Optika.id - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat ramai ditolak pada 2019 hingga berujung penundaan pengesahannya, kembali dibahas dalam rapat Komite III DPR RI dengan Pemerintah pada 25 Mei 2022 lalu.
Namun disayangkan, draf RKUHP terbaru belum dirilis ke publik. Dalam pertemuan tersebut, 14 isu utama RKUHP dibahas tanpa mengungkapkan keseluruhan draf. Akibatnya, publik tidak dapat mengetahui perubahan pasal-pasal dan isu yang ada.
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Jatim Bergerak pun mengajukan 4 tuntutan, yakni:
1. Menuntut DPR RI dan Presiden membuka draf RKUHP;
2. Mendesak DPR RI untuk mengkaji ulang dan menghapuskan pasal-pasal bermasalah;
3. Menuntut DPR RI melibatkan partisipasi publik untuk menyusun RKUHP;
4. Meminta DPRD Jatim melakukan pengawalan pengesahan RKUHP di pusat;
"Apabila dalam Waktu 7 X 24 jam belum ada tindak lanjut, maka kami akan melakukan aksi masing-masing daerah, kami yang menyatakan sikap, Aliansi Jawa Timur Bergerak," kata Arya Wahyu Koordinator Aliansi Jatim Bergerak yang juga Koordinator Wilayah BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) SI (Seluruh Indonesia) Jawa Timur pada Optika.id, Selasa (5/7/2022).
"Melihat draf final September 2019, ada 24 poin penting yang menjadi catatan kritis dari RKUHP yang dinilai bermasalah. Dalam rapat Komite III DPR-RI dengan Pemerintah pada 25 Mei 2022, Pemerintah dan DPR hanya menyinggung 14 isu penting yang sebagian besar masih kontroversial," imbuhnya.
Adapun isi dari edisi 14 masih ada beberapa pasal yang bermasalah, lanjutnya, antara lain: living law, hukuman mati, contempt of court, penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden, aborsi, ujaran kebencian dan koeksistensi.
Selain 14 pokok RKUHP yang dibahas dalam RDP (Rapat Dengar Pendapat), masih ada pasal-pasal yang masih perlu dikaji ulang, seperti Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP.
"Pasal 273 RKUHP membebankan pidana penjara atau denda atas pawai, unjuk rasa, atau penyelenggara demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu sehingga mengganggu kepentingan umum, kerusuhan, atau keresahan masyarakat," jelas Arya.
Baca Juga: Ramai Asing Komentari UU KUHP, Wamenkumham Akui Tidak Khawatir
Pasal 273 RKUHP, katanya, mengisyaratkan bahwa masyarakat memerlukan izin untuk menyatakan pendapatnya secara terbuka untuk menghindari ancaman pidana. Hal ini melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketentuan ini, katanya, hanya mewajibkan pemberitahuan atas penyampaian penapat dimuka umum berpendapat dan dikenakan sanksi administratif pembubaran jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi.
"Selain itu, Pasal 273 RKUHP juga memasukkan unsur karet tanpa batasan pasti, yaitu kepentingan umum. Hal ini cenderung disalahgunakan untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di depan umum," tegasnya.
Sedangkan Pasal 354 RKUHP, kata Arya, memuat ancaman pidana penjara atau denda bagi siapa saja yang menghina lembaga publik atau negara melalui sarana teknologi informasi.
"Selain mengancam kebebasan berpendapat publik dan berekspresi terhadap kekuasaan umum dan lembaga nasional, keberadaan Pasal 354 RKUHP tentu menimbulkan masalah serius, mengingat Pasal 354 RKUHP bukan merupakan delik aduan. Oleh karena itu, siapapun dapat melaporkan seseorang sebagai penghina institusi publik atau nasional yang beredar di media elektronik," katanya.
Hal itu, sambungnya, dapat mengkebiri demokrasi dan iklim kebebasan berbicara di Indonesia.
Baca Juga: Selebgram dan Selebriti Diduga Endorse Soal RKUHP
Pada dasarnya RKUHP bertujuan untuk menjadi dasar hukum pidana Indonesia yang akan berdampak langsung pada kehidupan masyarakat luas.
"Sayangnya, masyarakat umum masih belum memiliki akses terhadap draft RKUHP terbaru. Padahal, draf RKUHP versi September 2019 banyak persoalan yang perlu dicermati dan dibahas secara matang, di antaranya Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP," tukasnya.
"Mengingat transparansi dan partisipasi publik yang berarti dalam pembentukan undang- undang harus menjadi prioritas utama, sikap kesatuan pemerintah dan DPR RI sangat mengecewakan. Maka dari itu, kami Mahasiswa Jawa Timur menyatakan sikap," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi