Optika.id - DPR bersama Pemerintah mengklaim akan memperbaiki Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam waktu dekat, mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Akan tetapi, meskipun ada wacana bakal memperbaiki UU Ciptaker, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, substansi dari UU Ciptaker tidak ada yang berubah dan tetap berlaku.
"Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) lebih pada persoalan formil belum ke substansi," kata Moeldoko saat menerima audiensi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Kamis (3/11/2022).
Baca Juga: Moeldoko vs AHY, Eksperimen Politik yang Jadi Gimik
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, ujar Moeldoko, sudah mengatur berbagai hal yang sudah disepakati dan susah diubah. Di antaranya yakni tentanag metode omnibus dalam pembentukan perundang-undangan, memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna, pembuatan perundang-undangan secara elektronik, serta kemudahan akses bagi penyandang disabilitas.
Dia juga menegaskan bahwa UU Ciptaker akan melibatkan publik agar publik tidak lagi skeptis dengan keberadaan UU Ciptaker yang diklaim sebagai beleid sapu jagat tersebut.
Dengan adanya UU Ciptaker, Moeldoko juga mengklaim bahwa pemerintah berupaya keras untuk menarik banyak investor agar dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.
Dia mengharap dengan hadirnya investor dan adanya UU yang mengatur, maka akan berujung pada banyaknya lapangan kerja yang tersedia untuk masyarakat. Terkait dengan itu, hadirnya beleid sapu jagat tersebut diklaim akan membuat investor lebih tertarik untuk berinvestasi di Tanah Air, sebab iklim investasi yang baik membutuhkan stabilitas politik, efisiensi birokrasi, dan kepastian dalam berbagai hal.
"Dengan UU Cipta Kerja ini, kita memberikan kepastian-kepastian itu, seperti kepastian izin usaha dan lainnya," ujar Moeldoko.
Diklaim Lebih Membuka Investasi
Untuk diketahui, sebelumnya Ketua Umum Apindo, Hariyadi B. Sukamdani mengatakan bahwa putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat banyak diterjemahkan sebagai keputusan hukum yang menjadikan UU tersebut tidak berlaku.
Padahal, Hariyadi menilai jika banyak hal baik yang diatur dalam UU Ciptaker tersebut. Di antaranya yakni soal pengupahan yang menipiskan kesenjangan upah antardaerah karena disesuaikan dengan tingkat konsumsi daerah.
Baca Juga: Balas Dendam Manis, Demokrat Tak Sabar Lihat Wajah Moeldoko di Parlemen
"Formula pengupahan UU Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 adalah rumusan yang baik sehingga pekerja di masing-masing daerah dibayar dengan layak dan sesuai," kata dia, dikutip dari keterangan Kantor Staf Kepresidenan, Kamis (03/11/2022).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya itu, dia juga menyinggung soal aturan waktu kerja ideal dalam UU Ciptaker yang diklaim lebih fleksibel serta sesuai dengan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
Maka dari itu, Hariyadi menyayangkan keputusan MK yang menyatakan UU Ciptaker merupakan inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, hal tersebut bisa menggiring opini bahwa UU Ciptaker tidak berlaku.
"Saya harap pemerintah meluruskan hal ini," jelas Hariyadi.
Sebagai informasi, MK dalam putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan bahwa UU Ciptaker tetap berlaku sampai dilakukan perbaikan dalam jangka waktu 2 tahun sejak putusan itu ditetapkan pada bulan November 2021. Dalam putusannya, MK menyebutkan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat.
Baca Juga: Abai Atasi Angka Pengangguran Usia Muda yang Kian Tinggi
"Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan ini diucapkan'. Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini," kata Ketua MK Anwar Usman seperti dikutip di laman resmi MK, Jumat (4/11/2022).
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi