[caption id="attachment_15157" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah[/caption]
Optika.id - Sekarang ini muncul isu-isu soal radikalisme, toleran, intoleran, ektrem, fundamentalis menjadi isu politis apalagi dekat-dekat pemilihan umum. jangan pilih calon yang intoleran demikian salah satu himbauan yang berbau politik itu. Tentu kalau kita tidak bijak mensikapi isu-isu itu maka hal ini bisa memecah belah persatuan masyarakat.
Baca Juga: Keturunan India Menjadi Presiden Singapura
Namun saya sendiri yang asli orang Surabaya tidak pernah mengalami persoalan yang disebut intoleransi itu karena masyarakat Surabaya asli itu terdiri dari berbagai puak, suku, agama tapi hubungan satu sama lain tidak mengalami persoalan. Hal itu berdasar pengalaman pribadi saya tinggal di Kampung Kapasari Surabaya.
Para penduduk kampung Kapasari dari gang 1 sampai 10 itu terdiri dari etnis Jawa, Cina dan Madura. Di gang 5 dimana saya tinggal ada dua bagian, barat dan timur (dipisah jalan), yang ditimur itu tempat ketua RT kami Om Yancing tadi, dan empat rumah yang dihuni etnis Cina.
Gang 5 sebelah barat itu didominasi rumah-rumah milik teman-teman keturunan Cina salah satunya adalah rumah bapak Hermawan Kertajaya yang menulis banyak buku Marketing, dan founder Mark Plus dan pernah menjabat presiden ICSB International Council for Small Business. kakak sepupu saya (almarhum) Cak Tholib pengurus Ansor NU ranting Kapasari dan guru ngaji di Mushalla kampung - selalu berpasangan setiap tahun dengan tetangga Cina- Om Hendrik namanya dalam bermain badminton di acara 17 Agustusan.
Satu-satunya keturunan Arab adalah sahabat main saya yang diadopsi keluarga Jawa dan diberi nama Sutikno. Ada juga satu keluarga yang kami sebut Ampyang ini nama jajanan tradisional yang terbuat dari Kacang Cino dan Gulo Jowo menjelaskan bahwa keluarga itu terdiri dari Bapak keturunan Cina yang kawin dengan istrinya yang keturunan Jawa.
Seluruh etnis di kampung Kapasari itu hidup damai berdampingan dengan baik, saling menyapa kalau melewati rumah-rumah tetangga. Kalau ada acara kampung atau kerja bakti juga ikut berpartisipasi. Saya bahkan sering bermain dirumah tetangga yang orang Cina. Tidak saya jumpai masyarakat Cina maupun Madura yang menyendiri, membuat komunitas sendiri, tapi mereka semrawungan atau mingle atau bergaul dengan etnis lainnya.
Baca Juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS
Saya kalau mendengar ceramah tentang toleransi, kerukunan masyarakat yang menyebutkan bahwa mulai muncul gejala intoleransi di masyarakat ditinjau dari berbagai sudut pandang, misalkan sosiologi atau politik, maka dalam sesi tanya jawab saya selalu mengutarakan pengalaman hidup saya di Kapasari Surabaya dimana semua etnis hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pengalaman seperti saya ini juga dialami sahabat kental saya sama-sama alumni Universitas Airlangga Dr. Taufikurahman Saleh, S.H, MSi salah satu senior NU Jawa Timur/nasional yang pernah menjabat anggota DPRD Surabaya, Jawa Timur dan DPR pusat pada waktu kecilnya seperti saya sudah berhubungan sosial dengan warga dari berbagai suku dan agama. Cak Opik, begitu dia dipanggil sering bertandang ke rumah warga Yahudi marga Mussry rumah orang tuanya Iwan Mussry suami penyanyi selebrity Maya Estianty.
Saya sering menggendong Iwan Mussri waktu kecilnya dulu kata cak Opik. Ketika saya bertemu dengan Dr. Zacky Mussry adik dari Iwan Mussry di Bali pada saat ada pertemuan International Council for Small Business (ICSB) tahun 2019 - kebetulan waktu itu Dr. Zacky Mussry menjadi presiden ICSB Indonesia, saya tanyakan perihal Cak Opik menggendong kakaknya, Dr. Zacky dengan gembira mengiyakan cerita itu dan dia masih ingat Cak Opik dan keluarganya yang sering berkunjung kerumahnya.
[caption id="attachment_40372" align="aligncenter" width="970"] Foto Koleksi Pribadi bersama Dr. Zacky Mussry.[/caption]
Baca Juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN
Keluarga Mussry dan cak Opik dulu tinggal di jalan Pemuda Surabaya dan rumah cak Opik (dekat RRI Surabaya) berseberangan dengan rumah keluarga Mussry. Cak Opik juga sudah familiar dengan komunitas Yahudi di Jalan Pemuda Surabaya karena dekat rumahnya dulu ada Synagoge tempat ibadah masyarakat Yahudi (sekarang sudah menjadi hotel. Memang sejarah kedatangan komunitas Yahudi di Indonesia sudah lama sejak jaman Belanda dan mereka tersebar di Jakarta, Surabaya dan Manado. Sekitar dua kilometer dari rumah Cak Opik yaitu di jalan Gemblongan dulu ada toko kacamata Meyer milik orang Yahudi Surabaya.
Seperti saya yang asli dari kampung, cak Opik juga asli orang kampung Nyamplungan dekat Masjid Agung Ampel dimana masyarakatnya juga beragam ada keturunan Arab, Madura, Jawa, Bugis, Tionghwa dan Banjar. Dengan bergaul dengan berbagai puak itu memunculkan rasa toleransi yang tinggi dan kami berdua mengalami hidup damai penuh toleransi berdampingan dengan berbagai komunitas itu.
Editor : Pahlevi