Mengapa aku bagian dari dirimu?
Pertanyaan yang sulit, tapi jika aku tak segera menjawabnya, aku akan kehilangannya. Risiko yang tak mampu aku tanggung.
Baca Juga: Kartini Zaman Now
Ingat, kita adalah sepasang sepatu. Aku mencoba mengingatkannya tentang janji sepasang sepatu.
Matanya yang teduh tiba-tiba bergelombang. Aku tersentak, gelombangnya menarikku untuk sigap menangkap tangannya.
Apa yang kamu lakukan?
Tidak ada yang dikatakannya. Yang aku tahu, kami tak lagi berpijak. Aku pegang erat tangannya dan kami berdua merasakan tarikan yang kuat, aku dan dia ditangkap oleh gelombang . Aku maupun dia tak lagi menjadi sepasang sepatu yang sempurna.
@@@
Ia bagian dariku. Aku dan dia adalah sepasang kekasih yang bermimpi menjadi sepasang sepatu. Mengapa harus sepatu? Mungkin kamu tidak tahu bahwa aku dan dia merasa telah ditakdirkan hanya sebagai sepatu.
Aku dan dia dibesarkan di era industry 4.0. Ibuku seorang pedagang biasa. Berangkat pagi pulang sore di toko kami yang letaknya tak jauh dari rumah. Biasanya ibu kulakan hari senin. Oleh karena itu, hari senin biasanya toko kami tutup. Tidak ada yang istimewa dengan ibu, begitu juga dengan aku. Aku dan ibukku adalah manusia-manusia yang lahir dan hidup dengan rutinitas yang itu-itu saja. Tidak ada cerita antara aku dan ibuku karena memang tidak ada yang istimewa. Kamu dan ibukmu juga pasti memiliki cerita yang sama denganku.
Mendadak, cerita mulai terjalin tanpa kusadari Ketika ibukku mulai intens dengan gawainya dan aku mulai asyik dengan gadget-ku. Bahkan aku baru sadar ada cerita antara aku dan ibuku setelah aku merindukannya. Aku merindukan ibu mengatakan, Zul, makanlah. Nasi dan lauk sudah matang. Ibu mau ke toko. Pulang sekolah langsung ke toko, bantu ibu.
Biasanya aku akan menjawab, Ya Buk. Asal ingat, aku tidak suka melayani Mak Ipah. Cerewet! Tanya ini, tanya itu, ujung-ujungnya beli barang lain. Haduh, capek aku.
Ibuk pasti tertawa jika aku bercerita gaya Mak Ipah berbelanja.
Tawa itu kapan kudengar lagi ya?
Ditengah kerinduanku pada ibu, aku malah menemukanmu di dunia maya Ternyata kamu jug sama denganku, merindukan ibu. Bedanya, ibumu seorang peneliti. Anehnya, kisahmu juga berasal dari kata, Mei, makan
Aku dan kamu sering berbicara apa saja. Remeh temeh. Seperti pembicaraan kami yang ini.
Ibuku dulu jika menyuruhku makan selalu memegang pundakku. Lalu, ia akan memperhatikan yang aku lakukan, kemudian ia bertanya, Nggak lapar Mei?
ibuku juga seperti itu, Aku menyahut.
Apakah ibumu, suka memasak untukmu?
Aku menjawabnya sedih, Dulu. Sekarang ibuku hilang ditelan gadgetnya. Matanya terus tertuju pada gedgetnya. Jika aku protes, ibuku selalu berkata, ini memang zamannya seperti ini, semua lewat gadget.
Lalu,
Ibuku menunjukkan ke aku, bahwa berdagang model daring lebih disukai apalagi zaman pandemi gini. Ia juga menyodorkan aku sejumlah menu daring jika aku lapar.
Kau tak bantu ibumu di toko?
Toko ibuku di ujung gang dekat pasar tutup. Kini beralih ke penjualan daring. Karena orderan banyak, ibuk ambil pegawai. Aku juga tidak bisa bantu karena saat daring kamu tahu kan tugas semakin banyak.
Ibuku juga sama. Saat pandemi gini, ibuku lebih banyak menghabiskan waktu di laboratorium. Ia juga mengatakan, sekarang ini negara membutuhkannya. Ia harus menemukan sesuatu agar bisa menolong orang.
Menolong orang? kami tertawa. Saya setuju tidak ada yang lucu dalam cerita kami. Tapi entahlah waktu itu, kami tetawa keras. Apakah ini yang Namanya ironi? Ironi cerita aku dan ibuku. Ironi cerita dia dan ibuknya.
Pada perjumpaan kami selanjutnya, di tempat maya, kami menggagas sebuah ide untuk menjadi sepasang sepatu.
Sepasang sepatu tak pernah ingkar janji.
Aku mengangguk setuju.
Sepasang sepatu akan selalu membantu, dan tidak pernah merindukan satu dengan yang lain.
Yang ini aku juga setuju. Mana mungkin sepasang sepatu saling merindu. Mereka selalu bersama, jika dipisahkan maka itu berarti mereka telah usai.
Oke sepakat. Kami mendeklarasikan hubungan kami.
Sesingkat itu.
Kami menjadi sepasang sepatu. Kami tidur di jam yang sama. Bangun di jam yang sama. Pergi ke sokolah daring harus sama, jika dia tidak ada jadwal belajar daring atau aku tidak ada, kami saling berbagi link. Kami selalu bersama-sama.
Maka kisah aku dan ibukku, dan kisah dia dan ibunya tak lagi terajut. Aku lebih suka menjalin cerita bersamanya. Begitu sebaliknya, hingga suatu hari ibuku dan ibunya saling bertelepon.
Kau punya anak dididik ya! Jangan rusak anakku! Seru ibuku.
Yang rusak itu anakmu. Siapa yang menyuruh anakku kirim foto begitu kalau bukan anakmu.
Aku kenal anakku!
Aku juga kenal anakku!
Lewat layar gadgetku aku lihat dia tersenyum. Aku juga.
Ayo kita ketemu,
Dia mengangguk.
Kami tersenyum.
Hari itu kita bertemu untuk kali pertama.
Baca Juga: Hijab Buat Nenek
Kamu cantik!
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dia tersenyum, dan senyum itu, membuatku makin ingin menjadi bagian dari dirinya. Gayung bersambut. Kami benar-benar tergoda tuk menjadi sepasang sepatu yang saling mengaitkan tali satu dengan yang lainnya. Ia tali kanan dan aku tali kiri. Kait mengait, hingga tak mungkin lagi dilepaskan.
@@@
Sore itu ibu memanggilku. Aku datang, dan duduk di depan ibu.
Taruh gedgetmu!
Bukankah sekarang zaman gedget. Lihat aku sedang mengerjakan tugas.
Ibu geram,
Taruh, atau aku banting gedgetmu! Ibu mulai betteriak.
Aku sedang mengerjakan tugas! Aku juga beteriak.
Ibu kaget. Aku meninggalkan ibu.
Jauhi Wanita itu! Dia hanya akan merusakmu,
Tahu apa ibu tentang dia. Mengapa aku harus meninggalkannya. Ibu tidak pernah tahu bahwa kami sudah menjadi sepasang sepatu. Kami tak mungkin terpisah.
Aku lajukan sepeda motorku membelah jalan. Teriakan ibu, Zul, kembali! Tak kugubris. Hari ini aku akan memutuskan sesuatu, untuk janji kami.
Dering gedgetku membuat ku menepi.
Mei,
Datang ke rumah segera. Mei!
Aku tak mengenal suara wanita itu. Tapi nama Mei disebut, segera kupercepat laju motorku, hingga aku menemukan Mei di rumah itu. Rumah Mei.
Mengapa aku bagian dari dirimu? tanya mei Ketika melihatku.
Pertanyaan yang sulit, tapi jika aku tak segera menjawabnya, aku akan kehilangannya. Risiko yang tak mampu aku tanggung.
Ingat, kita adalah sepasang sepatu. Aku mencoba mengingatkannya tentang janji sepasang sepatu.
Matanya yang teduh tiba-tiba bergelombang.
Maafkan aku Zul. Aku harus ingkar janji.
Baca Juga: Setetes Air
Apa maksudmu?
Aku akan menjalin cerita kembali dengan ibuku, tapi ibu tak ingin kau ada dalam cerita kami,
Mei mulai menangis.
Pergilah!
Mei mengusirku.
Pergilah! ia mulai berteriak.
Aku tersentak. Gelombang dimatanya memdorong hasratku tuk mengartikan semuanya. Semua begitu cepat. Meiku berteriak. Aku tidak suka Meiku berteriak seperti ibuku. Tiba-tiba,
Apa yang kamu lakukan? mei memelototiku,
Tidak ada jawaban dariku . Yang aku lakukan adalah membut Meiku tak lagi teriak. Hingga, Meiku tak lagi berpijak. Ia berusaha lepas dariku, tapi sia-sia, hingga aku merasakan tubuhku dan tubuhnya dipisahkan secara paksa. Aku masih berusaha pegang erat tangan Mei, hingga kami berdua merasakan tarikan begitu kuat. Tangannya terlepas dari genggamanku. Tali yang kami kaitkan begitu kuat saat itu, terputus seiring dengan semburat warna merah. Warna yang memercik mengenai muka, tubuh, dan kakiku. Warna itu telah menjadikan kami sepasang sepatu yang tak lagi sempurna.
Sayup ku dengar suara isak seorang wanita. Tangisnya makin jelas, sejelas mataku menangkap sosok itu. Menyadari mataku terbuka, ia begitu Bahagia. Berkali-kali ia memanggil namaku.
Zul..
Zul,
Tapi, bukan dia yang ingin kulihat. Karena, aku tak punya cerita dengan wanita itu.
ini ibuk, Zul.
Dimana kamu? Mei. Bukankah kita berjanji menjadi sepasang sepatu yang tak terpisah. Aku ingin merajut cerita denganmu.
Dimana kamu?
SURABAYA, 2 AGUSTUS 2021
ANIK SULISTYAWATI
Editor : Pahlevi