Menghadapi Krisis Pangan Pasca Pandemi Covid-19

author Seno

- Pewarta

Kamis, 02 Jun 2022 02:08 WIB

Menghadapi Krisis Pangan Pasca Pandemi Covid-19

i

gerakan-percepatan-tanam-padi-antipasi-krisis-pangan-pasca-pandemi-vhz

[caption id="attachment_24795" align="aligncenter" width="150"] Achmad Surya Hadi Kusuma
(Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam Jawa Timur)[/caption]

Optika.id - Pada 28 April 2022, Presiden Indonesia Joko Widodo memperingatkan bahwa dampak atas krisis energi dan pangan yang terjadi dunia berimbas kepada Indonesia dan bisa saja terjadi dalam jangka waktu yang panjang. Ia meminta semua pihak untuk tetap waspada dan bersiap-siap apabila krisis tersebut terjadi sampai dengan tahun 2023. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga mengatakan, hal tersebut merupakan akibat dari gangguang rantai pasokan ke seluruh dunia.

Baca Juga: KPK Geledah Kantor Gubernur Jatim, Ada Apa?

Rupanya, bagi negara berkembang seperti Indonesia, permasalahan pangan atau kerap disebut krisis pangan selalu terjadi. Negara ini menghadapi sejumlah krisis pangan, mulai zaman kerajaan, zaman penjajahan, bahkan hingga era pasca reformasi kali ini. Krisis pangan tidak sekedar berkaitan dengan makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari, tapi juga berhubungan dengan segala pasokan yang muaranya adalah makanan itu, termasuk minyak goreng, yang mana kita sudah merasakan krisis itu tidak lama sebelumnya.

Era neoliberal seperti sekarang tidak lagi didominasi oleh pikiran survival of the fittest namun, survival of the smartest. Hal ini berkaitan dengan kewajiban penduduk dunia untuk semakin pandai dalam mengelola apapun, termasuk pangan. Sekarang, tidak ada perusahaan tunggal yang menguasai semuanya atau melakukan monopoli penuh terhadap pasokan apapun, mulai tenaga kerja sama bahan mentah, termasuk bahan pangan. Sehingga kebanyakan perusahaan sekarang mulai bekerja sama satu sama lain untuk saling memenuhi kebutuhan.

Dalam logika ekonomi liberal, perdagangan bebas adalah hal yang lumrah, namun monopoli juga sama lumrahnya, selama monopoli itu didapat atas perdagangan bebas. Akan tetapi beda halnya dengan logika ekonomi sosialis, yang mana monopoli dipegang oleh negara, sehingga semua harga ditentukan dan dikendalikan oleh negara (baca: pemerintah). Indonesia tidak menganut keduanya secara total, namun disesuaikan kadarnya dengan kebutuhan masyarakat.

Rezim Suharto adalah contoh terbaik, di mana ia membuka peluang investasi luar negeri dalam skala masif untuk masuk ke Indonesia, namun bebarengan dengan itu, berusaha mengendalikan harga dan nilai valuta asing sekuat mungkin di dalam negeri. Pemerintahan Orde Baru berjalan dalam dua sisi sehingga Badan Urusan Logistik (BULOG) sangat berjaya pada masa Orba karena kewenangan besar yang diberikan pemerintah kepada badan itu untuk melakukan kontrol terhadap distribusi pangan.

Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap reformasi, namun pasca turunnya Suharto, tidak ada badan tunggal yang mampu mengelola distribusi ini dalam skala nasional, sehingga banyak ketimpangan berkaitan dengan permasalahan pangan terjadi. Di suatu kota kita dapat menemukan berbagai macam sembako, sementara di kabupaten lainnya kita mendapati kekurangan pangan.

Baca Juga: Kau Datang… Mengejutkan Jiwa

Penyelesaian pemerintah adalah membentuk food estate yang dikembangkan dengan melakukan perpaduan antara potensi lahan dengan teknologi guna meningkatkan produktivitas. Arifin Rudiyanto selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam menyampaikan pada Food and Agriculture Summit 2021 menyerukan para petani bergabung dengan koperasi agar lebih produktif dari sisi lahan, tenaga kerja, dan hilirisasi demi menghadapi ancaman krisis pangan pasca pandemi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Semua permasalahan nampaknya diselesaikan oleh pemerintah dengan koperasi, akan tetapi dibutuhkan rangsangan yang kuat dari pemerintah guna melakukan capacity building untuk koperasi yang ada di Indonesia sehingga tidak hanya berkaitan dengan masalah simpan pinjam saja. Percepatan industrialisasi dari pertanian maupun perikanan juga penting untuk dilakukan, terutama bagi yang berkenan, karena pemerintah tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada masyarakat.

Tapi, masyarakat juga harus memahami bahwa upaya industrialisasi cepat yang dilakukan oleh pemerintah adalah untuk kepentingan mereka juga, karena berupaya untuk meningkatkan jumlah produk yang nantinya bisa digunakan untuk memenuhi keperluan konsumsi dalam negeri terlebih dahulu agar merata di seluruh daerah. Hal ini sempat diterapkan oleh Republik Rakyat Tiongkok di bawah Mao Tse Tung dengan program The Great Leap Forward. Walaupun pada akhirnya gagal dan menyebabkan kelaparan karena terlalu terburu-buru, namun dengan perhitungan yang tepat dan menyesuaikan dengan kebutuhan di Indonesia, bisa saja prakarsa itu berhasil.

Lalu apa lagi yang ditunggu? Mari kita bersinergi untuk mencegah krisis pangan di Indonesia dengan memperkuat lembaga ketahanan pangan dan industrialisasi pesat dari perusahaan pangan, terutama UMKM.

Baca Juga: Ironi Beras di Negeri Agraris, Indonesia Impor Beras Sebanyak 200 Ribu Ton

Oleh: Achmad Surya Hadikusuma (Ketua Umum Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam/BADKO HMI Jawa Timur)

Editor: Pahlevi 

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU