Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Baca Juga: Keturunan India Menjadi Presiden Singapura
Optika.id - Saya ingat ketika ada pertarungan demokrasi di lingkungan organisasi intra Universitas seperti Badan Perwakilan Mahasiswa tahun 1970 an, ada pihak mahasiswa yang ingin memaksakan menetapkan suatu keputusan dimana sebelumnya rencana itu ditentang pihak lawannya, maka pihak pertama secara tidak fair menetapkan keputusan dalam suatu sidang disaat tidak dihadiri pihak lainnya.
Tentu hal itu menimbulkan protes dilingkungan kampus - keputusan itu dianggap cacat karena tidak melibatkan partisipasi mahasiswa lainnya. Kejadian seperti sering terjadi di lingkungan organisasi intra kampus.
Ternyata pengalaman saya didunia kemahasiswaan tahun 1970 an itu dilakukan oleh pemerintah ketika presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) disaat DPR sedang reses.
Perppu nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta itu ditetapkan presiden tanggal 30 Desember 2022 lalu. Keputusan itu menunai kritik yang luas dimasyarakat karena dianggap melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi atau MK.
Sebelumnya, MK memutuskan UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja cacat secara formil. MK menyatakan dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020, UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta pemerintah memperbaikinya paling lama dalam dua tahun.
Alih-alih memperbaikinya, Jokowi justru menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Keputusan ini diambil Jokowi dengan alasan ada kegentingan yang memaksa untuk mengantisipasi ancaman krisis ekonomi. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud Md, menyebut alasan tersebut sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009. Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan Presiden berhak menetapkan Perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Lebih lanjut berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU7/2009. Pemerintah menggunakan situasi ketidakpastian global menjadi klausula alasan presiden sebagai Ihwal yang memaksa.
Tokoh-tokoh masyarakat mengkritisi keputusan presiden itu antara lain Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA yang menyampaikan bahwa NKRI sesuai ketentuan Konstitusi adalah negara hukum, maka sewajarnya bila hukum jadi panglima bukan kekuasaan.
Maka bila Presiden Joko Widodo jika perlu membuat Perppu, lebih sesuai bila menerbitkan Perppu (Peraturan pemerintah penganti undang-undang) untuk membatalkan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan sebagai inkonstitusional bersyarat, apabila merasa tidak mampu mentaati putusan MK secara komprehensif, atau melaksanakan keputusan MK sepenuh hati dengan intensif mengajak DPR untuk segera melaksanakan putusan MK tersebut.
Baca Juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS
Bukan malah mengeluarkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang dinilai oleh banyak pakar sebagai tindakan yang mengabaikan putusan MK, padahal putusan MK sesuai ketentuan UUDNRI 1945 adalah final dan mengikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
MK sebagai lembaga yang diberikan kewenangan konstitusional untuk mengawal konstitusi telah memutuskan agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperbaiki proses penyusunan UU Cipta Kerja yang oleh MK dinyatakan inkonstitusional bersyarat, salah satunya, karena tidak adanya meaningful participation (partisipasi masyarakat yang bermakna).
Namun, bukannya segera melaksanakan putusan MK dengan membahas revisi UU itu bersama DPR, Presiden secara sepihak malah menerbitkan Perppu no 2/2022.
Terbitnya Perppu itu justru membuktikan kembali bahwa meaningful participation yg diputuskan oleh MK dan menjadikan UU Ciptakerja sebagai inkonstitusional bersyarat, tidak dilaksanakan.
Sekarang bukan hanya masyarakat yang tidak dillibatkan, bahkan DPR selaku lembaga perwakilan rakyat pun, tidak diajak untuk membahas substansi dan praktek revisi yang diputuskan oleh MK itu.
Baca Juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN
Sebenarnya kalau pemerintah menganggap bahwa kondisi global yang tidak pasti dan menjadi dasar penetepan Perpu maka pemerintah seharusanya mengajak bicara para wakil raakyat dan mendengarkan aspirasi rakyat.
Kalau tidak maka akan muncul kecurigaan masyarakat dan ini wajar bahwa karena masyarakat menuduh perintah investor dan oligarki itu ada dibalik keputusan penetapan Perpu itu.
Misalkan asosiasi buruh menganggap soal ketentuan outsourcing di perusahaan itu tidak jelas dan menguntungkan pihak investor.
Pemerintah dengan kewenangannya memang bisa menetapkan suatu Perpu Pemgganti UU, namun pemerintah juga harus memahami bahwa keputusan penetapan Perpu UU Cita Kerja itu yang sebelumnya di anggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi bisa memunculkan opini publik bahwa disaat adanya ketidakpastian global seharusnya pemerintah melakukan dialog dengan DPR dan masyarakat atau yang disebut meaningful participation itu.
Tambahan pula ada anggapan publik bahwa pemerintah sebagai Ekseutif melakukan Pembangkangan terhadap Legislatif. Dan disaat adanya ketidak pastian global dan suhu politik yang panas menjelang Pilpres 2024 tindakan pembangkangan itu harus dihindari supaya tidak menimbulkan kegaduhan publik.
Editor : Pahlevi