Optika.id - Digitalisasi menjadi angin segar bagi pembangunan di sektor pendidikan Indonesia. akan tetapi, hal tersebut masih menuai kendala dalam aplikasinya. Hal tersebut diungkap oleh Lembaga Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yang menyebut ada beberapa faktor terkait penghambat digitalisasi pendidikan Indonesia.
Baca Juga: Beasiswa Mahaghora Dibuka Sampai 26 Juli 2024
Terlepas dari kondisi yang ada, digitalisasi perlu terus diupayakan supaya siswa, guru, dan sekolah bisa merasakan manfaat dari program-program digitalisasi pendidikan," ujar Peneliti CIPS, Nadia Fairuza, dalam keterangan resmi yang dikutip Optika.id, Rabu (3/5/2023).
Menurut hasil analisis dari CIPS, selama pandemi yang menerapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) telah mengungkapkan sejumlah faktor yang menghambat digitalisasi pendidikan di dalam negeri. Faktor tersebut berupa adanya gap atau kesenjangan digital yang terjadi antar daerah, minimnya pelatihan keterampilan bagi pendidik untuk mengintegrasikan perangkat keras dan lunak selama proses pembelajaran, serta rendahnya literasi digital yang terjadi antara siswa dan guru.
Menurut CIPS, guru memiliki peran dan kontribusi yang cukup penting dalam suksesnya digitalisasi pendidikan sehingga kapasitas keterampilan mereka perlu terus ditingkatkan.
CIPS menilai jika peningkatan kapasitas guru akan membuat mereka mampu memanfaatkan digitalisasi sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing. Sehingga otonomi dan cakupan mereka dalam proses pembelajaran pun bisa semakin kuat.
Hal serupa pun disampaikan oleh Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menyebut bahwa guru sebagai tenaga pendidik saat ini mengalami kesenjangan digital.
Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak hanya mengalami kesenjangan digital yang mempersulit proses pembelajaran, guru juga mendapatkan beban administrasi berlebih yang dituntut oleh aplikasi dari kementerian, serta dituntut untuk membuat konten digital.
Pihaknya juga menemukan kondisi memprihatinkan yang mana pihak sekolah, pengawas dan dinas pendidikan kerap menekan para guru untuk menginstal aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM). Padahal aplikasi tersebut dinilai kurang berguna untuk guru yang memiliki gawai tidak memadai. Terlebih lagi bagi mereka yang bertugas di daerah luar jangkauan dengan akses listrik terbatas dan internet yang minim.
"Dulu guru dibebani administrasi, sekarang dibebani aplikasi. Ternyata aplikasi tidak menyederhanakan dan memudahkan tugas guru," kata Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, dalam keterangan resmi, Selasa (2/5/2023).
Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
Dirinya menyayangkan capaian keberhasilan terkait Kurikulum Merdeka melalui PMM jika dilihat dari jumlah angka penginstal aplikasi tersebut.
"Kami menilai beragam aplikasi dari kementerian tersebut belum menjawab janji efesiensi dalam digitalisasi pendidikan," ucap Iman.
Editor : Pahlevi