Optika.id - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengomentari pernyataan Partai Ummat yang secara terang-terangan ingin mengusung politik identitas serta menggunakan masjid sebagai sarana berpolitik.
Baca Juga: Mahfud MD: Publik Sedang Tunggu Kejelasan Pemberhentian Dekan FK Unair
Mahfud mengingatkan Amien Rais dkk bahwa "politik" dalam diskursus ini multitafsir.
Ia tak menampik bahwa politik identitas dan masjid sebagai sarana berpolitik bisa saja dianggap tak membahayakan, selama ditafsirkan sebagai high politics/politik inspiratif, bukan politik elektoral.
"Seperti yang dikatakan Pak Amien Rais akan mengampanyekan politik identitas, (berpolitik) melalui masjid-masjid, itu tidak apa-apa, (selama) menyatakan umat Islam agar menjaga NKRI ini bersama-sama, sebagai bagian dari politik inspiratif," ungkap Mahfud di daerah Slipi, Jakarta, Jumat (24/2/2023).
"Partai Ummat akan memperjuangkan politik identitas dan mempergunakan masjid-masjid sebagai tempat perjuangan. Itu apa artinya?" imbuhnya.
Namun, apabila yang dimaksudkan oleh Partai Ummat adalah politik identitas dan pemakaian masjid sebagai sarana berpolitik elektoral, sebaiknya mereka menjauhi keinginan tersebut.
"Kalau diartikan lain, ya tidak usah dikampanyekan di masjid. Itu bagi kita paling tidak yang tergabung dalam golongan ahlussunah wal jamaah," ungkap Mahfud.
Ia memberi contoh, politik inspiratif atau high politics tersebut berkaitan dengan pernyataan-pernyataan semisal "negara harus dipimpin orang yang adil", "korupsi harus dilawan", "keadilan harus ditegakkan", dan "lingkungan hidup harus dipelihara demi kebaikan manusia".
"Itu politik, bahasa-bahasa politik. Politik dalam arti urusan negara," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Sementara itu, politik praktis di masjid dan pesantren tidak dapat dilakukan. Politik praktis, imbuhnya, berkaitan dengan ajakan atau larangan memilih kandidat tertentu dalam pemilu.
"Jangan pilih calon presiden yang ini, jangan pilih yang itu, itu (politik) praktis dan sebaiknya jangan dibicarakan di masjid. Orang Islam sendiri banyak pilihan kalau politik praktisnya," ungkap Mahfud.
Kontroversi
Sebelumnya, dalam pidato di Rakernas Partai Ummat pada 13 Februari 2023, Ridho menyampaikan pendapatnya bahwa politik tak bisa dipisahkan dari agama.
"Sedangkan nilai-nilai moralitas agama memberikan referensi yang absolut yang permanen yang tidak pernah berubah lintas zaman, lintas generasi. Kemudian kalau kita pisahkan dari politik, maka politik kita yang tanpa arah, politik yang nanti referensinya kebenaran yang relatif situasional," ujar Ridho.
Baca Juga: Mahfud MD: Hak Angket DPR Bisa Makzulkan Jokowi Seperti Soeharto
Atas dasar itu, Ridho berani menyebut Partai Ummat menganut politik identitas. Menurut Ridho, politik identitas adalah politik yang Pancasilais.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pidatonya, Ridho juga menyinggung bahwa politik gagasan semestinya tidak dilarang di masjid. Sebab, menurut dia, hal yang seharusnya dilarang di masjid adalah politik provokasi.
Yang seharusnya dilarang di masjid bukanlah politik gagasan, tapi politik provokasi. Keduanya sangat berbeda, kata Ridho.
Bawaslu pun bereaksi, memperingkatkan Partai Ummat untuk tidak menggunakan masjid sebagai sarana politik praktis jelang Pemilu 2024.
"Kami mengingatkan kepada teman-teman, khususnya Partai Ummat," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja kepada wartawan, Rabu (15/2/2023).
"Untuk tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana untuk melakukan kampanye dan juga ajang untuk menyerang satu sama lain," lanjutnya.
Ia kembali menegaskan bahwa bangsa ini harus memetik banyak pelajaran dari keterbelahan sosial akibat eksploitasi politik identitas pada Pilpres 2019 silam.
Baca Juga: Partai Ummat: Sirekap Bikin Suara Kami Hilang
"Tempat ibadah adalah milik bersama bangsa Republik Indonesia, tempat bersama milik umat beragama yang pilihan umat beragama bukan hanya satu partai," sebut Bagja.
"Apa jadinya nanti jika semua partai melakukan politik identitas di masjid, gereja, pura, wihara dan saling menyerang dengan itu?" ia menambahkan.
Bagja khawatir bahwa pemakaian politik identitas akan semakin memperparah keterbelahan dan konflik sosial.
Ia memberi contoh, tanpa politik identitas pun, masyarakat di akar rumput sudah mengalami konflik dalam keseharian mereka.
"Kalau seperti itu akan terjadi pertentangan sosial dan harus hati-hati, teman-teman di Partai Ummat itu akan menaikkan eskalasi pertarungan di tingkat akar rumput, itu yang paling berbahaya," ungkap Bagja.
Di samping bahaya konflik, masjid juga tidak dapat dipakai sebagai sarana politik praktis karena sifatnya sebagai fasilitas publik. Hal yang sama berlaku untuk sekolah dan kampus, misalnya.
"Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politik bukan hanya Partai Ummat," tegas Bagja.
Editor : Pahlevi