Optika.id - Puluhan ribu orang telah menandatangani petisi menolak pemindahan ibu kota negara (IKN) baru dari DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur. Dengan alasan waktunya tidak tepat karena ekonomi Indonesia sedang defisit akibat pandemi COVID-19. Petisi ini digagas oleh 45 tokoh nasional, dari Prof Busyro Muqodas hingga Prof Din Syamsuddin.
Berdasarkan website change.org seperti dikutip Optika.id, Rabu (9/2/2022) pagi, tercatat 21.552 telah menandatangani petisi. Petisi ini berjudul 'Pak Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara'. Sampai saat ini jumlah tanda tangan petisi terus bertambah.
Baca Juga: Sejumlah Akademisi Mulai Warning Jokowi, Benarkah?
Ini 45 penggagas petisi:
1. Prof. Dr. Sri Edi Swasono
2. Prof. Dr. Azyumardi Azra
3. Prof. Dr. Din Syamsuddin
4. Dr. Anwar Hafid
5. Prof. Dr. Nurhayati Djamas
6. Prof. Dr. Daniel Mohammad Rasyied
7. Mayjen Purn Deddy Budiman
8. Prof. Dr. Busyro Muqodas
9. Faisal Basri MA
10. Prof. Dr. Didin S. Damanhuri
11. Prof. Dr. Widi Agus Pratikto
12. Prof. Dr. Rochmat Wahab
13. Jilal Mardhani
14. Dr. Muhamad Said Didu
15. Dr. Anthony Budiawan
16. Prof Dr. Carunia Mulya Firdausy
17. Drs. Mas Ahmad Daniri MA
18. Dr. TB. Massa Djafar
19. Abdurahman Syebubakar
20. Prijanto Soemantri
21. Prof Syaiful Bakhry
22. Prof Zaenal Arifin Hosein
23. Dr. Ahmad Yani
24. Dr. Umar Husin
25. Dr. Ibnu Sina Chandra Negara
26. Merdiansa Paputungan SH, MH
27. Nur Ansyari SH, MH
Baca Juga: Wow, 2 Kampus Jogja Layangkan Petisi, Sri Sultan HB X Ungkap Tak Masalah
28. Dr. Ade Junjungan Said
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
29. Dr. Gatot Aprianto
30. Dr. Fadhil Hasan
31. Dr. Abdul Malik
32. Achmad Nur Hidayat MPP
33. Dr. Sabriati Aziz M.Pd.I
34. Ir. Moch. Najib YN, MSc
35. Muhamad Hilmi
36. Dr.Engkur, SIP, MM
37. Dr. Marfuah Musthofa
38. Dr. Masri Sitanggang
39. Dr. Mohamad Noer
40. Ir. Sritomo W Soebroto MSc
41. M. Hatta Taliwang
42. Prof Dr. Mas Roro Lilik Ekowanti, MS
Baca Juga: Pemerintah Naikkan BBM Buat Bangun IKN dan Kereta Cepat Jakarta Bandung? Benarkah?
43. Reza Indragiri Amriel
44. Mufidah Said SE MM
45. Ramli Kamidin
"Memindahkan Ibu kota Negara (IKN) di tengah situasi pandemi Covid-19 tidak tepat. Apalagi kondisi rakyat dalam keadaan sulit secara ekonomi sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah memindahkan ibu kota negara. Terlebih, saat ini pemerintah harus fokus menangani varian baru omicron yang membutuhkan dana besar dari APBN dan PEN," demikian bunyi petisi itu.
Petisi yang dikoordinasi Narasi Institute itu menyatakan pembangunan Ibu Kota Negara di saat seperti ini hendaknya dipertimbangkan dengan baik, saat ini Indonesia memiliki utang luar negeri yang besar, defisit APBN besar di atas 3n pendapatan negara yang turun. Adalah sangat bijak bila Presiden tidak memaksakan keuangan negara untuk membiayai proyek tersebut. Sementara infrastruktur dasar lainnya di beberapa daerah masih buruk, sekolah rusak terlantar dan beberapa jembatan desa terabaikan tidak terpelihara.
"Proyek pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru tidak akan memberi manfaat bagi rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja," ujarnya.
Karena itu, kata Narasi Institute, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak secara publik secara luas melainkan hanya kepada penyelenggara proyek pembangunan tersebut. Penyusunan naskah akademik tentang pembangunan Ibu Kota Negara Baru tidak disusun secara komprehensif dan partisipatif terutama dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.
"Pertanyaan besar publik adalah benarkah kepentingan pemindahan ibukota baru adalah untuk kepentingan publik.
Kami memandang saat ini bukanlah waktu yang tepat memindahkan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke Penajam Pasir Utara Kalimantan Timur," tuturnya.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah mengatakan petisi penolakan IKN itu tergolong telat. Dia menilai petisi itu tidak perlu dibuat karena UU IKN sudah disahkan dan kini pihak kontra dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
"Itu (petisi) rasanya seperti memprovokasi serta jadi mendorong orang lain untuk tidak menyetujui dan itu memberikan pendidikan yang tak baik," kata Trubus.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi