Surabaya (optika.id) - Beberapa tahun terakhir, internet khususnya media sosial menjadi wadah informasi yang cukup melimpah untuk orang mengaksesnya secara bebas tak terbatas topik, khususnya terkait kesehatan mental. Anak muda yang menjadi mayoritas pengguna internet, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi ini kerap mendiagnosis dirinya sendiri atau melakukan self-diagnosis soal kondisi kesehatan mentalnya, alih-alih pergi ke professional. Alhasil, informasi yang mereka dapatkan di media sosial itu tidak valid dan tidak kredibel sumbernya.
Self diagnosis secara harfiah dijelaskan oleh psikolog Jehan Safitri sebagai praktik di mana seseorang mencoba untuk mengidentifikasi kondisi kesehatan mental mereka sendiri. mereka biasanya mencari informasi di internet atau sumber lainnya berdasarkan gejala yang mereka alami, lalu mengklaim hal tersebut sebagia kebenaran yang valid.
Baca Juga: Caleg Gagal Butuh Dukungan Moril dari Keluarga
Padahal, meski dua orang memiliki gejala yang serupa, Jehan menyebut sesungguhnya kondisi mental keduanya bisa sangat berbeda.
Memiliki gejala yang sama, tidak selalu berarti memiliki diagnosis yang sama atau memerlukan perawatan yang sama, ujar Jehan, kepada Optika.id, Kamis (29/2/2024).
Penyebab, Praktik, dan Bahayanya
Menurut Tahira Nurul Azizah dan Nunung Nurwati, peneliti dari Departemen Kesehatan Sosial Universitas Padjajaran (Unpad) dalam penelitian mereka yang berjudul Dampak Perilaku Self-Diagnosis pada Kesehatan Mental Remaja yang terbit di Jurnal Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNSIQ menyebut bahwa keterbukaan akses menyebabkan seseorang bisa melihat sendiri penyebab dari gangguan mental dan bisa mengidentifikasi secara langsung.
Praktik diagnosa diri ini menjadi praktik umum sekarang. Tanpa didiagnosa secara profesional, mereka (remaja) langsung mengklaim gejala itu sebagai apa yang dialaminya, dan cepat-cepat mengidentifikasi bahwa mereka mempunyai gangguan mental. kata Tahira dan Nunung.
Mereka menulis, anggapan bahwa gangguan mental merupakan hal yang tabu atau identic dengan gila pada akhirnya membuat remaja hanya melakukan self-diagnosis. Alasannya beragam, salah satunya adalah orang tua tidak percaya, atau tidak berani berkonsultasi dengan professional.
Hal ini malah membuat self diagnosis menjadi tren, kata mereka.
Para anak muda ini cenderung mendiagnosis secara mandiri salah satu jenis gangguan mental, lalu mereka merasa sesuai dengan apa yang dirasakan. Padahal, berdasarkan data dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, ada lebih dari 300 jenis gangguan mental.
Sementara itu, para peneliti dari Indiana University Bloomington, Lauren A. Rutter, Jacqueline Howard, Prabhvir Lakhan, Danny Valdez, Johan Bollen, dan Lorenzo-Luaces dalam risetnya yang berjudul I havent been diagnosed, but I should beinsight into self-diagnoses of common mental health disorders: Cross-sectional study menjelaskan bahwa apabila seseorang percaya bahwa mereka seharusnya didiagnosis dengan gangguan internal, maka mereka sedang mengalami psikopatologi yang mirip dengan orang yang sudah didiagnosis sebelumnya.
Diagnosis yang dilakukan sendiri sesuai dengan tingkat keparahan gejala secara berkelanjutan dan dapat dipercaya sebagai indikator klinis, terutama dalam gangguan internal umum, seperti depresi dan gangguan kecemasan umum, tulis para peneliti.
Lebih lanjut, apabila ada seseorang dengan pengikut (followers) yang cukup besar di media sosialnya memberikan diagnosis tertentu, orang lain cenderung bakal mengikuti atau bahkan mendiagnosis diri mereka sendiri. padahal, hal tersebut tak benar-benar sesuai dengan kondisi mereka.
Menurut Kepala Kantor Medis di Talkspace dan Floreo VR sekaligus psikiater, Varun Choudhary dalam US News, self-diagnosis mempunyai pola kecenderungan yang berulang dan intensif. Misalnya, seorang perempuan muda yang menelusuri TikTok, kemudian melihat seorang influencer berbagi bahwa dia memiliki gangguan pemusatan perhatian serta hireaktivitas, kemudian algoritma media sosial dalam seminggu berikutnya lebih banyak menyuguhkan umpan konten terkait hal tersebut.
Baca Juga: Pemilu Sebabkan Banyak Orang Stres, Ini Cara Mengatasinya
Alhasil, dari sana pun beberapa gejala kemudian terasa relevan. Dirinya kemudian mencari di YouTube tentang gangguan mental tadi. Usai menonton beberapa dari ribuan video tentang topik serupa, dia pun memutuskan untuk punya gangguan mental tersebut tanpa pergi dahulu kepada professional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Apabila seseorang percaya bahwa mereka memiliki suatu kondisi mental beradasarkan informasi yang ditemukan, maka akibatnya hal itu dapat memengaruhi pikiran dan perasaan mereka baik untuk memperburuk, ataukah memperbaiki kondisi mental tersebut kendati tidak ada dasar medis yang cukup kuat.
Informasi yang tidak terverifikasi kebenarannya bahkan cenderung tak lengkap itu menurut Jehan bisa membuat seseorang merasa terlalu khawatir berlebihan tentang kondisi kesehatan mental mereka. Padahal, hal itu bisa saja salah kaprah karena mendapatkan informasi yang salah. Akhirnya, hal itu bisa memicu stress, kecemasan, bahkan mengganggu kesejahteraan mental seseorang.
Misalnya, dia yakin dirinya depresi. Maka, perilakunya seperti orang yang didiagnosis depresi. Kasus paling banyak, masalah self harm. tutur Jehan.
Dirinya pun mengakui bahwa banyak pasiennya yang menganggap jika mereka mengalami depresi, bipolar hingga skizofrenia. Padahal, pasien tersebut tidak termasuk ke dalam gejala gangguan mental tersebut setelah dilakukan penilaian secara intensif.
Lebih lanjut, menurut Choudhary dalam tulisannya, self diagnosis ini bisa sangat berbahaya. Pasalnya, ketika mereka percaya bahwa mereka menderita gangguan kesehatan mental hanya berdasarkan informasi di media sosial, maka hal itu bisa mendorong mereka untuk mencari perawatan yang tidak tepat atau bahkan meromantisasinya tanpa rujukan ke ahlinya.
Mereka mungkin melaporkan diagnosis diri sendiri kepada lembaga yang tak punya keahlian kesehatan mental yang mumpuni untuk mengevaluasi gejala yang muncul. Atau mereka mungkin akhirnya menggunakan penyedia layanan kesehatan jarak jauh untuk mendapatkan resep obat yang tak membantu atau bahkan berbahaya tulis Choudhary dalam US News.
Baca Juga: Alami Baby Blues, Kapan Sebaiknya Ibu Pergi ke Psikolog?
Maka dari itu, Jehan menyarankan agar seseorang tidak takut maupun tidak ragu untuk segera mencari bantuan tenaga professional seperti psikolog, terapis, atau psikiater jika merasa mengalami kesehatan mental, atau ada masalah yang perlu didiskusikan lebih lanjut ke ahlinya. Pasalnya, akibat yang ditimbulkan tidak main-main jika asal diagnosis hanya berbekal informasi di internet. Akibatnya bisa membawa risiko serius, salah satunya adalah mengonsumsi obat yang tidak tepat.
Mengonsumsi obat sembarangan atau mencoba metode pengobatan yang tidak direkomendasikan, dapat meningkatkan risiko kondisi kesehatan yang lebih parah, ujar dia.
Di sisi lain, Jehan menegaskan untuk menghentikan self diagnosis ini. Salah satu yang bisa dilakukan adalah para professional di bidang kesehatan mental harus bertemu dengan pihak platform media sosial yang dimaksud.
Pasalnya, perusahaan media sosial memiliki tanggung jawab untuk membuat batasan konten yang dihasilkan oleh penggunanya dan untuk penggunanya sendiri. mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat batasan yang seharusnya memastikan informasi yang telah terverifiaksi secara klinis dan akurat serta dapat diakses secara terbuka oleh siapa saja yang mencari konten tentang kesehatan mental.
Perusahaan media sosial pun dapat membuat semacam syarat untuk pembuat konten yang memonetisasi platform mereka, dengan menghubungkan pengikutnya ke sumber-sumber yang tepercaya terkait setiap unggahan mereka tentang kesehatan mental.
Sebagai contoh, jika Anda memasukkan istilah pencarian depresi atau bunuh diri di Instagram, Anda akan diberikan daftar sumber-sumber kesehatan mental, pungkasnya.
Editor : Pahlevi