Kekerasan seksual terhadap anak, baik di lingkungan keluarga maupun pendidikan terus membayangi calon pewaris negeri ini. Selayaknya anak-anak mendapatkan ruang aman yang bebas kekerasan seksual di manapun mereka berada, tak terkecuali di institusi pendidikan sebagai lembaga yang beradab.
Baca Juga: Mencegah Anak Bunuh Diri
Kekerasan seksual terhadap anak didik ini perlu mendapatkan perhatian khusus. Menurut Psikolog Renny Magdalena, anak didik yang menjadi korban ini rentan mengalami trauma berkepanjangan. Pasalnya, anak yang mengalami kekerasan seksual cenderung mengalami perubahan fungsi dan cara kerja otak yang mengarah pada masalah psikologis.
Saat kita mengalami kejadian trauma, otak bagian depan Prefrontal Cortex (otak logika berpikir) akanshutdownsementara dan tidak bisa berpikir. Makanya, kalo orang trauma suka nge-freezedan itu daribatang otak yang mengatur gerak refleks dan Amygdala (pusat emosi) akan masuk ke mode reaktif bisafight, flight, ataufreeze. Setelahnya, kalo trauma bisa masuk ke mode reaktif berkepanjangan yang membuat seseorang lebih sensitif, histeris, tidak stabil, bahkan mengarah pada tidak ada keinginan untuk hidup, ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (16/7/2023).
Maknanya, dampak dari kekerasan seksual yang diterima oleh anak dan mengarah pada kematian bisa diasumsikan bahwa tingkat daya tahan korban kekerasan seksual untuk hidup turut terpengaruh. Apabila korban mengalami depresi parah hingga sampai halusinasi, maka korban harus dibawa ke professional agar segera ditangani.
Harus ada bantuan obat (resep), bukan cuma terapi psikologis. Gimanasurvivenya itu kembali ke individu dan pastinya butuh penanganan cepat agar tidak trauma berkepanjangan yang bisa berdampak pada hal yang tidak diinginkan, kata Renny.
Sex Education Solusi Atasi Kekerasan Seksual?
Baca Juga: Kasus Kekerasaan Seksual Tak Kunjung Henti Terjadi di Sekolah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Untuk menekan angka kekerasan seksual ini, Renny Magdalena menyinggung harus ada sinergi antara pemegang kepentingan (stakeholder) baik dari orang tua, orang dewasa, pemerintah, institusi pendidikan, hingga anak itu sendiri. Solusi lain adalah dengan cara mengedukasi anak melalui edukasi seks (sex education).
Untuk pembelajaran edukasi seks, Renny menyampaikan harus diajarkan sesuai dengan jenjang pendidikannya agar lebih mudah diterima dan tidak dicap sebagai barang tabu. Misalnya, untuk anak yang mengenyam pendidikan di kelompok belajar (KB), TK maupun playgroup bisa diajarkan pendidikan seks dengan cara yang menyenangkan dan memanfaatkan boneka atau gambar yang lucu agar mereka tertarik dan bisa memahami pesan tersebut.
Kemudian untuk SD bisa dibagi menjadi dua kategori misalnya untuk kelas 1-3 dan kelas 4-6, ada untuk SMP, SMA, dan TK juga ada sendiri. Misalnya, kalo untuk TK mulai dari nyanyian dan ada dari UNICEF Indonesia cerita Kisah Si Geni dan Kisah Si Aksa. Itu bisa jadi acuan atau referensi, ucap Renny.
Baca Juga: Mengapa Kekerasan Rentan Menimpa Perempuan?
Selain menepiskan stigma tabu dan diharapkan membantu menekan angka kekerasan seksual melalui pengenalan fungsi dan privasi tubuh sejak dini, alasan lain pemberian pendidikan seks sejak usia dini ini bisa membantu anak-anak untuk berani melapor apabila mengalami kekerasan seksual.
Kalo anak dari kecil terbiasa dikenalkan dengansex education, mereka juga jadi tidak merasa tabu dan berani lapor atau ngomong apabila terjadi kekerasan seksual. Berbeda kalo dari kecil dilarang, anak akan nge-blockdiri mereka untuk cerita ke orang tua, alasannya karena takut dimarahi, tuturnya.
Editor : Pahlevi