Optika.id - Rangkaian langkah komprehensif telah ditempuh guna meredam guncangan krisis yang mengancam Tanah Air. Akan tetapi, bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global masih bisa merambat ke dalam negeri.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira mengungkapkan potensi resesi pada 2023 cukup besar secara global. Di dalam negeri, imbas resesi global akan menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Bagi Anies, Atasi Kemiskinan Tak Selalu Bansos
"Indonesia masih bisa bertahan karena booming harga komoditas, tapi temporer. Belum bisa dipastikan tahun depan batu bara dan CPO masih jadi tumpuan atau tidak," tutur Bhima kepada Optika.id, Jumat (28/10/2022).
Adapun berbagai perusahaan yang menjadikan PHK sebagai jalan ninja agar perusahaan selamat dengan alasan efisiensi merupakan nuansa suram yang tak bisa dielakkan menurut Bhima. Imbas daripada itu, ancaman daya beli pun sudah mulai dirasakan.
"Ada yang unik soal PHK. Fakta bahwa PHK hari ini tidak hanya terjadi pada sektor industri pengolahan, tapi juga di startup. Dulu pada puncak resesi akibat pandemi, startup jadi penyerap tenaga kerja yang diandalkan. Sekarang kondisinya cukup menghawatirkan dengan banyaknya PHK di startup," katanya.
Kemudian, sektor yang diperkirakan paling terdampak resesi menurut prediksi Bhima yakni sektor ritel, industri otomotif, pakaian jadi, property, besi baja, rekreasi, dan restoran atau industri food and beverage (FnB).
Bhima pun menjabarkan apa yang dilihatnya kini terkait ancaman resesi yang ada di depan mata. Saat ini, banyak perusahaan sudah mulai melakukan efisinsi tenaga kerja serta mengubah strateginya. Beberapa perusahaan pun melakukan downsizing atau memperkecil ukuran, maupun kualitas barang dengan tujuan agar konsumen tetap membeli. Hal itu dilakukan untuk menjaga harga agar tidak naik.
Melihat kondisi demikian, Bhima bahkan memprediksi jika angka kemiskinan bakal naik menjadi 10,5% sebagai dampak dari resesi, sehingga mempersulit turunnya angka kemiskinan ekstrem yang telah ditarget oleh negara.
"Kelas menengah rentan di Indonesia ada 115 juta orang. Sedikit saja guncangan, akan jadi orang miskin baru. Sekarang guncangan berasal dari inflasi energi, pangan, dan selisih kurs," jelasnya.
Selanjutnya, beberapa sumber utama kenaikan kemiskinan menurut Bhima juga masih belum terselesaikan. Ada kemiskinan structural yang berupa gap fasilitas pendidikan dan kesehatan serta stunting yang jadi problematika negeri.
Baca Juga: Target Kemiskinan Ekstrem Nol Persen Dinilai Rasional
Misalnya, bayi terlahir dari keluarga miskin sudah tertinggal dalam berkompetisi dengan orang kaya karena bayi miskin rentan menderita stunting. Secara siklikal, ada dampak resesi terhadap naiknya biaya hidup dan kesulitan mencari pekerjaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Oleh sebab itu, Bhima meminta kepada pemerintah agar menaikkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat, terutama bantuan pangan, bantuan tunai langsung dan perbaikan akses kesehatan serta pendidikan di tengah ancaman PHK dan kenaikan angka kemiskinan yang membayang-bayangi ini.
Dia menilai angka perlindungan sosial idealnya adalah 5ri PDB. Akan tetapi, anggaran yang dialokasikan pada tahun depan baru 2,5%. Dan hal tersebut dinilai masih terlalu rendah.
Terhadap keyakinannya akan badai krisis takkan menghajar negeri ini dengan keras, maka Bhima pun menyetujuinya. Akan tetapi, dia mencermati kebijakan pemerintah yang malah cenderung kontraktif, apalagi ketika memberikan pernyataan di media.
Dia memberi contoh terhadap kenaikan tariff PPN hingga 11n kenaikan harga BBM Subsidi yang naik 30%. Padahal, idealnya pemerintah harus memberikan banyak relaksasi pajak serta tambahan subsidi energy guna menjaga daya beli dan daya tahan ekonomi tetap stabil.
Baca Juga: Target Nol Kemiskinan Ekstrem yang Tidak Rasional
Keduanya dinilai tak membuat warga bangsa untuk tak merasa guncangan krisis dan merasakan kondisi baik-baik saja. Kebijakan kontradiksi ini juga sejatinya malah membebani pemerintah sendiri.
"Kalau ditotal perlu paket kebijakan antisipasi resesi dan besarnya bisa Rp700 triliun," ungkap Bhima.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi