Jaksa Agung: Koruptor di Bawah Rp 50 juta Tak Perlu Dipenjara

author Seno

- Pewarta

Jumat, 28 Jan 2022 10:34 WIB

Jaksa Agung: Koruptor di Bawah Rp 50 juta Tak Perlu Dipenjara

i

images - 2022-01-28T033043.381

Optika.id - Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan mekanisme penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta. Dia menyebut kasus korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta dapat diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara.

"Sedangkan untuk perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajaran untuk tindak pidana korupsi dengan kerugian keuangan negara di bawah Rp 50 juta untuk bisa diselesaikan cara pengembalian kerugian keuangan," kata Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Kamis (27/1/2022).

Baca Juga: Empat Orang Anggota DPRD Jatim Ditetapkan Tersangka Baru Oleh KPK, Siapakah Mereka?

Hal itu disampaikan Burhanuddin saat menjawab pertanyaan anggota DPR dalam rapat bersama Komisi III DPR. Burhanuddin mengatakan penyelesaian proses hukum kasus korupsi dengan kerugian di bawah Rp 50 juta dengan mekanisme tersebut dinilai cepat dan sederhana.

"Sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan," lanjutnya.

Selain itu, Burhanuddin juga menjelaskan kasus pidana terkait dana desa yang kerugian keuangan negaranya tidak terlalu besar dan tidak dilakukan terus menerus dapat dilakukan secara administratif. Salah satu caranya dengan mengembalikan kerugian keuangan negara dan tidak mengulangi lagi perbuatannya.

"Terhadap perkara dana desa yang kerugiannya tidak terlalu besar dan perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terus-menerus maka diimbau untuk diselesaikan secara administratif dengan cara pengembalian kerugian tersebut terhadap pelaku dilakukan pembinaan oleh inspektorat agar tidak mengulangi lagi perbuatannya," ujarnya.

Sebelumnya wacana agar koruptor dengan kerugian keuangan negara kecil tidak ditindaklanjuti atau berlaku azas restorative justice sempat menjadi polemik. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Jaksa Agung nomor B-113/F/Fd.1/05/2010.

Surat yang bertanggalkan 18 Mei 2010 itu terbit ketika posisi jaksa agung diduduki Basrief Arief. Surat yang ditujukan pada seluruh Kejaksaan Tinggi di Indonesia itu berisi imbauan agar dalam kasus dugaan korupsi, masyarakat yang dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti atau berlaku asas restorative justice.

Saat itu pernyataan Basrief tentang surat edaran tersebut yaitu kalau uang yang dikorupsi sekitar Rp 10 juta lebih baik dikembalikan kepada negara dan perkaranya dihentikan. Apabila ditindaklanjuti mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan proses persidangan akan menghabiskan uang negara lebih dari Rp 50 juta.

Menanggapi hal tersebut, Jaksa Agung HM Prasetyo, pada masa ia menjabat, sempat menjawab terkait surat edaran itu.

"Itu sangat tidak bisa digeneralisir. Setiap kasus beda-beda, ada mens rea-nya. Itu pun masih restorative justice, belum menjadi undang-undang," kata Jaksa Agung Prasetyo, Jumat (26/2/2016).

Selain itu, Prasetyo menyebut surat edaran itu masih bersifat kasuistis saja, belum mengikat. Tentang surat edaran itu sendiri sempat menjadi polemik lantaran dianggap tidak mengandung semangat pemberantasan korupsi.

Mahkamah Agung (MA) membagi kategori koruptor menjadi lima yaitu paling berat, berat, sedang, ringan dan paling ringan. Bila koruptor paling berat dihukum hingga penjara seumur hidup/mati, sementara koruptor 'kecil' di bawah Rp 50 juta tidak perlu membayar denda.

Kategori itu tertuang dalam Peraturan MA (Perma) Nomor 1 Tahun 2020. Dalam Perma itu diatur kategori sangat ringan bila kerugian di bawah Rp 200 juta. Tapi ada klausul khusus bila korupsinya di bawah Rp 50 juta tidak dijatuhi denda, cukup pidana badan saja dan mengembalikan uang yang dikorupsi.

"Hakim dapat tidak menjatuhkan pidana denda dalam hal kerugian keuangan negara atau perekonomian negara di bawah Rp 50 juta," demikian bunyi Pasal 16 Perma Nomor 1 Tahun 2020 yang dikutip optika.id, Jumat (28/1/2022).

Berikut rentang hukuman bagi koruptor di bawah Rp 200 juta:

Pidana penjara 3-4 tahun: korupsi Rp 150 juta-Rp 200 juta.

Pidana penjara 2-3 tahun: korupsi Rp 100 juta-Rp 150 juta.

Pidana penjara 1-2 tahun: korupsi Rp 50 juta-100 juta.

Dalam menjatuhkan pidana, hakim menilai hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Hal yang memberatkan terdakwa yaitu:

1. Pernah melakukan tindak pidana sebelumnya (residivis)

2. Tidak kooperatif dalam menjalani proses peradilan

3. Mencoba menghilangkan alat bukti

4. Telah menggunakan hasil pidana

5. Merupakan aparat penegak hukum

Adapun hal yang meringankan:

1. Belum pernah dipidana

Baca Juga: Wakil Ketua KPK: Pemberantasan Korupsi Masih Gagal!

2. Kooperatif dalam menjalani proses peradilan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

3. Menyesali perbuatannya dan berjanji tidak mengulangi perbuatan pidananya

4. Memberikan keterangan secara terus terang dalam persidangan

5. Menyerahkan diri dalam proses pidana yang dilakukan

6. Belum menikmati hasil kejahatannya

7. Lanjut usia/sakit

8. Mengembalikan harta hasil kejahatan sebelum pembacaan putusan

9. Memiliki keadaan ekonomi yang buruk

Hingga saat ini, belum ada satu pun koruptor di Indonesia yang dijatuhi hukuman mati. Baru ada tiga koruptor yang dihukum maksimal, yaitu penjara seumur hidup. Mereka adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, mantan Brigjen TNI Teddy Hernayedi, dan pengusaha Adrian Waworuntu.

Nah, dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2020, pidana mati masih memungkinkan diberikan kepada koruptor dengan berbagai pertimbangan.

"Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor, hakim dapat menjatuhkan pidana mati sepanjang perkara tersebut memiliki tingkat kesalahan, dampak, dan keuntungan tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8," demikian bunyi Pasal 7 ayat 1 Perma Nomor 1 Tahun 2020.

Perma itu ditandatangani oleh Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020. Berikut ini syarat penjatuhan hukuman mati bagi koruptor sesuai Perma Nomor 1/2020:

1. Hakim tidak menemukan hal yang meringankan dari diri terdakwa.

2. Apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Baca Juga: Walikota Surabaya: Pemkot Terus Pegang Teguh Pencegahan Kasus Korupsi

3. Terdakwa korupsi Rp 100 miliar atau lebih.

4. Terdakwa memiliki peran yang paling signifikan dalam terjadinya tindak pidana, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama.

5. Terdakwa memiliki peran sebagai penganjur atau menyuruh atau melakukan terjadinya tindak pidana korupsi.

6. Terdakwa melakukan perbuatannya dengan menggunakan modus operandi atau sarana/teknologi canggih.

7. Terdakwa korupsi dalam keadaan bencana atau krisis ekonomi dalam skala nasional.

8. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan dampak nasional.

9. Korupsi yang dilakukan mengakibatkan hasil pekerjaan sama sekali tidak dapat dimanfaatkan.

10. Korupsi yang dilakukan terdakwa mengakibatkan penderitaan bagi kelompok masyarakat rentan, di antaranya orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, perempuan hamil dan penyandang disabilitas.

11. Nilai kekayaan terdakwa didapat dari 50 persen atau lebih dari hasil korupsi.

12. Uang yang dikorupsi dikembalikan kurang dari 10 persen.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU