Ketika Preman Main Mata dengan Penguasa: Review Buku Politik Jatah Preman

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Sabtu, 24 Jun 2023 14:11 WIB

Ketika Preman Main Mata dengan Penguasa: Review Buku Politik Jatah Preman

Optika.id - Kehidupan sosio-spasial masyarakat Indonesia, terutama di kota besar macam Jakarta tidak bisa dilepaskan dari istilah premanisme. Kelompok preman yang kerap kali bertindak seenak hatinya, sok jagoan dan tak jarang memalak masyarakat rupanya sering digunakan oleh entitas tertentu sebagai penggiring suara massa dalam politik elektoral.

Baca Juga: Aksi Akrobatik Orang Narsis dalam Panggung Politik

Masalah premanisme di kota besar seperti Jakarta ini dibedah oleh pengajar dari Murdoch University, Australia, Ian Douglas Wilson dalam bukunya yang berjudul Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru yang terbit di tahun 2018 lalu.

Buku ini merupakan hasil riset dari Ian dalam rentang waktu tahun 2006 hingga tahun 2014 menjelang Pemilu.Dalam penelitiannya tersebut dia memadukan antara etnografi, sosiologi, dan narasi sejarah. Peneliti di Asia Research Center tersebut juga mengurai sepak terjang yang dilakukan oleh berbagai geng preman, ormas, vigilante, dan berbagai komunitas yang berbasis kesukuan yang ada di Jakarta. Ian, dalam buku tersebut, berfokus pada preferensi politik berbagai kelompok itu.

Pasalnya, Ian menilai jika hubungan yang terjalin antara kelompok preman dengan sejumlah partai politik, bahkan kepolisian sudah menciptakan jaring pengamanannya sendiri yang luput dalam pengamatan.

Ian menjelaskan bahwa munculnya kelompok preman dengan tindakan premanismenya tidak bisa dilepaskan dari kondisi serta proses sosio-politik yang ada di Indonesia. perebutan wilayah antarkelompok mulai meletus tatkala rezim Orde Baru sebagai patron tunggal kelompok preman telah ditumbangkan.

Pasalnya, dahulu para kelompok preman yang tunduk di bawah rezim militeristik Orde Baru ini bercorak nasionalis dengan ikrar setianya kepada Pancasila. Kemudian pada tahun 1980-an terjadi operasi penembakan misterius (petrus) yang selanjutnya menciptakan kontrol kekuasaan terhadap kelompok preman ini.

Proses demokratisasi dan desentralisasi pasca tumbangnya Orde Baru kemudian membuat kontrol negara terhadap preman ini melemah sehingga menguatkan eksistensi kelompok yang terlibat ke dalam premanisme.

Disebutkan oleh Ian dalam bukunya bahwa saat ini kelompok preman terbagi menjadi dua tipe. Tipe pertama yakni kelompok yang berdasarkan identitas atau kesukuan. Misalnya Forum Betawi Rempug. Dan tipe kedua yang berdasarkan ide atau gagasan seperti Front Pembela Islam (FPI) yang saat ini sudah dibubarkan oleh negara.

Kelompok semacam inilah yang mampu bertahan serta beradaptasi dari perubahan sosial-politik di Indonesia setelah Soeharto tidak berkuasa lagi.

Kelompok yang masih bertahan tersebut kemudian memainkan peran penting dalam memfasilitasi persoalan ekonomi warga yang merupakan hal krusial, kemudian turut campur dalam ekses politik kaum miskin yang tidak mendapat lirikan dari institusional politik formal.

Dalam buku tersebut Ian juga menjelaskan bahwa eksisnya kelompok-kelompok preman ini tidak bisa dilepaskan dari persoalan masyarakat kelas bawah.

Kelompok preman yang hadir di tiap-tiap kampung kota ini kemudian bergerak dan mewadahi berbagai persoalan masyarakat kelas bawah yang diwarnai dengan semakin menyempitnya ruang-ruang ekonomi warga Kota Jakarta, persaingan mendapatkan ekses hidup yang lebih baik, problem hidup yang tak terselesaikan, hingga ekspresi diri yang sayangnya tidak bisa disalurkan.

Baca Juga: Genderang Kritik Dibungkam, YLBHI: Ada Empat Pola Negara Memberangus Gerakan

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kelompok preman ini kemudian menjadi wadah frustasi warga dengan memberikan jaminan hidup yang lebih baik. Pengamanan anggota keluarga dari ancaman kelompok lainnya, dan memfasilitasi ekspresi diri anggota di berbagai aksi. Bahkan, warga merasa lebih aman untuk mengadu kepada kelompok preman ini jika mengalami suatu masalah, daripada (mengadu kepada) polisi," kata Ian dalam bukunya yang dikutip Optika.id, Sabtu (24/6/2023).

FPI, Organisasi Massa dan Transaksi dengan Penguasa

Dalam buku tersebut, Ian memandang FPI merupakan kelompok yang paling menarik. Pasalnya, kelompok yang dibentuk pasca Orde Baru itu awalnya berperan menjadi satuan pengamanan, kemudian bertransformasi menjadi organisasi massa (ormas) dengan jaring pengamanan berlapis serta kuat secara politis.

"Mantan pejabat kepolisian menggambarkannya seperti anjing yang tali kekangnya lepas. Saking kuatnya pengaruh yang dimilikinya, hingga tak dapat dikendalikan " ujar Ian.

Hubungan antara FPI dengan pihak berkuasa ini lebih condong kepada huungan transaksional, alih-alih ideologis. Meskipun pihak berkuasa memberdayakan FPI sebagai alat politisnya.

Cara kerjanya yakni kelompok preman berfungsi sebagai mediator antara kelompok sosial dan masyarakat dengan dunia politik formal. Peran menjembatani ini pun kemudian ditukar dengan berbagai kesepakatan yang diminta, konsesi atau dana dari partai politik, maupun pihak-pihak yang ingin berkuasa. Jadi, hubungan keduanya hanya sebagia tukar guling semata.

Baca Juga: Mengulik Hubungan Mesra NU dengan Pemerintah

Ian pun menyebut jika FPI sudah mencapai keinginan terbesar mereka. Hal ini ditandai dengan pengukuhan pimpinan mereka, Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai Imam Besar. Puncaknya, ketika kasus penistaan agama yang menjebloskan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok alias Basuki Tjahaja Purnama ke dalam penjara pada tahun 2017 silam. FPI merasa di atas angin setelah itu, meskipun saat ini sudah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah akibat berbagai skandal di dalamnya yang dianggap meresahkan masyarakat.

Hubungan antara kelompok preman dengan pihak kepolisian dalam buku ini pun dijelaskan dengan menarik. Pasalnya, dalam buku ini disebutkan bahwa kepolisian dengan sengaja membiarkan kelompok preman untuk melakukan intimidasi kepada pihak minoritas, aktivis, atau pihak-pihak yang kontra terhadap rezim. Pembiaran itu dilakukan sejalan dengan kepentingan untuk eksistensi rezim.

Hal yang disebut pihak kepolisian, mengutip Ian, "Sebagai upaya untuk menciptakan keseimbangan."

Kelompok yang sengaja dibiarkan untuk melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap pihak yang kontra terhadap rezim ini pun dengan sewenang-wenang terus melakukan berbagai aksinya yang sejalan dengan kepentingan penguasa.

Apabila terjadi kekerasan yang dilakukan, dan pihak kepolisian mengetahuinya, maka reaksinya adalah seolah-olah aksi itu di luar kendali mereka.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU