Optika.id - Dunia membutuhkan kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Kini, teknologi kendaraan bermotor terus berkembang. Ke depan, bahan bakar fosil atau BBM (Bahan Bakar Minyak) akan ditinggalkan dan beralih ke listrik.
Sesuai dengan komitmen pemerintah pada Paris Agreement untuk menurunkan global warming, Indonesia harus memiliki kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Industri otomotif nasional membangun pemahaman bahwa kendaraan masa depan adalah kendaraan bermotor yang memiliki dua syarat utama, yaitu:
Baca Juga: Sebelum Beli Mobil Listrik, Pertimbangkan Risiko Berikut
1. Kendaraan bermotor dengan emisi gas buang yang rendah dan ramah lingkungan;
2. Kendaraan bermotor dengan penggunaan bahan bakar fosil yang makin berkurang untuk digantikan dengan bahan bakar nabati atau dengan bahan bakar baru dan terbarukan lainnya;
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, bahan bakar fosil cepat atau lambat akan segera berakhir. Pemerintah dan industri otomotif nasional telah memulai langkah-langkah transisi untuk menggantikan bahan bakar berbasis fosil menuju bahan bakar baru terbarukan. Contohnya, saat ini Indonesia telah menggunakan B30 di mana campuran nabati 30alah yang tertinggi di dunia.
Selain itu, kendaraan listrik menjadi salah satu opsinya. Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menerbitkan Inpres 7/2022 mengenai penggunaan kendaraan bermotor listrik di berbagai instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Kementerian dan Lembaga termasuk BUMN. Gaikindo menilai, ini adalah suatu kewajaran, karena wewenang Pemerintah. Hal ini sejalan dengan wawasan Gaikindo dan industri otomotif nasional.
"Kendaraan bermotor listrik seperti HEV (Hybrid Electric Vehicle), PHEV (Plug-In Hybrid Electric Vehicle), BEV (Battery Electric Vehicle) ataupun FCEV (Fuel Cell Electric Vehicle) atau kendaraan bermotor yang menggunakan hydrogen sebagai bahan bakarnya adalah kendaraan bermotor masa depan yang saat ini keberadaannya semakin nyata," ujar Ketua Umum Gaikindo, Yohannes Nangoi dalam keterangan tertulis pada beberapa waktu yang lalu.
Kini, sudah banyak tersedia pilihan kendaraan listrik. Bahkan beberapa di antaranya sudah diproduksi di dalam negeri. Termasuk jenis kendaraan penumpang maupun komersial ringan. Harganya bervariasi, rentang kisaran Rp 200-300 juta, Rp 400-600 juta, hingga di atas Rp 600 juta. Ketersediaan merek dan varian kendaraan bermotor listrik tersebut akan terus dikembangkan dan disesuaikan dengan arah kebijakan Pemerintah.
"Gaikindo telah membuktikan eksistensi keberadaan kendaraan masa depan tersebut terhadap masyarakat. Pada kesempatan GIIAS 2022 pada Agustus 2022 lalu, selama 11 hari penyelenggaraannya, telah terjual total 1.594 unit kendaraan bermotor listrik, termasuk di dalamnya 320 kendaraan bermotor hybrid dan 1.274 unit kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB/BEV). Penjualan selama 11 hari tersebut melampaui total penjualan kendaraan bermotor listrik sepanjang tahun 2021," kata Nangoi.
Menurutnya, yang harus dicermati saat ini adalah adanya tantangan yang perlu dihadapi industri otomotif Indonesia ke depannya. Tantangannya adalah untuk terus meningkatkan jenis dan jumlah kendaraan bermotor listrik yang diproduksi di Indonesia, dan terus berkontribusi sebagai salah satu industri pahlawan devisa negara.
Berhenti Produksi Mobil BBM
Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan membeberkan target Indonesia berhenti produksi mobil berbahan bakar minyak (BBM) pada 2035. Selanjutnya mendorong produksi dan penggunaan mobil listrik atau electric vehicle (EV).
"Kita Berharap sekarang lagi disusun semua perencanaannya, kita berharap mungkin kira-kira 2035 sudah tidak ada lagi mobil combustion yang diproduksi di dalam negeri, kita semua akan pakai EV," katanya di Gedung Sarinah, Selasa (27/9/2022).
Dengan konversi ke kendaraan listrik Luhut berharap Indonesia bisa mengurangi impor minyak mentah.
Luhut juga membahas soal pembatasan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil. Dia meminta agar Indonesia beralih ke penggunaan kendaraan listrik.
Dalam unggahannya di Instagram, Luhut meminta tim teknis agar menerapkan pembatasan penjualan kendaraan BBM. Kebijakan tersebut sudah diterapkan juga di berbagai negara di dunia.
"Saya juga meminta tim teknis yang terdiri dari lintas K/L (kementerian/lembaga) agar menerapkan kebijakan yang setara atau lebih baik dari negara lai, yang sudah lebih dahulu menerapkan kebijakan pembatasan penjualan kendaraan berbahan bakar fosil demi mendorong percepatan adaptasi penggunaan EV (electric vehicle/kendaraan listrik) sehingga kebijakan tersebut bisa cepat kita adopsi disini," tulisnya.
Salah satu alasannya adalah karena membengkaknya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan subsidi BBM. Menurutnya, mobil dan sepeda motor cukup banyak mengkonsumsi BBM fosil.
"Saya menemukan data yang dihitung oleh Industri Kendaraan Bermotor bahwa secara rata-rata konsumsi BBM untuk satu unit mobil mencapai 1.500 liter/ tahun dan 305 liter/tahun untuk motor. Bisa kita semua bayangkan ketika dua jenis kendaraan ini kebanyakan menggunakan BBM bersubsidi, maka sudah pasti yang terjadi adalah membengkaknya subsidi BBM," sebutnya.
Menurutnya, selain menekan anggaran subsidi BBM, penggunaan kendaraan ramah lingkungan juga untuk mengurangi emisi CO2. Targetnya, emisi CO2 turun sebesar 40 juta ton pada 2030 hanya dari program ini.
"Saya menyadari bahwa upaya ini punya beragam tantangan, mulai dari masalah perbedaan harga, regulasi hingga ketersediaan pilihan kendaraan. Untuk itu, pemerintah saat ini sedang merumuskan berbagai kebijakan mengenai pemberian insentif bagi kendaraan EV roda dua dan roda empat. Skema insentif yang akan diberikan masih dihitung bersama agar kita dapat menemukan rumusan yang terbaik demi mendorong pertumbuhan pangsa pasar yang besar bagi percepatan adopsi kendaraan listrik di tanah air," katanya.
Luhut juga mengingatkan agar aturan yang dibuat harus relevan dengan pelaksanaannya. Sebab, katanya, program percepatan EV ini adalah komitmen bangsa untuk mengurangi subsidi dan menurunkan emisi karbon lewat transisi energi yang ramah lingkungan.
Mobil Dinas Listrik
Baca Juga: Patut Dipertimbangkan Sebelum Beli, Ini Lima Kelemahan Kendaraan Listrik
Terkait konversi listrik untuk mobil dinas, Luhut mengatakan sudah dimulai bertahap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Konversi kendaraan listrik untuk mobil dinas sekarang sudah mulai, bertahap," katanya.
Luhut mengatakan, dirinya memang belum menggunakan kendaraan listrik secara reguler. Namun, ia meyakini dalam waktu dekat ia akan menggunakan kendaraan listrik untuk mobil dinasnya.
"Saya masih pakai jeep saya yang pribadi, Tapi sebentar lagi ya pakai EV. Pemerintah pusat saya kira sudah mulai bertahap," tukasnya.
Namun, Luhut mengatakan ada masalah terkait mobil listrik. Masalah itu terletak pada produksi chip mobil listrik yang semakin susah. Hal ini terkait dengan konflik yang terjadi di dunia.
"Karena sekarang ada masalah. Masalahnya itu chip bikin mobil listrik itu susah, karena ada pertikaian. Chip yang dibutuhkan buat bangun mobil itu kekurangan," imbuhnya
Luhut mengungkap permintaan mobil listrik cukup tinggi. Bahkan untuk mobil listrik Hyundai, dibutuhkan waktu antre hingga satu setengah tahun.
Tantangan Mobil Listrik di Indonesia
Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi, Kemenko Marves, Rachmat Kaimudin bercerita soal sulitnya Jepang, Amerika Serikat dan Ford berinvestasi mobil listrik di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam dalam agenda Global Future Fellows 2022 mengenai Transisi Energi Indonesia di Nusa Dua, Bali.
Mulanya, Rachmat bercerita apa saja yang ditawarkan Indonesia jika negara maju membantu Indonesia bisa menurunkan emisi karbon. Salah satu upayanya adalah melalui renewable dengan mengurangi penggunaan mobil konvensional yang menggunakan BBM fosil.
"Kalau misalnya kalian bantu industri electrical kita. Kita bisa, satu mengurangi emisi dari transportasi, kedua bisa meningkatkan penggunaan (kendaraan) listrik. Sehinga kita bisa bangunn lebih banyak lagi renewable jadi lebih baik kan, jadi double benefit," katanya dalam diskusi di Nusa Dua, Bali, Selasa (27/9/2022).
Hanya saja, saat ini beberapa negara masih enggan mengirimkan mobil listrik ke Indonesia. Ia mencontohkan Jepang dan Amerika Serikat salah satunya produsen mobil Ford.
Baca Juga: KLHK Klaim Kendaraan Listrik Solusi Polusi Udara Jakarta
"Sampai saat ini yang masuk di Indonesia EV-nya itu baru China dan Korea, sementara ada Jepang dan Amerika Serikat. 'Hey jepang ko nggak masukin mobil listrikmu ke sini? Wah susah ini itu'," tutur Rachmat mempraktekan percakapan antara dirinya dengan pihak Jepang.
Menurut Rachmat, Jepang hanya mau mengirimkan mobil berbahan bakar fosil mereka yang sudah tua ke Indonesia. Ibaratnya sisa barang yang sudah lama dikirim ke Indonesia.
"Mereka mau memanfaatkan teknologi combustion engine (mobil bahan bakar bensin) yang sudah tua, sementara mereka yang bagus bagus, yang kotor kotor kasih ke Indonesia saja," lanjutnya.
Ia juga bercerita, bahwa produsen mobil listrik Ford juga masih enggan investasi mobil listrik di Indonesia. "Kemarin kita habis ke Detroit, tolong dong kan kalian membutuhkan baterai, kita kasih mobil, 'wah pak kita - nggak bisa mobil kita gede-gede. Padahalkan bisa dibuatkan yang kecil," katanya.
Intinya saat ini, Rachmat mengatakan dirinya ingin komitmen yang jelas dari negara maju jika ingin Indonesia menurunkan emisi karbon. Gampangnya, emisi karbon memang perlu adanya kolaborasi atau kerja sama dari semua negara.
Diketahui, Indonesia sendiri memiliki road map atau peta jalan menuju net zero emission (NZE) untuk periode 2021-2060. Peta jalan ini merupakan komitmen Indonesia untuk menurunkan gas emisi rumah kaca. Peta jalan ini salah satunya memuat soal penghentian penjualan kendaraan konvensional atau berbahan bakar BBM.
Berdasarkan peta jalan tersebut, pada 2036-2040 dilakukan pengurangan penjualan kendaraan roda dua konvensional. Dari 2041 hingga 2045, penjualan kendaraan roda empat konvensional juga akan berkurang.
Menurut roadmap atau peta jalan yang dirancang, pemerintah menargetkan menyetop penjualan sepeda motor konvensional (bensin) di tahun 2040 dan mobil konvensional (bensin dan diesel) di tahun 2050.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi