Optika.id - Sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 menumpuk di Gudang Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog). Oleh sebab itu, Ombudsman Republik Indonesia (RI) meminta pemerintah segera melaksanakan tindakan korektif Ombudsman RI terkait perbaikan Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika mengatakan tindakan korektif Ombudsman RI belum mendapat tindak lanjut dari pemerintah. Dia mendesak, pemerintah segera menerbitkan regulasi tentang penetapan jumlah CBP, menerbitkan peraturan teknis terkait indikator pengambilan keputusan impor beras, melaksanakan evaluasi terhadap Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, serta menyelesaikan pembayaran tagihan pelepasan stok CBP Perum Bulog sebesar 20,36 ribu ton beras.
Baca Juga: Pengamat Ekonomi Sebut Pemerintah Gagal Mengelola Harga Pangan
Ombudsman pada 2021 melakukan investigasi tentang Cadangan Beras Pemerintah dan saat ini ada sekitar 134 ribu ton beras sisa impor tahun 2018 masih menumpuk di Gudang Bulog, ujar Yeka pada Konferensi Pers daring, Sabtu (19/3/2022).
Penumpukan sisa impor beras ini, kata dia, adalah akibat dari tata kelola CBP yang buruk. Hasil investigasi Ombudsman RI masih belum menunjukkan adanya regulasi penetaoan CBP. Sehingga, Perum Bulog mengalami kesulitan dalam pengadaan dan pendistribusian beras ke masyarakat.
Untuk itu, Ombudsman RI meminta Kementerian Pertanian untuk menerbitkan surat penetapan besaran CBP, sebagaimana amanat Pasal 4 Perpres 48 Tahun 2016 tentang Penugasan Perum Bulog Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional.
Perum Bulog sudah mengajukan penyediaan anggaran pembuangan stok beras turun mutu sebanyak 20,36 ribu ton beras pada pemerintah pada 2019 lalu. Akan tetapi, hingga kini masih belum ada titik terang.
Keterlambatan pengajuan pelepasan stok beras turun mutu disebabkan oleh belum adanya penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). oleh sebab itu, Ombudsman RI memberikan waktu hingga 18 April 2022 pada Kementerian Pertanian agar segera menunjuk KPA.
Di sisi lain, Yeka menekankan, selama ini belum ada peraturan teknis mengenai indikator pengambilan keputusan pemerintah dalam melakukan impor beras, mengacu pada ketentuan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Ombudsman menilai, indikator yang digunakan saat ini dalam mengambil keputusan impor beras masih terlalu bias.
Baca Juga: Ingin Makan Selain Nasi? Ini 4 Makanan Sumber Karbohidrat yang Bisa Kamu Coba!
Sehingga mengakibatkan waktu impor beras bersamaan saat musim panen raya. Jumlah beras yang diimpor dalam strategi pengadaan tidak matching dengan strategi penyaluran sehingga mengakibatkan beras turun mutu, ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dengan adanya indikator yang jelas, maka kebijakan importasi akan jauh dari kepentingan politik, jauh dari ditunggangi niat-niat yang tidak baik. Sehingga keputusan importasi beras lahir berdasarkan kondisi sebenarnya, imbuh Yeka.
Ombudsman juga menyarankan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras yang baru di tahun 2022. ini mempertimbangkan inflasi per tahun dan demi meningkatkan kesejahteraan petani. Penetapan HET ini terkait dengan Permendag No. 57 Tahun 2017 tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras.
Yeka berharap monitoring tindakan korektif ini dapat mendorong perbaikan Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP) semakin efisien dan tidak menimbulkan kerugian negara dan masyarakat. Sebab, tata kelola CBP yang buruk dinilai bisa menimbulkan potensi kolapsnya Perum Bulog yang diakibatkan kerugian usaha yang kian memburuk.
Baca Juga: Nasib Beras yang Kian Langka Jelang Ramadan dan Idulfitri
Hal ini bisa saja terjadi apabila Badan Pangan Nasional ke depan tidak punya kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan menjaga stabilitas stok pangan, pungkasnya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi