Optika.id - Saat ini, penggunaan antibiotik dinilai tak relevan dan kian mengkhawatirkan. Diketahui korbannya sudah mencapai 1,2 juta orang per tahun secara global. Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Kesehatan RI, Dante Harbuwono mengatakan jika hal tersebut harus dicegah agar tak kian membahayakan.
Kendati Dante tidak menyebut secara rinci jumlah kematian akibat resistensi antibiotik akibat mikroba atau antimicrobial resistance (AMR), dirinya mengatakan bahwa Indonesia dan India merupakan negara dengan penyalahgunaan antibiotik yang tertinggi.
Baca Juga: Ini Tanggapan Kemenkes Soal Pencopotan Dekan FK Unair!
Dante menyebut jika AMR adalah pandemic yang tersembunyi sebab angka kematian yang ditimbulkannya cukup tinggi serta deteksi kasusnya masih terbatas.
"Data yang kita dapatkan cukup mengagetkan, bahwa 1,2 juta kematian per tahun di dunia disebabkan AMR atau penggunaan antibiotik yang tidak relevan," ujar Dante Kamis, (25/8/2022).
Dante menjelaskan jika resistensi antibiotik akibat mikroba terjadi karena rangkaian protokol pengobatan yang dilakukan secara sembarangan. Akibatnya, pasien yang mengalami infeksi akan mengalami kondisi yang semakin parah dan berujung tewasnya pasien. AMR sendiri merupakan obat yang ditemukan sejak 70 tahun yang lalu kala pengobatan pada era tersebut masih menggunakan antibiotik untuk mencegah penyakit yang mulai massif di penjuru dunia.
Sementara itu, antibiotik juga sering disalahgunakan pemakaiannya dan diperoleh tanpa resep dokter. Bahkan, antibiotik digunakan pada hewan, tumbuhan, dan lingkungan.
"Kebanyakan orang menggunakan antibiotik untuk mencegah kuman yang sebenarnya belum tentu itu disebabkan oleh kuman," jelasnya.
Senada dengan Kementerian Kesehatan, saat ini Kementerian Pertanian (Kementan) menyusun rencana strategis sekaligus peta jalan untuk mengendalikan dampak resistensi antimikroba pada hewan ternak dan manusia.
"Bersama lembaga serta pemangku kepentingan terkait, kami menyusun rencana strategis serta peta jalan upaya pengendalian resistensi antimikroba," kata Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo, Kamis (25/8/2022).
Larangan Keras
Baca Juga: Jangan Asal Pilih! Ini Bedanya Jamu dan Obat Fitofarmaka
Menurut Syahrul, Indonesia saat ini telah memberlakukan aturan tentang penggunaan antibiotik di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Adapun undang-undang yang mengatur ialah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan yang melarang penggunaan antibiotik sebagai imbuhan pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, penggunaan Colistin pada ternak juga dilarang oleh Kementan. Sebab, produk tersebut menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 9736 Tahun 2000 telah ditetapkan sebagai konsumsi manusia.
Dikutip dari Antara, Mentan mengatakan Colistin sebagai obat antibiotik untuk mengatasi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, menjadi pilihan terakhir bagi kesehatan hewan atau kesehatan manusia di Indonesia.
Pengendalian resistensi antimikroba juga diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang peningkatan kemampuan dalam pencegahan dan deteksi merespons wabah penyakit pandemi global dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia.
Syahrul menambahkan, resistensi antimikroba menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan ketahanan pangan, di samping pembangunan kesehatan hewan yang berkelanjutan.
Baca Juga: Kasus Covid-19 Naik Jelang Nataru, Kemenkes: Masih Terkendali
Dilansir dari data Review Global tahun 2016, Mentan menyebut perkembangan resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia pada 2050 dengan tingkat kematian mencapai 10 juta jiwa per tahun dan kematian tertinggi terjadi di kawasan Asia.
"Gambaran ini akan mungkin terjadi jika masyarakat internasional tidak memiliki upaya konkret dalam pengendalian penggunaan antimikroba," kata Syahrul Yasin Limpo.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi