Optika.id - Secara umum, kebudayaan Indis adalah produk hibrida dari kebudayaan Jawa (Timur) dan Belanda (Barat). Perjumpaan orang-orang Barat (Belanda) dengan dunia Timur (Jawa) mendorong akulturasi budaya yang melahirkan kebudayaan Indis. Akulturasi budaya bermula dari proses adaptasi orang-orang Belanda terhadap iklim Tropis dan Lingkungan Timur yang berlanjut kolonialisasi atas daerah Pesisir Utara Jawa.
Baca Juga: Karnaval Jadi Ajang untuk Kenalkan Budaya Lamongan Meluas!
Kebudayaan Indis menambah deretan budaya yang berakulturasi dengan kebudayaan Jawa. Pertemuan orang-orang Jawa dengan budaya asing yang telah berlangsung berkali-kali tidak serta-merta menghapus local genius dan karakter budaya Jawa. Berbagai kebudayaan asing, bahkan yang berkendaraan agama tidak dapat mencabut karakter budaya Jawa, bahkan justru membaur.
Eksistensi kebudayaan Indis yang disadari oleh Djoko Soekiman berurat akar dari pemahaman komprehensif atas tujuh unsur kebudayaan Koentjoroningrat yang disertai observasi mendalam. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa buku Kebudayaan Indis; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi karya Djoko Soekiman ini mengambil kajian antropologi-sejarah.
Kata Indis justru dapat dijadikan pengingat yang menandai suatu babak zaman pengaruh budaya Eropa (Barat) di Indonesia yang hingga sekarang sangat mencolok dalam kebudayaan Indonesia, tulis Djoko Soekiman dalam bukunya, dikutip Optika.id, Jumat (19/5/2023).
Mengacu pada tujuh unsur kebudayaan Koentjoroningrat, Djoko Soekiman mengidentifikasi kebudayaan Indis. Pertama, bahasa. Djoko Soekiman menemukan berbagai contoh bahasa Belanda yang membaur dengan bahasa lokal. Pertanda bahasa ini berhubungan dengan aktivitas sosial yang tidak terlepas dari komunikasi intensif. Pergundikan, perniagaan dan hal-hal lain yang mengharuskan interaksi sosial antara orang-orang Barat (Belanda) dengan orang-orang Timur (Jawa) dapat menelurkan berbagai fenomena bahasa.
Kedua, sistem pengetahuan yang mencakup perilaku, kebiasaan dan pendidikan. Perpaduan unik dalam ranah edukasi formal dan informal tercermin dari muasal pengadopsiannya. Penganut kebudayaan Indis mengadopsi pendidikan formal meniru Barat, namun untuk pendidikan informalnya justru mengambil cara orang-orang Jawa yang menyerahkan pengasuhan kepada pembantunya misalnya babu, jongos, maupun sopir.
Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketiga, perlengkapan hidup yang meliputi peralatan rumah tangga, alat produksi, transportasi, senjata, pakaian dan rumah tempat tinggal. Gaya hidup yang merepresentasikan kebudayaan Indis lebih mengedepankan simbolisme, prestise jabatan dan ikonografi-ikonografi lainnya yang menggambarkan status sosialnya. Silang sengkarut simbol kejawaan dan kebelandaan bercampur aduk dalam berbagai komponen perlengkapan hidup. Perjamuan makan (Indische Rijsttafel) yang menghidangkan menu masakan Jawa dan Eropa telah menggambarkan adanya perpaduan dalam metode memasak, ritual makan dan alat-alat dapurnya.
Keempat, gaya hidup. Gaya hidup mewah khas kebudayaan Indis seringkali dilengkapi dengan perabotan-perabotan rumah yang eksentrik. Arsitektur bangunan hingga aksesoris rumah seperti lonceng mewujudkan kebudayaan Indis yang menarik nan unik.
Kelima, mata pencaharian. Kategori ras yang diskriminatif cukup menyumbang kesenjangan sosial-politik dan ekonomi. Mencermati hal itu bisa ditinjau dari pembagian mata pencaharian. Kaum Indo-Eropa dan kalangan pribumi biasanya diserap dalam pekerjaan-pekerjaan kasar, serdadu sewaan dan bagi yang mengenyam pendidikan Barat berkemungkinan menjadi bagian dari tenaga administrasi negara.
Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
Keenam, kesenian. Membahas kesenian dalam kebudayaan Indis menjangkau seni kriya dan seni pertunjukan. Kita mengenal komedi Stambul dari Surabaya (Sidoarjo sekarang) yang diperkenalkan August-Mahieu. Selain itu, seni pertunjukan visual yang menampilkan cerita rakyat dalam layar film.
Ketujuh, religi. Agama Kristen dari Barat meresap dalam budaya lokal. Gereja Ganjuran di Yogyakarta yang mengikuti sinkretisme Katolik tanpa membuang praktik-praktik kebudayaan bukanlah satu-satunya. Dr. Joseph Schmutzer menggunakan gamelan, kidung, wayang dan atribut Jawa lainnya dalam menyebarkan agama Kristen. Selain Dr. Joseph Schmutzer, Coenraad Joseph Coolen juga tokoh agama Kristen yang praktik zendingnya juga memanfaatkan atribut-atribut Jawa.
Editor : Pahlevi