Sejarah, Budaya, dan Generasi Industri 4.0

author optikaid

- Pewarta

Senin, 28 Feb 2022 15:59 WIB

Sejarah, Budaya, dan Generasi Industri 4.0

i

Sejarah, Budaya, dan Generasi Industri 4.0

Belajar sejarah itu sulit. Maaf, pernyataan ini saya ungkapkan saat saya menjadi pelajar. Belajar sejarah zaman saya, tahun 1980-1990, belajar sejarah itu identik dengan menghapal tahun-tahun dan tokoh-tokoh. Payahnya, saya tipe manusia yang sulit sekali kalau disuruh menghapal angka-angka. Bahkan, saat ini pun ketika jadi guru, saya juga tipe guru yang tidak hapal nama siswa, tetapi kalau wajah atau peristiwa unik saya hapal pol detailnya.

Belajar sejarah berarti belajar budaya. Berbicara mengenai sejarah dan budaya adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya berjalan beriringan dalam waktu dan tempat yang sama. Sejarah merupakan kumpulan catatan atau rekam jejak budaya saat itu.

Baca Juga: Seberapa Serius Pemerintah Tangani Korban HAM 1965?

Belajar sejarah, seharusnya memahami budaya era sejarah itu. Mengenai hal tersebut,  ada keprihatinan saya sebagai pendidik berkaitan dengan pemahaman budaya dan sejarah anak muda saat ini. Sering saya jumpai saat pementasan karya siswa, contohnya saat pementasan untuk mengukur keterampilan siswa dalam ujian praktik, mereka sering mementaskan drama cerita rakyat yang dikemas dalam drama modern generasi industri 4.0. Tentu saja hasilnya, diluar pakem. Budaya anak muda generasi industri 4.0 lah yang dipakai. Serasa lucu, menurut saya, kala melihat cara duduk raja dan ratu. Bahkan, interaksi kala raja berbicara dengan ratu,  raja berbicara dengan rakyatnya, atau raja dengan para dayangnya. Kesan tak berstrata tampak, sehungga yang ditampilkan otomatis seperti mereka berbicara dengan teman sejawat. Nihil pesan moral yang berkaitan dengan kesantunan berbahasa dan berperilaku antara orang muda kepada orang tua. Antara atasan pada bawahan, atau sebaliknya. Zero pesan moral yang berkaitan dengan adab bagaimana cara menampilkan diri di muka umum sebagai orang terpelajar, sebagai pimpinan, atau sebagai bawahan.

Memang bukan rahasia umum apabila pada generasi industri 4.0 ini aturan-aturan tersebut sudah banyak mengalami perkembangan. Bahkan muncul tanpa disadari generasi-generasi pendobrak pakem-pakem yang ada, contoh ludrukan ala Precil dkk, atau tampilan cerita rakyat yang dikemas ala OVJ (Opera Van Java). Tampilan-tampilan tersebut tersebar luas, di televisi, di media sosial, atau pementasan di sekolah, atau di perkampungan.

Apakah tanyangan-tayangan tersebut bisa dikambinghitamkan atas buramnya pemahaman budaya dalam sejarah di kalangan anak muda? Bahkan, terciptanya interaksi antargenerasi yang tak berpakem juga bisa kita timpakan pada kesalahan pihak terkait yang tak bisa membendung membludaknya tayangan-tangan sejenis tersebut? Apakah ada faktor lain yang bisa dituding sebagai penyebab lahirnya generasi yang melupakan pakem budaya sendiri.

Lebih bijak, tidak mencari kambing hitam. Menilik celah dan menambalnya. Itulah solusi yang harus dilakukan. Belajar budaya saat sejarah itu tercipta sangat perlu. Hal tersebut karena dengan belajar budaya di era sejarah tersebut, pembelajar akan mengetahui bahwa budaya bangsa tersebut semestinya seperti yang tertulis dalam sejarah.

Diskusi di farum-forum formal di sekolah atau nonformal di luar sekolah sebagai filter budaya mana yang mesti dilestarikan dan budaya mana yang boleh ditinggal. Tayangan-tayangan liar yang keluar pakem harus juga dimasukkan dalam materi diskusi baik itu di sekolah atau forum diskusi nonformal di luar sekolah. Dengan demikian, generasi muda menjadi generasi yang mengetahui sejarah dan budaya. 

Baca Juga: Pertanyaan Seputar Proyek Manhattan dan Keterlibatan Oppenheimer

Selain itu, pemerintah juga harusnya menghidupkan kembali tayangan-tangannya yang menampilkan budaya yang sebenarnya di sejarah itu. Contoh, menghidupkan kembali kesenian-kesenian tradisional di daerah-daerah. Dengan demikian, keberadaan kesenian yang masih memperhatikan pakem ini, merupakan pembanding atau  alat membuka wawasan pembelajar akan adanya tradisi asli suatu daerah atau negara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Apabila generasi muda penerus bangsa ini mengetahui sejarah dan budaya, hantaman arus modernisasi akan menjadi arus kecil yang tidak akan menyeret generasi penerus bangsa menjadi tunaidentitas.

Lupa budaya dalam sejarah bangsa akan menjadi virus yang lebih mematikan dari pada virus seganas apa pun. Virus hanya akan berkembang dalam tubuh seseorang dan mematikannya, kalaulah itu virus yang menular akan bisa diciptakan vaksinnya. Lupa budaya akan menciptakan sejarah, sejarah tunaidentitas. Jika itu yang terjadi, maka hancurlah suatu bangsa. Apa artinya suatu keberadaan jika ia tidak mengetahui keberadaannya. Apa artinya menjadi siapa jika ia tidak tahu siapa dirinya.

Baca Juga: Mengenal Oppenheimer dan Keterlibatannya di Proyek Manhattan

Geliatsenja, 9 Februari 2022

Anik Sulistyawati                                                            

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU