[caption id="attachment_9675" align="alignnone" width="275"] Oleh: Cak A. Cholis Hamzah[/caption]
Menjelang tutup tahun 2021, di Yogyakarta kota pendidikan dan pusat budaya Jawa yang luhur ada berita penangkapan beberapa remaja karena terlibat tindak kriminal
Baca Juga: Donald Trump Deklarasikan Kemenangannya dalam Pilpres AS 2024
Kilitih yaitu melakukan tindakan kekerasan seperti begal di jalanan. Beberapa pihak menyayangkan kejadian itu karena terjadi di Yogyakarta yang terkenal sebagai kota pendidikan dan tempat masyarakat yang menjunjung tinggi budaya luhur Jawa tadi.
Media Jangan Besarkan
Sultan Hamengkubuwono Gubernur DIY menyatakan agar media tidak membesar-besarkan bertita tentang Klitih itu karena dissinyalir berita seperti itu ingin menghancurkan reputasi kota Yogyakarta.
Berita tentang Klitih ini tidak hanya muncul dipenghujung tahun 2021 lalu saja; harian Kompas memberitakan bahwa kriminal remaja itu muncul tahun 1990 an, istilah klitih juga muncul di pemberitaan media tahun 2016 an. Tercatat ada lebih dari 4o kasus Klitih ini .
Kalau kita membuka kamus bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata Klitih sebenarnya berasal dri kata klitah-klitih yang artinya berjalan bolak-balik tidak ada unsur negatif di makna tersebut; Ada juga yang mendefinisikan sebagai kluyuran yang tak jelas arah.
Banyaknya kasus klitih tersebut diduga terkait dengan banyaknya keberadaan geng yang ada di kota Yogyakarta, ditahun 2017 saja ada 81 geng sekolah. Karena itu kegiatan anak-anak muda yang sebenarnya hanya kluyuran tanpa arah atau hanya mengisi waktu luang menjadi kegiatan kriminal misalnya begal dan pembacokan.
Kalau berdasarkan beberapa definisi Klitih di atas maka sebenarnya itu adalah kegaiatan anak-anak muda dimanapun di nusantara ini, tidak hanya di Yogyakarta. Saya sebagai generasi tahun 50an pernah melakukan kegiatan klitah-klitih itu, bersama dengan teman-teman sebaya menyusuri jalan-jalan di kota Surabaya.
Pada saat melakukan kegiatan itu kami kadang terlibat dengan tindakan kenakalan anak-anak, misalnya mencuri mangga di pohon milik orang lain, atau memencet bel rumah orang kemudian lari dsb. Jadi Klitih itu sebenarnya bukan fenomena baru.
Pengaruh lingkungan.
Kasus di Yogyakarta itu menjelaskan bahwa kegiatan Klitih yang tidak ada makna negatifnya menjadi tindakan kriminal adalah karena pengaruh lingkungan. Misalnya keberadaan geng-gang sekolah, atau pengaruh teman sekitar yang menuntut seseorang remaja menunjukkan Kelakiannya atau keberaniaannya. Saya yang berada di jaman tahun 50an itu sudah menyaksikan tawuran antar remaja antar kampung,
Baca Juga: Pertanyaan Seputar Proyek Manhattan dan Keterlibatan Oppenheimer
Cara berkelahinya (selain tawuran) juga unik, yaitu ala cowboy di Amerika Serikat, duel satu lawan satu. Cara ini juga berlaku bagi kami anak-anak, yaitu dua anak yang berkelahi berhadap-hadapan di tengah dan dikelilingi penonton atau pendukung keduanya sambil berteriak-teriak Sopo Wani Njempok Kuping!! atau berarti siapa yang berani memukul dahulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya juga ingat kalau misalkan kita ditantang anak yang badannya lebih besar, atau lebih tua maka kita mengatakan tidak Pantang atau tidak sepadan, lalu kita bicara pada penantang itu Enteni, tak celokno cacakku atau tunggu aku panggilkan kakak ku agar perkelahiannya seimbang. Nampaknya cara berkelahi seperti itu fair dan jantan.
Tawuran Karena Sepele
Tawuran antar gang seringkali alasannya sepele, misalkan karena saling adu pandang mata. Ketika ada anak dari luar kampung kita berjalan di kawasan kita sambil matanya menatap kami, maka kami bilang laopo ndelok? atau Kenapa Lihat?. Kejadian sepele ini bisa menimbulkan perkelahian satu lawan satu atau tawuran kalau anak yang kita tantang itu lari melaporkan pada seniornya.
Sementara itu profesi seorang tetangga kami yang bertempat tinggal di gang 4 (kami di gang 5) sangat unik yaitu menjadi maling atau pencuri. Cak Wito nama tetangga kami ini yang tinggal di rumah ukuran kecil sekitar 2x3 meter terbuat dari gedek atau anyaman bambu.
Dia pencuri terkenal tapi mencurinya didaerah lain, bukan di kampung sendiri. Saya ingat ketika melihat beberapa anggota polisi dengan membawa senjata lengkap melewati kampung saya, maka para ibu dan bapak melongok dari jendelanya masing-masing sambil bertanya Onok Opo? atau Ada Apa; maka ada yang menjawab dengan entengnya Wito Kecekel atau Wito Tertangkap. Lalu para ibu bapak ini hanya menjawab oh ngono ta (= oh begitu).
Baca Juga: Mengenal Oppenheimer dan Keterlibatannya di Proyek Manhattan
Pengawasan orang tua
Sebagai keluarga santri tentu saya memiliki pengalaman ritual keagamaan, misalkan ngaji rutin di Langgar/Musholla didepan rumah saya setiap malam, belajar membaca al-Quran dan belajar ilmu Tajwid.
Saya dipaksa ibu saya setiap habis sholat Isya harus mengaji di Langgar/Musholla depan rumah saya dan setelah itu harus balik kerumah tidur. Bagi anak seumur saya waktu itu maka instruksi ibu saya itu sangat menjengkelkan karena saya tidak bisa bergabung dengan teman-teman sebaya yang kluyuran dijalan-jalan.
Namun setelah dewasa saya baru menyadari betapa pentingnya pengawasan orang tua seperti ibu sya itu; sebab kalau tidak saya bisa terjerumus tindakan-tindakan negative. Bayangkang lingkungan yang berada disekitar saya tawuran, maling bahkan carok (perkelahian/duel ala suku Madura sampai ada yang mati) dsb; saya bisa terpengaruh lingkungan saya itu bilamana ibu saya tidak mengajarkan saya disiplin.
Editor : Pahlevi