Optika.id - Otoritas Rusia mengakui Presiden Prancis, Emmanuel Macron, sengaja dibuat duduk berjauhan dari Presiden Vladimir Putin saat keduanya bertemu di Moskow, awal pekan ini. Hal itu dilakukan demi menjaga keamanan setelah Macron menolak untuk menjalani tes virus COVID-19 oleh Kremlin.
Seperti dilansir AFP, Sabtu (12/2/2022), sejumlah foto yang dirilis menunjukkan Putin dan Macron duduk saling berhadapan di ujung meja yang sangat panjang saat bertemu dan berunding di Kremlin pada Senin (7/2/2022) lalu. Perundingan itu dimaksudkan untuk meredakan kekhawatiran soal rencana invasi Rusia terhadap Ukraina.
Baca Juga: CEO Telegram, Pavel Durov Ditangkap di Prancis
Keberadaan meja yang tergolong sangat panjang itu memicu cemoohan online dan memancing pertanyaan ketika tiga hari kemudian, Putin duduk bersama di meja kecil dengan Presiden Kazakhstan, yang merupakan sekutu Rusia.
Beberapa sumber sebelumnya, termasuk dari rombongan Macron, menyebut situasi tidak biasa itu terjadi karena Macron menolak menjalani tes Corona di Moskow demi mencegah Rusia mendapatkan DNA-nya.
Dalam pernyataan pada Jumat (11/2/2022) waktu setempat, juru bicara Putin, Dmitry Peskov, menjelaskan, keputusan untuk membawa Macron ke meja besar dan panjang diambil setelah Presiden Prancis itu menolak menjalani tes Corona yang dilakukan oleh petugas medis Kremlin.
"Pembicaraan dengan beberapa pihak dilakukan di meja panjang, jaraknya (panjang meja) sekitar enam meter. Ini terkait dengan fakta bahwa beberapa pihak mengikuti aturan mereka sendiri, mereka tidak bekerja sama dengan pihak tuan rumah," ungkapnya.
Dalam situasi semacam itu, sebut Peskov, Kremlin harus mengambil 'protokol sanitasi tambahan demi melindungi kesehatan Presiden kami dan tamu-tamunya'.
Ditegaskan Peskov, keputusan semacam itu tidak bersifat politis. "Tidak ada politik di sini dan ini sama sekali tidak mengganggu negosiasi," tukasnya.
Peskov menambahkan jika tim medis dari kedua pihak saling bekerja sama, maka 'Putin berkomunikasi secara langsung dengan tamu-tamunya, duduk sangat dekat dan berjabat tangan'.
Seorang pejabat kepresidenan Prancis yang enggan disebut namanya menuturkan kepada AFP bahwa masalah muncul terkait kondisi tes PCR yang diinginkan pihak Rusia. Namun dia tidak menjelaskan lebih lanjut masalah apa yang dimaksud.
Selain Macron, Perdana Menteri (PM) Hungaria, Viktor Orban dan Presiden Iran, Ebrahim Raisi, juga ditempatkan dalam meja panjang dan duduk berjauhan dari Putin ketika keduanya berkunjung ke Moskow awal tahun ini.
Sementara itu, Dinas Intelijen militer Norwegia mengungkapkan, Rusia secara operasional sudah siap melancarkan operasi militer secara luas terhadap Ukraina. Menurut intelijen militer Norwegia, Kremlin hanya perlu memberikan perintah agar invasi militer yang dikhawatirkan negara-negara Barat benar-benar terjadi.
Baca Juga: China Tegaskan Tak Akan Jual Senjata ke Rusia
Seperti dilansir AFP, Sabtu (12/2/2022), perkembangan terbaru itu diungkapkan oleh kepala dinas intelijen militer Norwegia, Laksamana Madya Nils Andreas Stensones, dalam pernyataannya pada Jumat (11/2/2022) waktu setempat. Norwegia merupakan negara anggota aliansi NATO yang juga terlibat ketegangan Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Rusia memiliki semua yang mereka butuhkan untuk melakukan segalanya, mulai dari invasi kecil di wilayah timur hingga serangan kecil di sana-sini di Ukraina, atau invasi total, dengan, mungkin, melibatkan pendudukan seluruh atau sebagian Ukraina. Sekarang, terserah Presiden (Vladimir) Putin untuk memilih apakah dia ingin melanjutkan atau tidak," sebutnya.
Pernyataan ini disampaikan Stensones saat mempresentasikan laporan penilaian ancaman tahunan dari dinas intelijen Norwegia.
Menurut Stensones, Rusia memiliki 'lebih dari 150.000 tentara tempur' yang dikumpulkan di dekat perbatasan Ukraina, bersama dengan 'persenjataan paling canggih' milik negara itu dan semua kebutuhan logistik yang diperlukan.
"Sangat sulit untuk mengatakan apakah (serangan) mungkin terjadi atau tidak mungkin terjadi, karena itu sepenuhnya tergantung pada Presiden Rusia untuk mengambil keputusan," ujarnya.
Negara-negara Barat meyakini Rusia mempersiapkan invasi segera terhadap Ukraina, meskipun Moskow membantahnya berulang kali.
Baca Juga: Rusia: Ukraina Kembali Serang dengan Drone dan Rudal
Konflik di Ukraina bagian timur semakin parah sejak tahun 2014 saat kelompok separatis yang didukung Rusia dan pasukan militer Ukraina terlibat pertempuran.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, pada Jumat (11/2/2022) waktu setempat kembali memperingatkan 'risiko nyata dari konflik bersenjata baru di Eropa', sedangkan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Antony Blinken, menyatakan invasi Rusia bisa terjadi 'kapan saja'.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi