sebagai agama agraris, itu yang membuat namanya Islam lebih kuat, sehingga Lombar bilang konsep individu itu datangnya dari Islam. Konsep modernitas yang pertama dilakukan. Di samping itu, agama-agama di Asia seperti Islam ini datang ke nusantara tidak membawa senjata tapi membawa kebudayaan dan citarasa atau cahaya spiritual dalam peradabannya. 

Berbeda dengan Barat yang datang justru senjata, sehingga menggambarkan motif dan etik yang berbeda, yang akan mengubah peradaban setelahnya. "Kita akan melihat satu lanskap perubahan peradaban di nusantara ini yang mungkin ibarat teater seperti teater kolosal yang isinya nyanyian, lakon, seperti seni pertunjukan yang luar biasa sebagai satu peradaban kosmopolitan."

Pertama adalah ini semua, ada satu teori yang mengatakan ini semua satu inkulturasi dimana kebudayaan dari India, kebudayaan Arab dari Persia, dan  dari Tiongkok. Itu bisa melebur disini dan melebur dengan hangat yang tanpa mempengaruhi satu teritori yang nanti akan muncul satu praktik penindasan. Adanya negara- negara era itu bukan teritorial yang punya batas wilayah, era itu sangat luas memang tapi kerajaan saat itu bukan teritorial tapi ideologis. Kerajaan ideologis adalah yang pertama raja dianggap sebagai manifestasi dari dewa atau tuhan yang menguasai manusianya jiwanya untuk mengacu kepada raja tersebut. Adapun teritori atau tanah, laut itu menjadi milik bersama. Jadi jangan heran kalau ada trakton yang bersebelahan tidak akan bertengkar di nusantara. Tidak ada perang memperebutkan gunung. Jadi dalam bukunya Gleers tentang negara, jadi ada dua sultan berantem terus Belanda datang bertanya," kenapa kalian berantem coba kalian jelasin batas negara kalian dengan tegas." Lalu si sultan menjawab," kami tidak akan mungkin berpikir memperebutkan seonggok gunung." 

Karena bagi mereka apa yang dikuasai dan bagaiamana setiap raja menjadi pusat acuan tertentu menjadi ekologi atau atau sumber kehidupan rakyatnya. Oleh karena itu negaranya bersifat ideologis, maka makna kuasanya berbeda cara orang nusantara menjadi manusia itu berbeda dengan cara orang modern sekarang menjadi manusia. Satu doanya niatnya atau apapun itu semakin orang itu merasa menjadi manusia semakin itu penuh semakin dia dekat dengan manusia ideal apapun sesuai ajaran spiritual atau etnisnya dimiliki. Kedua adalah kuasa merupakan akumulasi spiritual jadi bukan yang seperti sekarang yang sangat materialistik, yang orang itu punya banyak usaha, saham, mobil dan segala macam apapun. Tapi lebih kepada bagaiamana dia menyempurnakan dirinya lewat tirakat dsb. Selain itu kuasa juga punya pengaruh dari suatu pertunjukan politik, misalnya sebagai seorang sultan dengan segala macamnya punya pengaruh di masyarakatnya. 

Hal itu berbeda dengan cara pandang definisi politik Eropa Kontinental, karena miskin alamnya mereka rebutan pangan pakai pedang. Karena diatur pakai pedang dan sangat mahal, akhirnya hukum di eropa itu menjadi kecil dan sangat jelimet. Itu kenapa lahir definisi kekuasaan sangat materialistik dan sangat realistik, terkait kapasitas militer, senjata dan ekonomi. Sementara di nusantara, orang tidak mungkin diatur dengan itu, cukup dengan adat istiadat, pakai hadroh, jantilan, pakai kesenian itu cara sebenarnya orang nusantara melindungi manusianya. Atau bahasa kontemporernya itu priyopolitik soal tubuh manusia itu dibentuk di install nilai-nilai lewat karya seni. 

Rempah-Rempah Mengubah Suatu Tatanan

Terkait dengan rempah-rempah, bagaimana suatu kawasan dengan tatanan etik mandala dan juga pemikiran yang berbeda tentang kekayaan hayati rempah-rempah Indonesia. Eropa menganggap rempah-rempah pada abad satu dianggap sebagai sejenis tesis dan ritual dalam google disebutkan bahwa rempah-rempah itu dianggap sebagai pewangi jadi maknanya masih mistis.

Pemikiran semacam itu awalnya masih sebagai candu, dan kemudian berubah menjadi komoditas untuk makanan. Ketika mereka mengerti eropa membutuhkan alat makanan, jadi rempah-rempah bukan lagi sebagai parfum atau pewangi makanan. Sudah menjadi kebutuhan kuliner, pengawet makanan, dan prestis dikalangannya. Kemudian fungsi herbalnya dipertegas disitu.

[caption id="attachment_9212" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

Nah dari sinilah juga asal- usul penderitaan, disatu sisi dunia ini datang satu Eropa datang ke Asia ke Nusantara, karena etika yang datang, pandangan politik dan tatanan sosial yang diterapkan di nusantara berbeda dengan yang sekarang. Dalam perkembangan lebih lanjut modernitas ini mengalami friksimental, sehingga Indonesia dan Nusantara itu dianggap sebagai dua entitas yang seakan bertentangan terus menerus. Jadi modernitas kita bukan pengembangan dari kenusantaraan tetapi satu entitas politik dari luar yang dipaksakan terus-menerus dalam kadar tertentu dan mengalami orientasi ganda. 

Selanjutnya bagaimana warisan nusantara itu, menderita oleh kekayaan yang dimiliki, orang bilang manusia itu dicoba pada kelebihannya, kalau orang banyak dicintai dia akan dicemburui. Begitu juga kita dikasih rempah-rempah karena itu. Nah bagaimana kemudian tatanan etika dan muncul ditatanan peradaban. Kalau kita melihat karya seni modern dan kontemporer seperti Raden Saleh, Ahmad Sadali, Joko Pekik, Heri Dono dll. Mereka seniman yang mengambil bentuk dari seni rupa modern Barat. 

Ternyata seniman-seniman modern Indonesia ini akarnya modern pada bentuknya tapi dalam spiritnya dalam cara berpikir lebih kuat. Tidak jauh beda dengan bapak-bapak, ibu-ibu didesa dengan melantunkan tembang atau mocopat, nyanyian dan segala macam. Hanya saja mediumnya berbeda. 

Rempah-Rempah Dan Kolonialisme

Menurut Heru Dono, kalau kita melihat posisi Indonesia atau Nusantara sebelum kolonialisme atau sesudah kolonilaisme karena ketika masih Nusantara kita belum punya mata uang untuk bernegoisasi sehingga dalam sejarah sering saya mendengar saat SD dan SMA kita sudah mengekspor rempah-rempah, sebetulnya VOC yang melakukan itu, kemudian ketika saya di Kochi Biennale di Hindia Selatan ada kuburannya Vasco de Gama dan hotel-hotel milik VOC, dan juga kerajaan dari Inggris yang memiliki usaha-usaha di Selatan Hindia untuk mencari rempah-rempah.

Baca Juga: Alifirman Ungkap Rasa "Sujud Syukur" Lewat Pameran Tunggal

Kita melihat sebelum Ottoman jatuh di Turki itu, Eropa sudah bingung cari rempah-rempah dimana, sampai akhirnya Portugis mencari dikawasan Asia di Maluku tepatnya pulau Banda itu, sampai mereka bertukar untuk yang namanya New Amsterdam itu dengan pulau Banda untuk menguasai rempah-rempah. Disini kita melihat jalur rempah-rempah itu dimainkan oleh orang yang membuat kolonialisme. Karena saya juga berpikir kolonialisme muncul dari pemikiran kapitalisme yang akhirnya mengeksploitasi segala sesuatu dan menjual sesuatu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Saya kira di Indonesia sekitar awal abad ke 19 ada yang namanya Ronggo Waskito membuat buku Serat Kalatidha yang dikenal sebagai jaman Tidha. Ini jauh sebelum Michael Fuko membuat buku tentang Civilization and Madness yaitu pemikiran-pemikiran tentang masa depan yang kalau kita bandingkan dengan bisa seperti Alvin Toffler tahun 70an yang menulis tentang Future Shock atau John Naisbitt tentang Megatrends, kemudian George Orwell tentang tahun 88. Tapi kita melihat pada tahun 15 Franz Kafka dalam novelnya, manusia berubah menjadi serangga, dan menjadi predator.

[caption id="attachment_9215" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

Kalau kita melihat hal itu ditulis sebelum Karl Max menulis tentang Das Kapital. Nah ini yang United Diversity. Saya kira kita tahu kita memakai ideologi almarhum dalam kredolog kebangsaan, kita melihat sangat mensupport itu yang namanya seni tradisi yang dengan konsep seni kontemporer sama yang menganggap seni itu universal selalu menurut estetika yang mereka konvensikan.

Kita yang katanya orang selalu terpinggirkan tidak boleh membuat statemen tentang universal sehingga kita hanya mentradisikan seni modern yang ada di Barat.  Meski pandangan hidup menjadi transetter berbeda, kalau saya menonton Srimulat, logika yang dibengkokkan itu tetap benar, jadi artinya kebenaran itu plural dalam seni kontemporer kita menghormati nilai-nilai yang berbeda, tiap-tiap provinsi memiliki banyak sekali nilai dan pemahaman yang tidak boleh ditekan oleh negara. 

Misalnya ketika kita mengetahui wayang adalah warisan budaya Indonesia kenapa tidak dari 33 provinsi membuat wayangnya sendiri-sendiri misalnya. dengan filsafatnya sendiri, tahun 1988 saya membuat wayang Legenda Batak dengan judul Situ Bandahaluan misalnya, yang konsep hidupnya berbeda dengan orang Jawa. 

Ketika saya lahir sebagai orang Jawa, kadang saya merasa berdosa ketika budaya Jawa menjadi referensinya saja. Bahwa kebhinekaan atau kenusantaraan ini saya kira harus dihornati dari apa-apa yang kita sebut plural. Kemudian kita melihat seni rupa yang ada misalnya Claudia Debussy setelah melihat satu pertunjukan gamelan di Prancis semacam pameran besar di negara-negara luar Eropa pada waktu itu. Dia melihat ada konsep laras dalam gamelan itu ada slentro, ada pelok jadi musik itu diselaraskan secara bersamaan dua-duanya itu, nah itu setelah dia mendengarkan Debussy mengatakan bahwa kalau orang eropa secara normal mendengarkan musik gamelan, ia akan melihat musik barat itu hanya seperti musik karnaval yang sangat ringan, dari situ kita melihat kompleksitas seni yang ada di Asia itu sudah melebihi atau jauh kedepan. Selendro itu sebelum ada gerakan diskontruksiisme di eropa itu dalam seni susah tetapi harus dihafalkan, dan  cara memainkan gamelan itu sebenarnya harus mendengarkan musik melayu sehingga keharmonisan itu bisa terjaga ketika mereka mendengarkan musik klasik. Bagaimana orang menghormati pemain kendang, pemain kenong, atau pemain saron.

[caption id="attachment_9216" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

Dalam Mandala perspektif dalam masalah Barat dan Timur ketika kita melihat bahwa terutama ketika saya di Swiss pameran tunggal di musium etnologi yang namanya musium DeCulturer itu ada kesalahpahaman antara Barat dan Timur karena bagi orang eropa Barat dan Timur itu persoalan ideologi politik, entah itu sosialis atau kapitalis, jadi mereka menganggap Australia itu barat, Kanada termasuk barat, Amerika Latin termasuk timur, Korea Utara termasuk timur.

Di Indonesia kita bicara tentang timur dan barat, kita bicara soal geografis entah kita berada di timur dan eropa di barat jadi miss understanding antara timur dan barat tadi saya secara geografis, dan apalagi Soekarno pada waktu itu dengan Tito dan yang lain mendeklarasikan tentang negara-negara Non Blok itu tidak di Blok Barat dan Blok Timur.

"Jadi persoalan-persoalan itu membuat saya sulit mendiplomasikan kebudayaan. Pada waktu orde baru itu, orang-orang yang bekerja di kedutaan besar Indonesia mengontrol apa-apa yang tidak seharusnya dipertontonkan diluar Indonesia. Ketika pameran di Inggris sampai terjadi penolakan terhadap karya saya yang wayang batak tersebut, bahkan katalognya harus ditarik kembali. Bloming Arts judul pameran itu, jadi itu hijau seperti pepohonan tapi sebetulnya diatas udara pakaian militer jadi semacam militerisme itu yang saya pamerkan tahun 1996."

"Kemudian yang terakhir dari Menchant of Venice 2911 ditulis oleh William Shakespeare dan simbol kapitalisme itu roboh ketika gedung World Center di New York itu dihancurkan teroris, gerakan-gerakan troy atau kuda troya cuma saya memperlakukan kuda troya itu sebetulnya tidak hanya saya buat di Venice itu tahun 2007 saya buat pameran The Dream Republic di Sasha Galerry di Adelaide Australia."

"Bagaimana tentang konsep saya memasukan knowledge bukan tentara, sehingga diplomasi kebudayaan saya melakukan gerakan-gerakan dari arus bawah untuk melakukan workshop, ficture, atau presidensil dimana ada semacam komunitas-komunitas dimana ada semacam proteksi terhadap kebudayaan yang masuk di institusi resmi. Sehingga suara-suara saya didukung oleh kelompok komunitas dibanyak negara, karena persoalannya pada kemanusiaan dan semacam soft power jadi bukan gerakan frontal karena institusi pemerintahan Indonesia ketika melakukan pameran kebudayaan Serikat itu memasukan seniman Indonesia di institusi-institusi yang tidak terhormat misalnya, museum The Rush apalagi Joseph Fisher bukan sebagai kurator seni rupa."

"Jadi pameran itu seperti pameran kebudayaan Indonesia Amerika. Kemudian pameran saya di Indonesia Belanda di Amsterdam itu juga karya saya dipamerkan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan bahwa ini tidak sopan yang judulnya Berak Diatas Meja Makan diminta diganti dan yang dipamerkan yang sopan saja. Tapi setelah pameran selesai panitia dari Belanda datang untuk mengkoleksi karya itu  di studio saya waktu itu."

Jalur Diplomasi Kebudayaan Indonesia

Menurut Sri Astari Rasyid, selama empat setengah tahun menjadi Duta Besar di Bulgaria, Makedonia, dan Albania. Saya jauh dari Indonesia akan tetapi tidak pernah jauh dari dunia seni. Saya tetap aktif menciptakan karya seni, namun juga aktif mempraktikan diplomasi saya sebagai ssbuah karya seni. Dalam buku saya The Arts of Diplomacy saya menulis tentang seni juga yaitu seni menulis perdamaian yang harmoni dalam kanvas di dalam hubungan internasioanal.

[caption id="attachment_9217" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

"Selama misi saya mengambil pendekatan budaya untuk diplomasi yang dikenal sebagai diplomasi budaya. Saya juga meluangkan waktu dimasa pandemi membuat buku Art of Diplomacy, semoga generasi muda berikutnya dapat belajar dari pengalaman saya atau setidaknya menghindari kesalahan yang saya buat. Mudah-mudahan saya bisa mempublikasikannya kedalam bahasa Indonesia supaya mudah diakses."

Baca Juga: Ini Catatan Khusus Demokrat Terkait UU Ibu Kota Negara

"Sebagai Artist and Industries di tanah budaya Indonesia yang kaya tentu banyak hal yang bisa saya tawarkan. Saya mencoba menyajikan yang terbaik dari budaya kita pada orang-orang di negara tuan rumah. Saya selalu mengingatkan selalu kepada staff saya menawarkan dan menunjukan yang terbaik."

Dari Ratu Rempah Hingga Sembilan Mutiara Dari Surga 

"Karena diskusi ini juga membahas sandang dan pangan, saya mau mengatakan tidak ada program atau acara selama saya bertugas di KBRI semua menikmati seni dan pertunjukan budaya Indonesia. Secara berkala saya mengadakan tampilan seni rupa maestro dan seni rupa kontemporer Indonesia di berbagai museum dan galeri nasional. Menunjukan desain-desain baju baru, dan menunjukan cara berpakaian yang elegan di Indonesia." Ada banyak yang bilang yang harus disajikan Terra (in) Cognita kepada dunia dalam beberapa tahun belakangan ini, kita mengenal dunia dalam arti fisik tapi memang masih banyak yang kita harus gali di bidang pengetahuan seni kemanusiaan Indonesia.

[caption id="attachment_9218" align="alignnone" width="300"] foto: Galeri Nasional Indonesia[/caption]

"Saya menggarap karya mengenai jalur rempah dan melihat bagaimana kita bisa berkontribusi kepada kebangkitan budaya maritim. Dan seperti kita ketahui tanah Indonesia adalah tanah air kita, tanah yang dikelilingi air dan juga tanah subur yang dikelilingi rempah-rempah dan pada masanya dulu sangat dicari dunia sebagai bahan kebutuhan obat-obatan dan minuman kesehatan lainnya."

Lewat jalur rempah kita bisa mengembalikan jalur maritim kita budaya maritim kita, budaya nenek moyang kita yang orang pelaut. Perdagangan rempah mengubah takdir kita, dan takdir kita mengubah dunia. Hari ini adalah kelanjutan dari masa lalu jika kita ingin mengetahui masa depan kita atau setidaknya melihat masa depan kita, perlu belajar dari sejarah dan masa lalu. Its not be dont know the past your ready have a future.

Itu sebabnya ingin melihat sejarah rempah-rempah, transportasi dan budaya disekitar rempah-rempah secara artistik,  Indonesia adalah asal rempah-rempah dan akar rempah-rempah yang menghubungkan timur dan barat. Indonesia adalah titik pertemuan banyak pedagang dan budaya dalam sejarah, pertukaran pengetahuan dan budaya ditanah kita mengubah kehidupan manusia.

Untuk pameran kali ini saya mengangkat tema kejayaan rempah dunia abad ke 16 membuat karya Queen of Species atau  Ratu Rempah dari Kesultanan Ternate, Rainha Boki Raja dalam bentuk wayang golek Jogja yang hampir tak terabaikan tetap saya lihat ratu rempah saya lihat memakai selendang dengan cengkeh, pala, dan kapulaga dan lainnya. Dan artisan lainnya, dan juga perhiasaan yang saya buat semua dari rempah-rempah. Karena selama ini saya lihat di Maluku hanya beberapa bentuk saja yang mereka buat jadi saya tawarkan ada bentuk-bentuk lain disini, bahwa mereka bisa membuat perhiasaan misalnya, yang banyak digemari kaum perempuan atau alternatif lain dalam membuat perhiasaan mereka untuk keperluan wisatawan.

Rainha Boki Raja adalah tokoh pejuang yang berhasil menumpas  pemimpin tentara pejuang Portugis di Ternate. Seharusnya beliau layak menjadi pahlawan nasional, seperti tokoh pejuang perempuan Indonesia lainnya di era kejayaan era rempah abad ke 16 yaitu Ratu Kalinyamat dari Jepara yang membangun kapal galangan besar di Jepara untuk menjaga sekitar kawasan maritim nusantara. Antara lain saat maupun tentara Portugis di Maluku Malaka, beliau mengirimkan 300 kapal termasuk 80 jung dan 15 ribu pasukan untuk membentuk aliansi antara Aceh, Johor, Maluku, dan Jepara untuk menyerang Portugis yang menguasai perdagangan rempah di Malaka. Yang merupakan pasar utama yang menjadi ekspor rempah. Mereka bukan hanya ratu tapi juga pahlawan kita. dengan mengangkat mereka ini saya berharap bahwa Indonesia akan melihat pahlawan-pahlawan perempuan kita yang telah berjasa untuk bumi Indonesia.

"Saya ingin bercerita tentang pahlawan kita, pahlawan perempuan yang terlupakan dan juga mengingatkan orang untuk mengingatkan orang-orang tentang mereka. Dalam proses pembuatan seni instalasi dibantu sahabat saya almarhum Prof. Tuti Harati yang juga giat mengangkat tokoh Rainha Boki Raja yang akan dibuat film layar lebar mendadak pergi meninggalkan kita. Untuk mengenang beliau dan melanjutkan perjuangan beliau saya menamakan Ratu Rempah sebagai Reinha Boki Raja."

Dia sangat mencintai Indonesia dan ingin menemukan Terra (in) Cognita dari sejarah kita dititik masa lalu. Saya selalu terinspirasi dari moto kita Bhineka Tunggal Ika, Indonesia adalah seperti burung Phoenix burung Hong yang berwarna-warni terbang bersama dari keterpurukan esok. Kita adalah tanah yang beragam bersatu demi persatuan Indonesia. 

"Dalam perjalanannya saya mencoba menemukan ide mengabungkan pejuang perempuan kreasi saya dan ratu rempah dengan para pemimpin sembilan tokoh perempuan suci dari surga. Yang memperkenalkan diri mereka kepada ratu rempah kita yang telah melakukan perjalanan imajiner. Ia bertemu dengan tokoh-tokoh perempuan suci dalam perjalanannya menawarkan mereka cinta asih atau welas asih."

Selain itu, ia juga mendapatkan dari mereka pelajaran yang berharga yaitu dari Siti Mariyam kesucian dan takdir dari hatinya kebijaksanaan dan naluri kuat. Dari Fatimah pendidikan anak dan kesetiaan welas asih. Dari Sarasvati ilmu dan kreatifitas. Dari Dewi Sri kesuburan, kesakralan, dan ketahanan. Dari Tehireh kebebasan dan emansipasi. 

Perempuan-perempuan yang ditemui Ratu Rempah memiliki jiwa yang sama semua. Mereka mewakili berbagai agama dari sembilan perempuan suci dari surga tersebut.  

Reporter: Denny Setiawan

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU