Optika.id - Kementerian Pemberdayaan Perlindungan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat ada sebanyak 1.545 kasus perdagangan orang (TPPO) yang terungkap antara tahun 2019 2022. Sebanyak 1.732 orang menjadi korban dan mayoritasnya yakni kelompok rentan, perempuan dan anak-anak.
Baca Juga: Kasus KDRT Masih Marak, Ada yang Salah dengan UU Penghapusan KDRT?
Menurut Deputi Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, Mayoritas korban TPPO baik dari kategori dewasa dan anak, berasal dari wilayah DKI Jakarta. misalnya, pada tahun 2019 sebanyak 33 perempuan yang berdomisili di DKI Jakarta menjadi korban dari tindak pidana perdagangan orang.
Pada tahun 2019 pula kelompok usia anak yang berasal dari Jawa Timur menjadi korban TPPO terbanyak. Yakni 18 anak yang diperdagangkan.
Lima anak laki-laki dan 13 anak perempuan. Sedangkan korban TPPO (2019) yang berusia dewasa paling banyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta, ucap Nahar, Rabu (17/5/2023).
Pada tahun 2020 TPPO juga didominasi oleh DKI Jakarta. sebanyak 42 anak tercatat menjadi korban yang mana perinciannya 39 perempuan dan 3 laki-laki. Sementara itu dari kelompok dewasa total 68 orang menjadi korban. 66 perempuan dan 2 laki-laki.
Berganti tahun 2021, DKI Jakarta masih menjadi lumbung korban TPPO. Akumulasi korban pada tahun tersebut sebanyak 209 dengan rincian 64 laki-laki dan 145 perempuan.
Akan tetapi, daerah penghasil TPPO berusia dewasa bukan hanya Jakarta saja, melainkan Jawa Barat. Jawa Barat menyumbang korban TPPO sebanyak 95 korban yang di antaranya 91 perempuan dan 4 laki-laki.
Pada tahun 2022, korban TPPO yang paling banyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta sebanyak 67 anak, 8 anak laki-laki dan 59 anak perempuan. Dan 73 orang (dewasa), dua orang laki-laki dan 71 orang perempuan, jelas Nahar.
Selain dilansir dari Simfoni PPA, KemenPPPA juga mendata kasus TPPO pada anak melalui layanan SAPA 129. Berdasarkan catatan dari call center tersebut, sebanyak 27 anak menjadi korban TPPO pada tahun 2021. Sedangkan tahun 2022 sebanyak 86 anak menjadi korban TPPO. Jawa Barat ditetapkan sebagai provinsi terbanyak TPPO pada anak sebanyak 32 anak.
Nahar kemudian mengungkapkan ada empat modus dan motif utama perdagangan anak apabila berbasis data dari SAPA 129. Yang pertama adalah anak dijual sebagai jaminan pinjaman uang atau pembayaran utang. Kedua, korban diajak teman lantas dikenalkan kepada mucikari atau germo. Ketiga, korban dijanjikan pelaku pekerjaan dengan iming-iming gaji besar dan terakhir, anak dijual karena merupakan hasil hubungan gelap di luar pernikahan.
Baca Juga: Kekerasan Tak Buat Anak Jadi Penurut dan Disiplin
Ketika disinggung mengenai penanganan TPPO anak, Nahar menjelaskan ada beberapa hal yang perlu disiapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pertama adalah memberikan fasilitas koordinasi antara kementerian dan lembaga penanganan TPPO dengan pihak terkait. Kedua, memfasilitasi pemulangan korban dan ketiga memfasilitasi pendampingan hukum serta psikologis korban yang tentu mengalami trauma.
Keempat, fasilitasi tempat penampungan sementara. Kelima, mengakseskan ke layanan lain sesuai kebutuhan korban (kesehatan atau rehabilitasi sosial), jelas Nahar.
Sementara itu, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesi (KPAI), Ai Maryati Solihah menjelaskan alasan mengapa kasus TPPO sering tidak terdeteksi. Menurutnya, korban dari TPPO merasa bahwa dirinya tidak sedang dieksploitasi. Situasi demikian kerap terjadi pada kasus remaja, perempuan atau anak-anak yang dijual dan dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial (PSK).
Adapun ciri-ciri dari TPPO ini adalah adanya timbal balik dalam bentuk materi sebagaimana yang diiming-imingi oleh korban. Mayoritas korban malah baru merasa dieksploitasi ketika dalam situasi perbudakan seksual. Misalnya, dimintai melayani puluhan konsumen dalam sehari.
Baca Juga: Dorong Kemandirian Pasca Lepas, KemenPPPA Minta Lapas Bekali Napi Perempuan Pelatihan Kewirausahaan
Dalam kasus tersebut, Ai bahkan menyebut para perempuan kerap dipaksa untuk menelan pil anti-menstruasi agar bisa melayani pria hidung belang tanpa memperdulikan hak mereka sebagai manusia yang merdeka.
Saat menstruasi langsung dijejali obat dan berhenti dan harus kerja lagi. Itu kan artinya ada perbudakan yang sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atas tubuhnya, ujar Ai kepada Optika.id, Kamis (18/5/2023).
Ai menjelaskan, pada tahun 2021 berdasarkan catatan dari KPAI, ada sebanyak 147 kasus anak yang dieskploitasi secara ekonomi dan seksual. Sementara itu, ada 28 kasus anak yang menjadi korban dari penculikan, perdagangan, maupun penjualan. Sementara itu, pihaknya menyebut sepanjang tahun 2022 ada 85 kasus anak yang dieksploitasi secara seksual dan ekonomi sementara ada 51 kasus penjualan, penculikan dan perdangangan kepada anak-anak tersebut.
Lebih lanjut, KPAI dalam kasus perbudakan seksual menemukan bahwa mayoritas korban mendapatkan upah perbulannya rata-rata Rp8 juta hingga Rp15 juta. Pendapatan yang tergolong fantastis itulah yang mendorong anak-anak serta remaja mudah diperdaya ke dalam jerat setan perdagangan manusia dan perbudakan seksual.
Jadi, itu yang disebut eksploitasi secara seksual dan ekonomi di dalam TPPO, tutup Ai.
Editor : Pahlevi