Optika.id - Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji mengaku prihatin dengan angka anak putus sekolah yang tinggi serta abainya peran orang tua dalam mendorong anaknya bersekolah. Dia tak menampik jika dibutuhkan peran penting orang tua dalam mendorong minat anaknya bersekolah, namun dia juga menekankan tentang realitas yang sering terjadi.
Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
Ubaid tidak menyalahkan orang tua yang kerap beranggapan bahwa sekolah tidak cukup memberi harapan yang menjanjikan sehingga memutuskan untuk tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Hal itu didasari oleh biaya sekolah yang kian mahal namun harapan yang dijanjikan tidak begitu memuaskan. Misalnya, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan iming-iming setelah lulus langsung bekerja justru menjadi penyumbang jumlah pengangguran di Indonesia.
"Tidak ada jaminan pula. Sudah bayar mahal-mahal (sendiri), tidak ditanggung negara, sudah pontang-panting, nantioutput-nya cuma menambahkan jumlah pengangguran," kata Ubaid dalam keterangannya, Selasa (11/7/2023).
Ubaid menilai jika pemerintah semestinya menjadi pihak yang memastikan bahwa orang tua tidak perlu berpikir mengenai banyak hal untuk bisa menyekolahkan anaknya sebab tugas dan kewajiban anak adalah belajar dan menuntut ilmu di sekolah.
Selain kewajiban menyediakan sekolah, pemerintah juga harus memberikan pendidikan yang berkualitas sesuai dengan standar dan tanpa adanya diskriminasi dengan anak-anak yang berasal dari kalangan mampu atau menengah ke atas.
Biasanya, sambung Ubaid, orang tua dari kalangan bawah hanya sekadar memasukkan anaknya ke sekolah yang murah tanpa peduli kualitasnya. Alih-alih sang anak menjadi lebih baik, justru mereka bisa saja mengalami hal buruk seperti perundungan, atau sebaliknya, sang anak tidak menjadi seseorang dengan karakter yang diharapkan.
Akhirnya, sekolah justru secara tidak sengaja menjadi penyemaian karakter buruk alih-alih jadi pencetak manusia yang berkualitas.
Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ubaid pun mengkritik pemerintah yang seolah lupa dan tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap jaminan layanan pendidikan. padahal, hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang 45 Pasal 31 yang berbunyi semua warga negara punya hak untuk mendapatkan layanan pendidikan, dan pemerintah wajib hukumnya membiayai.
"Itu kan karena pemerintah tidak menyediakan sekolah, lalu swasta bikin sekolah, kualitasnya buruk," ucapnya.
Di sisi lain, ketika disinggung mengenai jumlah sekolah, dia menilai jika jumlah sekolah negeri di Indonesia saat ini sebenarnya masih sangat jauh dari kata cukup. Sehingga, dirinya yakin bahwa penyebab utama tingginya angka putus sekolah di Indonesia adalah kurangnya jumlah sekolah negeri yang relative lebih murah dan bisa dijadikan pilihan.
Semestinya, sambungnya, sekolah harus menyamakan jumlah atau daya tampung di tiap jenjang. Misalnya, daya tampung sekolah SD harus sama seperti SMP dan SMA. Hal ini sebagai upaya untuk mengakali agar tidak ada anak yang putus sekolah.
Baca Juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan
"Kenapa sekolah SMP lebih sedikit daripada jumlah sekolah SD? SMA Lebih sedikit lagi daripada SMP. Pertanyaannya adalah ke mana anak-anak itu? Pasti enggak sekolah," jelas Ubaid.
Dia menegaskan bahwa semestinya pendidikan bisa sangat fleksibel dan tidak harus menunggu belajar di gedung sekolah saja, melainkan bisa di mana saja. Seperti halnya jika di desa, masyarakat bisa memanfaatkan balai desa, rumah ibadah masjid, mushola, atau gereja, atau kantor kelurahan.
Jika nanti pemerintah mau melibatkan swasta, mau bekerja sama dengan swasta, itu hal lain. Tetapi yang pasti pemerintah harus bisa menjamin dan memastikan bahwa seluruh warga negara Indonesia dapat menempuh pendidikan dengan layak, pungkasnya.
Editor : Pahlevi