Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Baca Juga: Keturunan India Menjadi Presiden Singapura
Optika.id - Menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 sudah bermunculan nama-nama calon presiden yang digadang-gadang masyarakat luas, untuk sementara ini hanya Anies Baswedan mantan Gubernur DKI yang sudah memiliki tiket atau eligible menjadi capres karena sudah mendapat dukungan dari tiga partai politik yaitu Nasdem, Demokrat dan PKS.
Sementara partai-partai politik lainnya masih sibuk mediskusikan siapa calon yang tepat untuk dapat diusung resmi menjadi capres. Tentu partai-partai itu juga secara intensif melakukan lobi-lobi politik.
Masyarakat sudah mengetahui bahwa nama-nama yang digadang masyarakat itu bisa memenangkan pemilihan presiden bila ditunjang berbagai aspek misalnya figur atau komunikator, pesan-pesan dan kondisi politik, sosial, ekonomi masyarakat. Namun secara umum masyarakat sering mendengar dua istilah dimana seorang calon itu bisa lolos dalam pilpres yaitu Elektabilitas dan Popularitas.
Elektabilitas adalah kata serapan dari Bahasa Inggris electability yang dalam kamus Oxford disebutkan sebagai the extent to which a politician or political party has the qualities that make it possible or likely that they will win in an election. Kalau dalam satu kata dalam bahasa Indonesia electability itu berarti keterpilihan.
Kalau merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) elektabilitas tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas bisa diterapkan untuk barang, jasa maupun seseorang atau partai.
Dalam politik elektabilitas itu berhubungan dengan kemampuan kandidat untuk mempengaruhi persepsi dari para pemilih untuk memilih dirinya dan elektabilitas tersebut erat hubungannya dengan popularitas.
Seorang yang populer memiliki elektabilitas yang tinggi didukung ekspos dari media. Elektabilitas sering dibicarakan menjelang adanya pemilihan umum. Banyak partai politik ataupun politikus yang berupaya meningkatkan elektabilitas menjelang pemilihan umum agar memenuhi kriteria keterpilihan dan popularitas yang tinggi.
Istilah Popularitas juga merupakan kata serapan dalam bahasa Inggris Popularity, dalam kamus Oxford disebutkan bahwa Popularity itu adalah the state or condition of being liked, admired, or supported by many people, atau berarti keadaan disukai, dikagumi atau didukung oleh banyak orang, Adapun mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia popularitas berarti perihal populer dan kepopuleran.
Baca Juga: Kecurangan Pemilu Tidak Hanya di TPS
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada yang mengatakan cara meningkatkan elektabilitas tergantung teknik kampanye. Dalam masyarakat yang belum berkembang, kecocokan profesi tidak menjadi persoalan.
Tidak semua kampanye berhasil meningkatkan elektabilitas. Ada kampanye yang menyentuh dan tidak untuk kepentingan rakyat. Ada pula kampanye yang berkedok sebagai survei bertujuan mempengaruhi orang yang sulit membuat keputusan dan sekaligus mematahkan semangat lawan politik.
Seorang yang populer belum tentu layak untuk dipilih. Itu sebabnya, elektabilitas berkaitan erat dengan popularitas. Seseorang yang hanya populer susah untuk dipilih karena belum tentu layak. Sebaliknya, meskipun seseorang memiliki elektabilitas, tapi karena ia tidak populer, dia tidak akan terpilih.
Namun di negeri kita ini ada istilah lain yang juga tidak kalah pentingnya dibandingkan kedua istilah eletabilitas dan popularitas itu, dan istilah ini juga dikenal secara luas di masyarakat. Istilah itu adalah Isine Tas.
Baca Juga: Polusi Udara DKI Sebagai Pembenar Perlunya IKN
Isine Tas, tentu bukan kata serapan dari bahasa Inggris namun itu berasal dari bahasa Jawa yang secara harfiah berarti Isinya Tas dan secara metafor bermakna berapa uang yang dimilikinya untuk maju sebagai seorang kandidat. Pernah ada kejadian sahabat-sahabat seorang kandidat di Pilkada berkonsultasi dengan seniornya tentang kemungkinan kandidat itu bisa menang atau tidak dalam Pilkada, senior ini bertanya Isine tase piro? atau punya duit berapa.
Seorang kandidat yang memiliki elektabilitas dan popularitas tinggi belum tentu menang dalam suatu pemilihan kalau tidak memiliki dana atau didukung oleh dana yang besar. Misalkan saja dalam kampanye Walikota suatu kota dimana seorang kandidat itu minimal harus didukung 1 juta penduduk kota.
Kandidat ini perlu mengeluarkan dana untuk membeli kaos, menyewa gedung tempat kampanye, konsumsi, logistik, transportasi untuk satu juta pemilih itu, dan terakhir untuk mendapatkan Surat Rekomendasi dari partai politk yang mendukungnya. Masyarakat bisa menghitung berapa biaya atau dana kalau untuk pemilihan tingkat propinsi dan nasional.
Faktor Isine Tas ini yang menyebabkan muncul praktek Money Politics, dan bermunculan para bandar, atau cukong yang dalam bahasa kerennya Oligarki yang bersedia mengucurkan dana tak terbatas asal kepentingan bisnisnya nanti bisa terjamin bila kandidat yang dikucurin dana ini menang. Untuk saat ini memang agak sulit menghapuskan praktek money politics dalam dunia perpolitikan di Indonesia.
Namun hal itu merupakan Bad Political Education atau Pendidikan Politik yang Jelek bagi rakyat yang mendambakan suatu demokrasi yang penuh kejujuran.
Editor : Pahlevi