Optika.id - Pemerintah berencana melakukan impor 2 juta ton beras sampai akhir Desember 2023. Rencana tersebut dilakukan guna mengisi Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Hal tersebut juga sudah ditetapkan melalui surat Badan Pangan Nasional (Bapanas) yang menugaskan Bulog untuk melakukan pengadaan CBP dari luar negeri.
Baca Juga: Megawati: Jangan Andalkan Impor Beras, Kita Harus Bisa Berpikir!
Menanggapi hal tersebut, Henry Saragih selaku Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) mengatakan bahwa penyebab dari impor beras yang sebenarnya tidak perlu tersebut yakni pemerintah yang lamban dalam mengambil kebijakan perberasan. Buntut kejadian tersebut yakni Bulog yang tidak berhasil menguasai dan tidak bertindak tegas dari tahun lalu dan masalah tersebut masih berlanjut sampai tahun ini.
"Sehingga Bulog tidak bisa menjadi satu kekuatan yang bisa mengintervensi pasar. Karenanya menurut SPI, pemerintah sebelum memutuskan impor beras harus terlebih dahulu memperbaiki peran, fungsi, dan cara kerja Bulog dalam menjalankan tugasnya sebagai CBP," katanya dalam keterangan resmi yang dikutip Optika.id, Rabu (29/3/2023).
Dibanding melakukan impor beras, dirinya meminta agar Bulog lebih peduli dengan petani dalam negeri dengan menyerap gabah dari petani maupun berbagai procedural lainnya sehingga Bulog bisa menyerap gabah dari petani serta mendistribusikannya.
Dia berharap agar Bulog menjalankan fungsi yang seharusnya yakni sebagai cadangan pangan dari pemerintah. Pun pemerintah harus membuat aturan mengenai berapa banyak jumlah cadangan pangan pemerintah. Apakah sebanyak 10ri kebutuhan beras nasional, atau lainnya.
Lebih lanjut, Henry menyebut jika pihaknya menilai keadaan tersebut merupakan keteledoran dari pemerintah sejak tahun 2022 yang gagal mengurus pangan dan Bulog yang tidak melakukan tugasnya. Pihaknya juga menyesalkan langkah pemerintah yang melakukan impor beras menjelang momen panen raya.
Ini merupakan buah dari buruknya pemerintah dalam menangani persoalan pangan, yang hampir tiap tahun selalu berulang," ujar Henry.
Di sisi lain, penyerapan beras tidak maksimal juga diakibatkan oleh lambannya pemerintah yang merevisi harga HPP di tangkat petani, padahal hal tersebut bisa diantisipasi jauh-jauh hari. Jika hal tersebut dilakukan secara terukur, sistematis dan direncanakan sebagaimana mestinya, tentu petani akan mempertimbangkan menjual gabahnya kepada Bulog saja.
Baca Juga: Pengamat Pertanian: Kenaikan Harga Beras Adalah Hal yang Anomali
Kemudian, menanggapi CBP digunakan untuk program bantuan sosial, Henry menyebut jika pengumuman impor beras dalam waktu dekat ini pasti berpengaruh ke dalam segala aspek. Baik dari sisi psikologis maupun langsung terhadap harga di tingkat petani. Menurutnya pemerintah seharusnya berlajar dari peristiwa surat edaran dari badan pengan nasional yang beberapa waktu lalu berdampak pada turunnya harga gabah di tingkat petani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Henry, dasar mengenai diambilnya kebijakan impor tersebut masih jauh dari kata tepat. Pada akhirnya berbagai pihak akan mempertanyakan apakah memang produksi gabah dalam negeri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, atau memang ketersediaan anggaran sampai mekanisme penyerapan gabah/beras di tingkat petani yang bermasalah.
Apabila memang terjadi penurunan produksi, sambung Henry, maka hal tersebut harus jelas penyebab dan penanganannya seperti apa. Artinya, jika hal tersebut terjadi maka ada ketidaksesuaian antara prognosis pemerintah dengan fakta yang ada di lapangan.
Di sisi lain, dari permasalahan gabah yang masih belum usai, ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum maksimal dalam mengeluarkan kebijakan perberasan yang memihak kepada nasib para petani dalam negeri serta orang-orang yang bekerja di pedesaan.
Baca Juga: Panen Raya Sudah Dimulai, Bapanas Klaim Harga Beras Bakal Segera Turun
Tak hanya itu, pemerintah juga belum maksimal dalam menjalankan reforma agraria mulai dari sisi produksi hingga melakukan redistribusikan tanah kepada petani Indonesia. serta, pemerintah juga gagal dalam menstabilkan harga pupuk maupun sarana produksi lainnya.
Pemerintah juga tidak berhasil menjamin harga yang layak terhadap produksi petani serta meniadakan perlindungan kepada para petani dalam negeri. Ironisnya, kegagalan pemerintah tersebut terus diulang dari tahun ke tahun bahkan semakin ruwet penanganan nya.
Oleh karena itu, pada akhirnya demi mengatasi permasalahan pangan di Indonesia pemerintah malah mengambil jalan pintas tersebut dan semakin menjauhkan diri dari petani lokal serta menyalahi prinsip kedaulatan pangan.
Padahal, kedaulatan pangan seharusnya menjadi paradigma utama dalam pembangunan pertanian di Indonesia sesuai dengan yang disebut dalam UU Pangan. Dalam UU tersebut, pemerintah wajib mengutamakan produksi dalam negeri serta menjadikan impor sebagai alternative terakhir. Bukannya opsi yang harus dipilih tanpa adanya solusi seperti saat ini.
Editor : Pahlevi