UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Masih Berlaku atau Tidak?

author Jenik Mauliddina

- Pewarta

Kamis, 09 Des 2021 15:46 WIB

UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Masih Berlaku atau Tidak?

i

UU Cipta Kerja Inkonstitusional, Masih Berlaku atau Tidak?

Optika. Id - Buruh dari berbagai daerah melakukan aksi demonstrasi kembali Rabu, (8/12/2021). Massa buruh dari berbagai serikat mengancam akan mogok nasional, jika pemerintah tidak menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. 

Hal itu disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal saat aksi unjuk rasa yang mereka gelar di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.

Baca Juga: Kunjungi Jatim, Jokowi Resmikan Flyover Djuanda dan RS Kemenkes Surabaya

"Perlawanan kaum buruh akan terus meningkat eskalasinya, diseluruh Indonesia bilamana pemerintah memaksakan untuk tetap menjalankan isi Undang Undang (UU) Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 tidak mengacu pada keputusan MK," kata Iqbal.

Ratusan buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jawa Timur juga menggelar demonstrasi di Gedung Negara Grahadi pada Rabu (8/12/2021).

"Kami meminta Gubernur untuk menyusung ulang UMK tahun 2022 dan UMP tahun 2022 tanpa menggunakan UU Cipta Kerja atau PP nomor 36," kata Jazuli di lokasi. 

Sebelumnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji formil Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja ( UU Ciptaker ) menyebut bahwa proses legislasi UU Ciptaker inkonstitusional. Namun, perlu perbaikan dalam 2 tahun ke depan terhitung sejak tanggal putusan.

Putusan ini menjadi polemik baru dari berbagai pihak. Buruh menganggap putusan Inkonstitusional berarti UU Cipta kerja tidak bisa dijadikan landasan hukum. 

PP Nomor 36 tahun 2021 merupakan aturan turunan dari UU Cipta kerja yang dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Pihak Buruh menganggap bahwa UU cipta kerja tidak seharusnya lagi menjadi dasar penetapan Upah Minimum bagi semua wilayah di Indonesia. 

Selain itu, putusan MK menimbulkan multitafsir yang memunculkan perbedaan pandangan dan penerapannya. 

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal bersama Presiden KSPSI, Abdul Gani Nea dan pimpiman aliansi pimpinan buruh lainnya melakukan audiensi dengan perwakilan Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (8/12/2021). Dalam pertemuan itu mereka meminta penjelasan terkait penjelasan MK terkait amar putusan poin 7 dalam uji materi UU Cipta Kerja.

Menurut Iqbal dalam putusan itu tertulis, segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas terkait Undang-undang Cipta Kerja ditangguhkan. 

"Kami meminta penjelasan amar ke-7 yang menyatakan pemerintah tidak boleh mengeluarkan peraturan pelaksana atau menjalankan yang berdampak strategis kepada maayarakat," ujar Said Iqbal di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (7/12/2021).

Selain itu, kata Said, PP No 36 tahun 2021 tentang pengupahan sangat berdampak stragis kepada masyarakat. Sebab masalah upah minimum, baik upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten (UMK) eskalasi gerakannya terus meningkat dan MK memiliki hak untuk menjelaskannya.

"Apakah yang digunakan tafsir itu oleh pemerintah adalah amar nomor 4 atau amar putusan nomer 7? Hanya MK yang bisa menjawab," tutur Said Iqbal.

Hasil dari audiensi yang diwakili Kepala Biro Komunikasi, kata Said Iqbal, MK berjanji akan segera menyampaikan kepada ketua hakim konstitusi untuk menyelesaikan multitafsir tersebut. Menurutnya keputusan MK bersifat mengikat kepada satuan terkecil pemerintahan sampai dengan pemerintah pusat.  

"Dengan demikian bupati, wali kota dan gubernur boleh menggunakan keputusan MK tanpa harus berkonsultasi atau tunduk kepada pemerintah pusat," tegas Said Iqbal.

UU Cipta Kerja Tidak Berlaku, Kata Siapa? 

Adapun spekulasi bahwa UU Ciptaker ini tidak lagi berlaku mendapat tanggapan dari Menko Polhukam Mahfud MD Kamis (2/12/2021). Mahfud justru mempertanyakan kembali, pihak mana yang menyatakan UU tersebut tidak lagi berlaku.

"Siapa bilang ndak bisa diterapkan?" kata Mahfud seusai bertemu Pimpinan DPD RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/12/2021).

Mahfud menegaskan, pandangan bahwa UU Omnibus Law pertama di Indonesia itu tidak berlaku lagi adalah pandangan pengamat hukum saja, faktanya putusan MK menyatakan tetap berlaku. Meskipun, ia sebagai ahli hukum tata negara juga mempertanyakan itu. 

"Nah itu kan kata pengamat, kata MK tetap berlaku. Memang kalau ditanya ke saya lho kok putusannya kok inkonstitusional kok tetap berlaku ya? Itu pertanyaan saya sebagai ahli hukum," ungkapnya.

"Tetapi putusan MK itu sesuai dengan bunyi amarnya, inkonstitusional bersyarat berlaku selama 2 tahun, tidak ada masalah. Bunyi amarnya begitu," pungkasnya.

Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, yang berpendapat pemerintah dan DPR harus memperbaiki UU Ciptaker melalui proses awal selaiknya membentuk UU baru.

Baca Juga: Megawati Respon MK: Ternyata Hakim Masih Punya Hati Nurani dan Keberanian!

"Ya harus melalui proses dari awal lagi," ujar Bivitri melalui keterangan tertuli, dikutip dari CNN Indonesia. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3), rangkaian proses pembentukan perundangan, baik itu revisi atau baru, pada prinsipnya mencakup tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

Senada, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Wiwik Budi Wasito, berpendapat pemerintah dan DPR harus melakukan perubahan atau revisi dalam proses perbaikan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebagaimana putusan MK.

"Kalau putusan MK kemarin itu sebenarnya ujungnya nanti adalah revisi atau perubahan terhadap UU Cipta Kerja. Karena tidak mungkin melakukan suatu perbaikan tanpa mengubah materi UU itu," ujar Wiwi. 

Revisi dimaksud nantinya bisa kemungkinan mengubah, menambah, atau menghapus muatan yang sudah ada di dalam UU Ciptaker saat ini. Hal itu, menurut Wiwik, tergantung pada pembentuk UU yakni pemerintah dan DPR.

"Memperbaiki itu solusinya dengan itu tadi, dengan bikin perubahan," imbuhnya.

Ancaman Mogok Nasional

"Di seluruh Indonesia bilamana pemerintah memaksakan untuk tetap menjalankan isi UU Cipta Kerja nomor 11 tahun 2020 tidak mengacu pada keputusan MK. Perlawanan gerakan mogok nasional menjadi pilihan," kata Said saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (8/12/2021).

Buruh menegaskan putusan MK sudah menyatakan Cipta Kerja cacat formil karena pembentukannya yang belum memenuhi unsur partisipasi publik. MK pun memberi kesempatan pemerintah untuk memperbaiki dalam dua tahun mendatang.

"Perlawanan gerakan mogok nasional menjadi pilihan bilamana dalam proses menuju paling lama dua tahun dari awal pembentukan UU Cipta Kerja yang baru ini tetap mengabaikan partisipasi publik," imbuhnya. 

Mogok nasional itu akan dilakukan sekitar 2 juta buruh di 30 provinsi Indonesia. mogok nasional setop produksi yang direncanakan diikuti 2 juta buruh lebih dari 100 pabrik berhenti produksi. 

Ada tiga tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah pusat dan daerah dalam aksi berjilid-jilid yang telah dirangkum. 

Baca Juga: Peluang Jadi Kader PDIP, Ini Respon Anies!

Pertama, meminta seluruh Gurbernur di Indonesia merevisi SK Upah Minimum/ UMP atau  UMK. Karena menurut kaum buruh bertentangan dengan keputusan MK Amar putusan Nomor 7.

Kedua, mereka meminta pemerintah pusat mencabut Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

 Amar putusan Mahkamah Konstitusi nomor 7 tersebut, jelas dikatakan menyatakan, menangguhkan tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan tidak  boleh menerbitkan peraturan-peraturan yang baru. 

"Di dalam PP Nomor 36 tahun 2021 tentang Perubahan Pasal 4 Ayat 2, jelas mengatakan kebijakan kenaikan upah minimum adalah keputusan strategis. Oleh karena itu, kami meminta pemerintah pusat tunduk kepada keputusan MK cabut PP Nomor 36 Tahun 2021," sambungnya.

Ketiga, mereka meminta pemerintah pusat dan daerah, tunduk pada keputusan MK yang menyatakan  Undang-undang Cpta Kerja  inkonstitusional bersyarat.

"Dibutuhkan syarat waktu 2 tahun paling lama untuk memperbaiki prosedur dan tata cara pembentukan UU cipta kerja dari nol. Kalau prosedurnya dimulai dari nol, atau dari awal lagi, dengan demikian isi pasal-pasalnya tidak berlaku, khususnya yang strategis/berdampak luas," katanya.

"Dengan demikian kami meminta semua peraturan peraturan turunan dari UU Cipta Kerja dan isi pasal pasal dalam UU Cipta Kerja tidak boleh diterapkan," tegasnya disambut teriakan dukungan buruh lainnya. 

Reporter: Jeni Maulidina

Editor: Amrizal

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU