Optika.id - Pemberitaan tentang kekerasan yang terjadi dalam lembaga pendidikan, termasuk pesantren santer dimuat dalam berbagai media massa beberapa waktu ke belakang.
Menanggapi hal tersebut, Waryono Abdul Ghofur selaku Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menjelaskan jika selama ini pihaknya telah melakukan beberapa ikhtiar dini sebagai bagian dari upaya tindakan pencegahan dan upaya preventif untuk menangani kasus kekerasan tersebut.
Baca Juga: Kementerian Agama Buka Rekrutmen Anggota Media Center Haji
Kami melakukan sejumlah upaya, meskipun tidak harus show of force. Misalnya, preventifnya, kami melakukan upaya pembinaan sosialisasi pesantren ramah anak. Kami punya buku panduan yang disusun bersama Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) untuk pesantren ramah anak. Ini kami sosialisasikan, jelas Waryono dalam keterangan resminya, Minggu (18/9/2022).
Pihaknya juga mengakui jika saat ini Kementerian Agama (Kemenag) berupaya menjalin komunikasi dengan pesantren guna saling mengingatkan bersama-sama bahwa santri merupakan anak didik dan titipan dari orang tua kepada para kyai, ibu nyai, dan ustaz serta semua lingkungan pondok. Oleh karena itu, santri harus diperlakukan seperti anak sendiri.
Artinya, santri harus mendapatkan perlindungan dan pembelajaran. Kalau sakit, diobati. Santri tidak boleh mendapat kekerasan. Ini terus kami komunikasikan dan sosialisasikan, tambah Waryono.
Hingga saat ini Waryono mengklaim jika proses sosialisasi terus berjalan secara bertahap. Hal ini mengingat jumlah pesantren juga sangat banyak dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 37 ribu terdaftar di Kemenag.
Kami sampaikan bahwa pengasuh pesantren harus membaca regulasi terkait perlindungan anak dan perempuan. Bahkan, saya menyebutnya regulasi itu sebagai kitab kuning baru. UU perlindungan anak dan perempuan agar menjadi panduan pesantren dan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi pesantren tidak hanya membaca kitab kuning (keagamaan) ansich, tapi juga kitab kuning dalam bentuk regulasi yang berlaku di Indonesia, katanya.
Waryono menambahkan, Kemenag saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Menteri Agama (RPMA) tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Anak di Pesantren. Diketahui saat ini proses penyusunannya memasuki tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Baca Juga: Kemenag Segera Luncurkan Pegon Virtual Keyboard
Adapun RPMA ini terdiri dari 8 bab pasal dengan jumlah kurang lebih 50 pasal. Dalam RPMA tersebut memuat definisi terkait dengan kekerasan seksual yang berbeda dengan definisi dalam Permendikbud Nomor 20 Tahun 2021. Alasan pembedaan tersebut yakni dalam aturan Permendikbud memiliki klausul tanpa persetujuan korban untuk mendefinisikan tindakan kekerasan seksual. Dalam RPMA ini, definisi dibuat dengan pendekatan agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sisi lain, RPMA juga memuat tentang bab pencegahan kekerasan seksual di lembaga pendidikan agama dan aturan ini dinilai akan mendorong lembaga pendidikan agama guna membuat satuan tugas atau satgas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).
Kemudian, pada regulasi yang sedang disusun ini juga dijelaskan akan ada aturan tentang sanksi dalam bentuk administratif dan pidana. Jika memenuhi unsur pidana, pelaku akan diserahkan ke penegak hukum.
Kalau administratif bisa berupa pemecatan. Regulasi ini juga akan mengatur bahwa pelaku harus membayar ganti rugi untuk memulihkan mental dan kesehatan korban, tutur Waryono.
Baca Juga: Kasus Kekerasaan Seksual Tak Kunjung Henti Terjadi di Sekolah
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi