Optika.id - Anggota Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Indonesia sekaligus Praktisi Pendidikan, Tari Sandjojo menilai jika secara umum kasus anak putus sekolah di Indonesia ujung pangkalnya selalu berkaitan dengan urusan sosial ekonomi keluarga yang kurang baik.
Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah
Menurut Tari, keluarga dengan sosial ekonomi yang rendah memiliki tujuan pendidikan yang berbeda-beda tergantung dengan faktor masing-masing. Bisa juga dijumpai ada orang tua yang meskipun secara ekonomi mengalami kesulitan, namun masih bisa berjuang untuk menyekolahkan anaknya hingga ke tingkat yang tinggi dengan tujuan agar bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik serta memperbaiki nasib agar tidak seperti mereka.
Akan tetapi, hal berbeda dialami oleh kondisi keluarga dengan ekonomi yang jauh lebih buruk. Biasanya, mereka kadang sama sekali tidak tertarik dengan pilihan tersebut.
Jangankan untuk sekadar memberikan pendidikan untuk anaknya, keluarga dengan ekonomi rendah terasa sulit untuk menyambung hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, rata-rata sekolah anak justru dianggap beban tambahan buat mereka dan tidak merasakan benefit apa-apa darinya.
Tari memaklumi alasan tersebut karena sekolah, bagaimanapun juga tidak ada yang benar-benar gratis. Orang tua masih harus membeli seragam, buku, alat-alat tulis, maupun gawai untuk melakukan proses belajar mengajar kendati masih ada opsi beasiswa.
Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional
"Akhirnya pilihannya yang penting anak bisa baca tulis, jadi bisa kerja bantu-bantu (orang tua), " kata Tari dalam keterangannya yang dikutip Optika.id, Selasa (11/7/2023).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Senada dengan Tari, Doni Koesoema selaku pengamat pendidikan pun menguatkan gagasan Tari tersebut. Berdasarkan pengalamannya di Kementerian Pendidikan, dia memberi hipotesis sekitar 75% masalah anak yang putus sekolah disebabkan oleh biaya yang minim.
Sementara itu, sisanya baru faktor lain misalnya ada yang harus mengikuti orang tua yang berpindah-pindah, masalah adat di beberapa daerah yang melarang anak-anaknya bersekolah, hingga masalah infrastruktur.
Baca Juga: FSGI Koreksi Visi Misi Capres Terkait Pendidikan
Doni yakin jika jumlah sekolah negeri di Indonesia sudah lebih dari cukup untuk menampung anak-anak di Tanah Air. Akan tetapi, perbandingan daya tampungnya bakal terus berkurang dari berbagai jenjang dari SD hingga SMA. Terlebih menurut Doni, belum ada upaya maksimal dari pemerintah untuk melibatkan sekolah swasta agar bisa mengakomodasi anak-anak tersebut.
"Sebenarnya sekolah negeri sudah cukup banyak, tetapi sekolah swasta kurang atau belum bisa dilibatkan oleh pemerintah. Pemerintah belum punya rencana untuk melibatkan sekolah swasta untuk PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru)," kata Doni.
Editor : Pahlevi