Optika.id - Ketika saya mengunjungi Blok M yang penuh dengan kerlipan lampu kota, seorang teman mengajak untuk memesan kopi di starling langganannya yang biasanya mangkal di Stasiun MRT Blok M. Apa yang dia katakana memang sebuah kebenaran lantaran banyak abang-abang starling, sebutan mereka, yang mangkal di sana.
Baca Juga: Usung Anies, Warga Madura Sampaikan Terimakasih ke PKS!
Kami pun menjumpai satu langganan teman itu, dari logatnya saya tahu dia orang Madura dan dia mengakuinya. Dia mengatakan sudah 6 tahun hidup di Jakarta dengan berjualan starling.
Tak hanya di Jakarta saja, di Surabaya, wilayah yang dekat dengan Madura, juga dipenuhi oleh warga Madura yang berdagang atau membuat usaha. Migrasi masyarakat Madura ke seluruh daerah tentu bukan hal yang kebetulan.
Migrasi telah menjadi bagian dari sejarah hidup orang-orang Madura yang menjadikan bentuk perantauan sebagai kebudayaannya. Banyak faktor yang mendorong masyarakat Madura untuk keluar dari zonanya ditambah faktor penarik dari wilayah-wilayah yang dijadikan tujuan migrasi. Kemiskinan, kurangnya lapangan pekerjaan, hingga keinginan untuk mendapatkan kesempatan hidup yang baru adalah faktor pendorong migrasi orang-orang Madura.
Laurence Husson dalam jurnalnya yang berjudul Eight Centuries Of Madurese Migration to East Java, menulis jika masyarakat Madura bermigrasi ke Jawa Timur ketika abad ke-13. Dimana ketika tahun 1845 hingga 1880 terjadi kesewenang-wenangan disana membuat orang-orangnya harus keluar dari lingkaran kemiskinan dan penindasan ditambah disekitar tahun itu Jawa Timur mulai menarik pekerja-pekerja dari Madura. Ketika membahas tentang migrasi yang dilakukan orang-orang Madura, tentu yang terlintas adalah Jawa Timur.
Erat kaitannya antara Jawa Timur dan Madura karena kebanyakan dari mereka memilih Jawa Timur sebagai tujuan perantauannya. Kuntowijoyo dalam bukunya Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris:Madura 1850-1940, dikutip Optika.id, Senin (17/7/2023) menulis jika pada tahun 1806, di pojok timur kerisedenan Jawa telah terbentuk desa-desa orang Madura. Sejak zaman kolonial Belanda Jawa Timur telah menjadi pusat gula ekonomi dan menjadi sumber uang yang melimpah. Maka dari itu, banyak orang Madura yang pergi ke Jawa Timur untuk menyandang pekerjaan.
Madura dikenal dengan ketidaksuburan tanahnya serta lapangan kerja yang tidak bisa menyeimbangi populasi penduduknya sementara Jawa Timur banyak memiliki fasilitas fasilitas yang dibutuhkan orang-orang Madura. Itu menjadi tujuan utama yang membuat masyarakat Madura berbondong-bondong untuk bermobilisasi ke Jawa Timur.
Menurut Kuntowijoyo, migrasi permanen maupun temporal yang dilakukan masyarakat Madura, sangat berdampak pada populasi penduduk di Madura itu sendiri. Ketika musim kemarau datang orang-orang Madura akan meninggalkan tempatnya dan pergi ke Jawa Timur dan akan kembali pada waktu yang ditentukan, seperti saat panen atau libur hari raya.
Ditambah lagi dengan mudahnya transportasi yang menunjang perjalanan mereka serta harga yang relatif murah memudahkan mereka untuk bisa datang dan pergi kapan saja. Perkembangan sarana transportasi yang terus berkembang seiring perjalanan migrasi orang-orang Madura menjadi faktor pendukung untuk bermigrasi.
Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelum tahun 1930, pola migrasi masyarakat masih bersifat temporer. Baru pada tahun itu mulai terdapat migrasi permanen dan permukiman-permukiman orang Madura yang tinggal di Jawa. Sebab pada tahun 1928, pemerintah Belanda membuka perkebunan teh di Pasuruhan yang menjadi daya tarik masyarakat Madura untuk menjadi buruh perkebunan. Alasan utama jelas terlihat pada kedekatan jarak antara Madura dan Jawa Timur dibandingkan dengan wilayah lainnya. Wilayah-wilayah di Jawa Timur bisa dikatakan hampir semuanya terdapat orang-orang Madura, Surabaya adalah satu dari sekian contoh nyatanya.
Kota metropolitan dengan sederet sarana dan prasarananya menarik hati para migran Madura untuk beradu nasib di Kota dengan beragam budayanya tersebut. Surabaya pada dasarnya merupakan kota inti yang dilengkapi dengan beragam fasilitas, jaringan infrastruktur yang lebih maju dibanding daerah lain disekitarnya, seperti adanya Pelabuhan besar Tanjung Perak yang menjadi pelabuhan tersebar kedua setelah Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta.
Sebagai pusat pemerintahan, perdagangan, perindustrian serta pendidikan membuat orang-orang Madura tak segan menjadikan Surabaya sebagai tempat keduanya. Membuat populasi kota Surabaya menjadi padat penduduk. Guna menunjang kebutuhan yang semakin banyak, kepadatan penduduk di Surabaya makin tidak bisa mengimbangi lapangan kerja yang tersedia. Maka itu, para migran dari luar Surabaya, termasuk Madura, membuka lapangan pekerjaannya sendiri dengan kemampuan yang mereka miliki.
Motif Migran
Baca Juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel
Motif yang paling mainstream dalam adanya migrasi dari orang Madura menuju Surabaya adalah motif ekonomi. Madura sebagai wilayah yang berada dalam kondisi geografis jauh dari kata subur dan dikelilingi oleh batuan kapur sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pertanian di wilayah ini. Sebagai salah satu wilayah yang tergolong miskin, masyarakat Madura ingin mengadu nasib ke Surabaya yang menjadi pusat perekonomian dan pemerintahan di Jawa Timur. Selain karena biaya yang murah untuk bermigrasi, wilayah Surabaya yang dekat dengan Madura menjadi pertimbangan lain yang dilakukan sebelum bermigrasi.
Disamping motif ekonomi, motif pendidikan juga menjadi salah satu pendorong terjadinya migrasi orang Madura ke Surabaya. Pembangunan dan pemerataan pendidikan yang kurang menjamah wilayah luar Jawa termasuk Madura mendorong keinginan mendapatkan pendidikan yang layak oleh orang Madura. Uniknya, orang Madura tidak mengejar pendidikan formal tetapi mengejar pendidikan teologis karena karakteristik orang Madura dianggap fanatik terhadap agama.
Banyak orang tua di Madura yang mengirimkan putra/putrinya ke Jawa untuk mengenyam pendidikan pesantren. Maka tidak jarang akan menemukan orang-orang Madura pada kawasan dengan religiusitas yang tinggi. Seperti pada kawasan pemukiman Arab di Ampel, disana juga banyak bermukim orang-orang Madura yang dulunya bertujuan mencari ilmu agama sekarang menetap dan berbaur dengan penduduk peranakan Arab di sana.
Motif terakhir adalah ikut-ikut, disini calon migran biasanya ikut-ikut hanya ingin mengadu nasib tanpa mengerti kondisi daerah yang akan dituju, hanya mengetahui berdasarkan informasi yang disampaikan oleh kerabat yang pernah bermigrasi ke sana. Oleh sebab itu, kerap kal menyebut pola migrasi orang Madura adalah sebagai pola afiliasi atau migrasi yang didasari oleh ikatan kekerabatan yang didukung oleh akses infomasi dan ekonomi.
Editor : Pahlevi