Optika.id - Tempe menjadi salah satu makanan yang sangat populer di Indonesia. Hal itu tak mengherankan, lantaran Indonesia merupakan produsen tempe terbesar di dunia.
Dalam laporan Badan Standardisasi Nasional (BSN) tahun 2012 disebutkan, posisi Indonesia sebagai produsen terbesar di dunia menjadikannya sebagai pasar kedelai terbesar di Asia.
Baca Juga: Impor Bisa Diatasi dengan Peningkatan Produksi Dalam Negeri
"Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50 persen dari konsumsi kedelai Indonesia dijadikan untuk memproduksi tempe, 40 persen tahu, dan 10 persen dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain)," bunyi laporan tersebut seperti dikutip, Senin (21/2/2022).
Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 6,45 kg. Umumnya, masyarakat Indonesia mengkonsumsi tempe sebagai makanan pendamping nasi.
"Dalam perkembangannya, tempe diolah dan disajikan sebagai aneka panganan siap saji yang diproses dan dijual dalam kemasan. Kripik tempe, misalnya, adalah salah satu contoh panganan populer dari tempe yang banyak dijual di pasar," lanjut laporan tersebut.
Disebutkan pula, industri tempe tak hanya berkembang di Indonesia. Tempe juga diproduksi dan dijual di mancanegara. Dalam karya William Shurtleff dan Akiko Aoyagi, The Book of Tempeh: A Cultured Soyfood, dimuat tempe diproduksi di berbagai negara mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, Belgia, Austria, Republik Ceko, Finlandia, Prancis, Jerman, Irlandia, Italia, Belanda, Portugal, Spanyol, Swiss, Afrika Selatan, India, dan Inggris hingga Australia dan Selandia Baru.
Mengacu buku itu, tercatat Indonesia memiliki 81.000 industri tempe yakni berupa koperasi tahu tempe. Kemudian, benua Amerika memiliki 19, Kanada 4, Australia 2, dan tersebar di beberapa negara lainnya.
Sayang seribu sayang, meski Indonesia merupakan raja industri tempe, kedelainya masih tergantung pada impor. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menjelaskan, kebutuhan kedelai di tanah air 3 juta ton per tahun. Sementara, produksi dalam negeri hanya 20 persen.
"Kalau saya lihat dari data, kebutuhan kita 3 juta ton itu hanya bisa dipasok 20 persen dari dalam negeri. Dan bahkan untuk tahun ini dari BKP menyatakan, BKP itu Badan Ketahanan Pangan di Kementerian Pertanian, produsi kita itu hanya 10 persen, jadi 90 persennya impor," katanya, Minggu (20/2/2022).
Dengan tingginya angka impor, kata dia, membuat harga kedelai tidak bisa dikendalikan. "Jadi kedelai ini tergantung sepenuhnya pada produk impor yang harganya nggak bisa kita kendalikan," ujarnya.
Oke melanjutkan, Indonesia rata-rata mengimpor 2,6 juta ton kedelai. Sisanya, sekitar 400 ribu ton dipasok dari dalam negeri. Itu pun jika tidak terjadi penurunan produksi.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memastikan kedelai tersedia. Meski, kedelai yang ada harganya relatif tinggi.
Hal itu terjadi karena Indonesia tergantung kedelai impor. Sehingga, pemerintah tak bisa mengendalikan harga yang tinggi seperti yang saat ini dikeluhkan perajin tahu tempe.
"Yang kita pastikan kedelai selalu tersedia, jadi kita importir itu tetap kita paksakan untuk impor walaupun harga tinggi. Lebih baik bahan baku ada, harga tinggi, karena pada dasarnya perajin tahu tempe nanti nggak bisa berusaha kalau nggak ada kedelainya," kata Oke.
Oke mengatakan, jumlah perajin tahu tempe saat ini sekitar 150 ribu perajin. Dia menuturkan, upaya memperlancar impor dilakukan supaya ratusan ribu perajin itu bisa tetap menjalankan usahanya.
"Sampai puasa dan lebaran kita pastikan dulu importasi lancar, ketersediaan kedelai ada, sehingga 150 ribu perajin tahu tempe tetep bisa berusaha," terangnya.
Perajin tahu tempe Indonesia biasanya memanfaatkan kedelai impor dari Amerika. Hal itu berkaitan dengan masalah rasa.
Lanjutnya, harga kedelai ini diperkirakan masih tinggi sampai Mei mendatang.
"Sampai bulan Mei itu harga future-nya masih di atas, bulan Juni mungkin terjadi penurunan sedikit dan akhirnya mudah-mudahan kembali lagi," ujarnya.
Baca Juga: Pengamat: Ada Banyak Faktor yang Bikin Pemerintah Susah Atasi Masalah Beras
Babi di China, Penyebab Harga Kedelai Tinggi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemerintah juga menyebut, babi di China sebagai salah satu penyebab tingginya harga kedelai ini. Begini kronologinya.
Oke menjelaskan, pada tahun lalu pihak memperkirakan produksi kedelai di Argentina dan Brasil akan meningkat. Namun, proyeksi tersebut meleset karena produksinya menurun.
Di sisi lain, China sekitar dua tahun lalu diterpa flu babi. Hal itu membuat negara tirai bambu harus mereformasi peternakan babinya.
"Nah begitu reformasi peternakan babi dibikin, SOP yang bagus maka butuh kedelai banyak untuk pakan babi. Sehingga, China ini memborong kedelainya," katanya.
Produksi kedelai Argentina dan Brasil yang turun membuat China beralih memasok dari Amerika Serikat (AS). Sementara, kebutuhan kedelai perajin tahu tempe biasanya dipasok dari AS.
"China beralih ke Amerika diborong. Kedelai kita itu untuk tahu tempe biasanya dari Amerika. Karena diborong harga melonjak, ditambah pandemi," ujarnya.
Dia menuturkan, pandemi telah mengerek biaya logistik yang berkontribusi juga pada kenaikan harga kedelai.
"Pandemi itu biaya logistik naik empat kalilipat. Sehingga harga kedelai naik, dan jatuhnya kedelai di kita naik," terangnya.
Baca Juga: Harga Beras Melonjak Naik, Dimana Komitmen Pemerintah?
YLKI: Mana Daulat Pangan?
Merespons hal tersebut, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengungkapkan jika pernyataan Menteri Perdagangan itu tidak mencerminkan baiknya kinerja pemerintah.
Menurut dia, menteri perdagangan hanya menyalahkan kondisi negara importir. "Kok jadi China dengan babinya yang dijadikan kambing hitam? Aneh, mestinya mawas diri dan evaluasi dong, kenapa kita masih menjadi importir abadi kedelai," ujarnya.
Tulus menyebutkan, saat ini 90 persen kedelai yang digunakan sebagai bahan tempe goreng dan tempe mendoan bahan bakunya masih impor. "Ini musabab utamanya, jangan lempar tanggung jawab dong. Mana daulat kedelai, mana daulat pangan? Buktikan janjinya," jelasnya.
Diketahui, kebutuhan kedelai dalam negeri setiap tahunnya adalah 3 juta ton. Sementara budi daya dan suplai kedelai dalam negeri hanya mampu 500 hingga 750 ton per tahunnya.
Untuk mencukupi kebutuhan nasional akan kedelai, pemerintah kemudian melakukan impor dari beberapa negara.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi