Jakarta (optika.id) - Seorang anak berusia 11 tahun berinisial EF pada Senin (22/1/2024) lalu ditemukan tewas tergantung di dalam kandang sapi di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, Jawa Timur. Jenazah korban tersebut ditemukan pertama kali oleh ayah angkat dan pamannya. Siswa kelas 5 SD itu diduga mengakhiri hidupnya karena pengaruh video di media sosial.
komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Dyah Puspitarini, menanggapi hal tersebut dengan serius. Menurutnya, banyaknya kejadian anak yang bunuh diri ini disebabkan oleh pola pengasuhan orang tua yang rapuh dan kurangnya ikatan antara orang tua dan anak. Alhasil, anak menjadi tertutup terkait masalah hidupnya kepada orang tua. Kemudian, ada faktor perundungan yang terjaid di lingkungan tempat tinggal dan sekolah sang anak itu sendiri.
Baca juga: Jangan Asal Self Diagnosis Kesehatan Mental, Ini Bahayanya!
Faktor asmara yang gagal juga ternyata tidak bisa kita sepelekan, tutur Dyah, Jumat (26/1/2024).
Dihubungi secara terpisah, Guru Besar tetap Ilmu Psikologi Universitas Indonesia (UI) sekaligus Psikolog Anak, Rose Mini Agoes Salim menjelaskan jika tren anak yang bunuh diri dan kian meningkat dari tahun ke tahun ini berkaitan erat dengan pola asuh orang tua yang abai terhadap buah hatinya. Imbasnya, anak tidak mempunyai life skill untuk menghadapi persoalan. Khususnya persoalan yang rumit.
Sering kali anak kadang-kadang merasa tidak nyaman. Tapi tidak bisa mengekspresikan itu kepada orang tuanya. Sementara dengan teman atau guru juga mereka tidak dapat tanggapan. Jadi, masalah itu terbenam dalam dirinya, ujar Rose kepada Optika.id, Jumat (26/1/2024).
Anak yang memiliki kemampuan psikososial yang baik, imbuh Rose, misalnya mampu berkomunikasi, menganalisis, dan berempati, maka dia tidak mudah untuk terdorong mengakhiri hidupnya. Rose menyebut jika keterampilan psikosial ini harus diajarkan oleh orang tua sejak anak masuk ke sekolah dan ketika mereka sudah mulai menjalin interaksi dengan lingkungannya.
Jika hal tersebut tidak diajarkan secara dini pada anak, kata Rose, maka ketika si anak mengalami sesuatu yang sulit dan seperti tidak ada jalan keluarnya, maka salah satu caranya adalah mengakhiri hidupnya.
Selain lingkungan lain seperti sekolah, orang tua juga wajib peka ketika anak menghindari keramaian atau bahkan ketika mulai menyendiri. Rose mengingatkan, jika anak sudah memperlihatkan sikap seperti itu, maka bisa jadi mental si anak sedang tidak baik-baik saja karena adanya faktor eksternal dari lingkungan sekitar.
Ada kadang-kadang masalah di-bully di sekolah atau anak itu enggak nyaman karena tidak bisa paham pelajaran di sekolah. Tapi enggak semua anak punya kemampuan komunikasi untuk menjelaskan masalah itu. Namun, orang tua juga enggak tanggap, ucapnya.
Di sisi lain, Dyah menjabarkan bahwa untuk mencegah anak melakukan tindak bunuh diri, maka diperlukan kepedulian keluarga yang besar. Pasalnya, pola asuh yang berorientasi pada penguatan karakter yang logis nan mandiri ini dinilai sangat penting sebagai bekal anak di nantinya untuk menghadapi kondisi depresi.
Baca juga: Pemilu Sebabkan Banyak Orang Stres, Ini Cara Mengatasinya
Komunikasi dengan orang tua itu sangat penting karena ada juga hal sepele, misal, anak ditegur tidak usah main hp (handphone). Terus, anak sakit hati dan masuk kamar, lalu bunuh diri. Itu kasus tidak hanya satu. Ada dua atau tiga kasus seperti itu, kata Dyah.
Mental anak yang rapuh, kata Dyah, sangat rentan untuk mengakhiri hidup tatkala mereka menghadapi masalah di luar. Maka dari itu, lingkungan sekitar, khususnya sekolah yang merupakan tempat anak paling banyak menghabiskan waktunya, harus tanggap memitigasi anak yang mengalami depresi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Beberapa kasus itu ada memang (yang) meninggal di sekolah. Dia terjun dari lantai (atas di) sekolah itu ada beberapa (kasus). Itu juga perlu pengawasan dan kemudian sekolah juga harus membuat sistem. Sistem pengawasan di sekolah puh harus ditingkatkan, jelasnya.
Di sisi lain, sekolah juga perlu mengadakan edukasi kesehatan mental agar anak-anak tersebut terdorong untuk menghindari penyelesaian masalah dengan cara bunuh diri. Masyarakat, di sisi lain, terutama mereka yang tinggal di lingkungan sekitar rumah, juga harus tanggap apabila mengamati ada gerak-gerik anak yang menjurus pada menyakiti diri sendiri, yang berujung mengakhiri hidupnya.
Ada beberapa kasus yang meninggal itu gantung diri di pohon. Kalau masyarakat melihat ada gerak-gerik yang aneh pada anak, terus diam-diam dia beli tali. Kemudian ada kenyataan mau bunuh diri, mungkin bisa dicegah, ucapnya.
Baca juga: Alami Baby Blues, Kapan Sebaiknya Ibu Pergi ke Psikolog?
Yang tak kalah penting menurut Dyah adalah peran aktif dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang harus menyaring dengan ketat situs yang bisa mendorong anak melakukan kekerasan terhadap dirinya sendiri atau mengakhiri hidupnya. Alasannya adalah tak sedikit anak yang mengakhiri hidupnya lantaran terpengaruh dari tontonan atau konten berbahaya yang menjurus pada perilaku mengakhiri hidup di internet.
Ada anak yang mengakhiri hidup itu mendapat informasi atau mencari tahu di situs-situs (internet) ini, ucap Dyah.
Berbeda dengan Dyah, Rose lebih menekankan pada penanganan dalam kerangka kebijakan dan rekayasa sosial di lingkungan sekolah maupun tempat tinggal si anak. Rose menegaskan bahwa baik orang tua maupun guru di sekolah harus mempunyai mekanisme pencegahan anak yang kemungkinan depresi dan berupaya mengakhiri hidupnya. Harapannya adalah bisa mencegah kejadian yang lebih fatal. Adapun sistem mitigasi pencegahan tersebut bisa dimulai dari hal terkecil misalnya pola asuh serta pengawasan dan pendampingan psikologis yang baik di level rumah dan sekolah sang anak.
Setiap dinas pendidikan level kabupaten harus peka terhadap masalah kesehatan mental ini. Harusnya ada guru BK (bimbingan konseling) di sekolah untuk membantu kalau tidak ada psikolog. Tapi tidak semua sekolah punya guru BK apalagi psikolog. Kalau enggak, (bisa) kerja sama saja dengan konsultan dan rumah sakit untuk membantu sekolah, pungkasnya.
Editor : Pahlevi