Optika.id - Oktober silam, tak kurang dari 12 kepala desa di Sumatera Selatan secara serentak masuk penjara atas kasus korupsi dana proyek pembangunan fasilitas olahraga program Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) tahun anggaran 2015 sebesar Rp1,6 miliar.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong Sebagai Tersangka Kasus Impor Gula
Sebenarnya, dalam kasus korupsi berjamaah kepala desa tersebut ada 13 orang yang harus menjalani hidup dibui bersama. Akan tetapi, salah satu diantaranya terlebih dahulu meninggal dunia.
Pengungkapan kasus rasuah yang dilakukan oleh kepala desa ini sejalan dengan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW). Selama semester I 2022, lembaga itu memantau bahwa di sektor desa, rawan terjadi tindak pidana korupsi. Menurut ICW, selama periode tersebut, sudah ada sebanyak 62 kasus dengan potensi kerugian keuangan negara Rp289 miliar.
ICW menilai tren korupsi di sektor desa itu semakin meningkat. Terutama sejak Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan.
Pemicu Dana Desa Bisa Bocor
Ihwal cerita maraknya kasus korupsi ini ditengarai bermula dari berlakunya UU Desa. Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa pemerintah pusat wajib mengalokasikan dana transfer ke daerah, yakni dana desa. Dana tersebut diluar dari dana lain misalnya dana hibah kementerian dan lembaga.
Menurut catatan KPK, sejak 2015 hingga 2022, pemerintah mengucurkan Dana Desa sebesar Rp468,9 triliun. Tiap tahun, anggaran dana desa terus bertambah nilainya.
Kasus rasuah dana desa itu pun direkam oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). Pada tahun 2019 2021, berdasarkan temuan dari ICW kasus korupsi di sektor anggaran dana desa menempati peringkat pertama yang ditangani oleh penegak hukum dengan kasus mencapai 326 dan tersangka sebanyak 417.
Kendati kasus korupsi ini sifatnya massif, namun KPK tidak bisa menangani pemerintah desa yang korupsi sebab dibatasi oleh undang-undang.
Pasal 26 UU 6 Tahun 2014 tentang Desa, tertulis pemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat desa atau yang disebut dengan nama lain.
Namun dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pemerintah desa bukan penyelenggara negara. Jadi, bukan menjadi kewenangan KPK jika mereka terlibat korupsi.
Tak habis akal, KPK mulai mengkaji kasus korupsi Dana Desa agar ditemukan celah yang memberikan kesempatan bagi aparatur pemerintah desa berbuat curang pada anggaran ini. KPK, dalam kajiannya tersebut menemukan sebanyak 14 potensi persoalan terkait pengelolaan Dana Desa ini.
Dari belasan potensi yang ditemukan tersebut, KPK lalu membaginya ke dalam empat kategori yakni regulasi dan kelembagaan; tata laksana; pengawasan dan sumber daya manusia (SDM) aparatur pemerintah desa.
Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ipi Maryati meyakini jika potensi risiko dalam pengelolaan keuangan desa akan tinggi apabila aparat desa, pemerintah pusat dan masyarakatnya tidak bekerja sama dalam mengawasi penggunaan anggaran yang besar tersebut.
Karenanya, KPK mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam mengawal dana desa, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat desa sesuai dengan tujuannya, kata Ipi ketika dihubungi, Senin (12/12/2022).
Baca Juga: Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Diusut KPK: Kapan Tersangka?
Tak hanya KPK, Kementerian Desa (Kemendes) juga melakukan hal serupa. menurut Direktur Jenderal Pembangunan Desa dan Pedesaan Kemendes, Sugito, pihaknya menemukan sejumlah faktor yang menyebabkan anggaran desa kerap kali disalahgunakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Faktor tersebut yakni minimnya keterlibatan dan pemahaman warga desa soal pembangunan di desa serta belum optimalnya fungsi pengawasan anggaran di desa.
Tak hanya itu, Sugito juga menemukan bahwa akses informasi warga mengenai penggunaan anggaran desa terbatas. Ditambah, adanya keterbatasan dan ketidaksiapan kepala desa serta perangkatnya dalam mengelola uang dalam jumlah besar sehingga terkesan gagap.
Ini faktor penyebab tindak pidana korupsi anggaran dana desa terjadi, tutur Sugito dalam keterangannya, Senin (12/12/2022).
Sebagai upaya menekan kasus korupsi dana desa, ujar Sugito, pihaknya mengaku akan meningkatkan kapasitas pemerintah desa dalam mengelola dana desa. Di sisi lain, pihaknya juga akan membuat aturan terkait sistematika pengelolaan dana desa.
Sugito mengatakan bahwa pemerintah pusat juga akan melakukan monitoring dan evaluasi rutin terkait penggunaan dana desa ini serta menginisiasi integrasi data penyaluran dana pemanfaatan dana desa ke Kemenko PMK, Kemenkeu, Kemendes PDTT, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), hingga Kemendagri.
Selain itu, lanjut Sugito, Kemendes melakukan pendampingan kepada pemerintah desa dan badan permusyawaratan desa. Untuk mengelola pendataan desa, perencanaan dan pengawasan pembangunan desa.
Pengelolaan Dana Desa ini juga turut diawasi oleh BPKP. Menurut Direktur Pengawasan Akuntabilitas Keuangan, Pembangunan dan Tata Kelola Pemerintahan Desa, Wasis Prabowo, selama tiga bulan sekali pihaknya kerap melakukan audit, evaluasi, review dan/atau monitoring dalam rangka pengawasan penggunaan dana desa di seluruh Indonesia.
Baca Juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat
Menurutnya, pengawasan ini difokuskan pada dua aspek yakni peningkatan akuntabilitas pemerintah desa yang mengacu pada tata keuangan desa, tata kelola asset desa, dan perencanaan pembangunan desa. Kemudian, ada peningkatan kualitas belanja desa dan pengembangan potensi desa.
Fokus pengawasan ini kami melihat apakah dana desa telah diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang meningkatkan sumberdaya ekonomi desa, serta mendorong peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat desa, itu yang menjadi fokus utama ucap Wasis ketika dihubungi, Senin (12/12/2022).
Wasis menyebut, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh BKPK, ada beberapa permasalahan yang ditemui yakni soal kepatuhan terhadap berbagai peraturan pengelolaan keuangan desa dimulai dari keterlambatan penyusunan RKPDes dan APBDes.
Sementara itu, aparatur desa juga lamban dalam membuat laporan penatausahaan dan pertanggungjawaban yang tak disusun secara benar serta tidak dilaporkan sesuai dengan ketentuan.
Dalam temuannya, BPKP menyebut bahwa rentan ada penguasaan atas kas desa oleh kepala desa yang tidak sesuai dengan kegiatan serta beberapa permasalahan lainnya yang menjurus pada kasus rasuah.
Wasis menyebut jika sebagian besar pemerintah desa menggunakan dana desa untuk membangun infrastruktur dan sarana prasana di desanya. BPKP melihat kecenderungan penambahan infrastruktur di desa cukup signifikan jika dilihat dari pembangunan jalan dan infrastruktur lain.
Sayangnya, ini tak terjadi di sektor pemberdayaan masyarakat. Karena, dalam tiga tahun belakangan, lebih banyak diarahkan untuk bantuan sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT) desa, jelas Wasis.
Editor : Pahlevi