Optika-Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto mendesak Pemerintah dan Pertamina menyiapkan langkah antisipatif terhadap ancaman krisis energi yang terjadi di beberapa negara. Termasuk Singapura.
Pekan lalu dikabarkan krisis energi mulai melanda Singapura. Harga listrik di negara tetangga ini mulai naik dan Singapore LNG Corp (SLNG) dikabarkan tengah menjajaki pembelian kargo gas alam cair (LNG) dari pasar spot.
Baca Juga: Pengamat: Kondisi Demokrasi Kita Sekarang Sudah Kritis
Rencana pembelian LNG ini terhitung tidak biasa mengingat Singapura memiliki cadangan energi yang terjaga. Terkait hal tersebut Mulyanto minta Pemerintah memperketat pengawasan distribusi BBM dan LNG.
"Jangan sampai terjadi penyelundupan ke negara lain, sehingga mengancam persediaan BBM di dalam negeri. Harga gas yang melonjak di pasaran internasional, tidak menutup kemungkinan membuat pengusaha melakukan tindakan ambil untung meskipun menyebabkan kuota pasokan gas domestik untuk industri tertentu dan listrik tersedot ekspor," ujarnya kepada Wartawan, Senin (25/10/2021).
Oleh karena itu, Pemerintah diminta tegas menindak siapa pun yang coba menyalahgunakan kuota BBM dan LNG ini. "Kalau tidak diperketat bisa mengancam keamanan persediaan BBM dan LNG kita," tegas Mulyanto.
Terkait dengan isu kelangkaan BBM di Sumatera Utara, Mulyanto minta Pemerintah segera mengevaluasi dan melancarkan distribusi BBM agar kasus ini tidak merembet ke wilayah lain.
"Kita perlu langkah-langkah antisipatif dalam melakukan mitigasi risiko krisis energi yang melanda beberapa negara seperti Inggris, China dan India agar masalah tersebut tidak menjalar ke Indonesia," tandas Mulyanto.
Sebelumnya, Singapura kini tengah dilanda krisis energi yang bisa mengancam pasokan listrik bagi dunia bisnis dan konsumen.
Melonjaknya harga bahan bakar membuat pasar pasokan listrik di Singapura kelimpungan setelah tiga perusahaan penyedia listrik dalam waktu sepekan mengumumkan mereka akan menghentikan sementara layanan listrik di negara itu.
Meski pemerintah Singapura mengatakan pasokan energi masih aman namun dunia saat ini tengah menghadapi krisis pasokan listrik.
Dilansir dari laman Nikkei Asia, Kamis (21/10/2021), Otoritas Pasar Energi Singapura (EMA) mengatakan akan mengupayakan bahan bakar cadangan pemerintah bisa dipasok ke perusahaan listrik di Singapura saat pasokan gas menipis. Mereka juga meminta perusahaan listrik mengamankan pasokan bahan bakar. Setidaknya cukup untuk memenuhi permintaan konsumen ritel.
Di tengah harga bahan bakar dunia yang melonjak di seluruh dunia, Singapura mengandalkan 95 persen pasokan listriknya dari gas impor. Gas ini didistribusikan dari pipa yang berasal dari Indonesia dan Malaysia atau dikirim lewat kapal dalam bentuk gas alam cair dari eksportir gas.
Dalam beberapa bulan terakhir, harga gas alam cair melonjak tajam setelah meningkatnya permintaan dari China dan sejumlah wilayah lain sementara produksi gas dan batu bara anjlok. Sementara itu pasokan gas melalui pipa ke Singapura terdampak masalah produksi di kilang gas Indonesia, kata EMA. Kondisi seretnya pasokan dari Indonesia ini diperkirakan hingga akhir tahun.
"Krisis listrik Singapura ini mencemaskan," kata Ken Lee, pengamat senior di perusahaan riset energi Wood Mackenzie. Harga pasokan listrik di Singapura berkisar SGD 115 (USD 85 = Rp 1,2 juta) per megawatt/jam dari Januari hingga September kemudian melonjak jadi SGD 635 pada 19 Oktober pekan lalu.
Baca Juga: Apakah Negara Berkembang Perlu Menggunakan Reaktor Nuklir?
Lee menuturkan, tingginya permintaan listrik juga menyebabkan harga naik. Tahun ini Singapura mengonsumsi 5 persen listrik lebih banyak dibanding periode yang sama tahun lalu lantaran bangkitnya perekonomian setelah tahun lalu suram.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adanya gangguan ini di pasar lokal membuat perusahaan penyedia listrik di Singapura yang sudah menjanjikan tarif lebih murah untuk konsumen rumah tangga terpaksa harus membatalkan rencananya.
Awal pekan ini, Best Electricity Supply, yang terjun ke pasar layanan listrik pada 2015 mengumumkan mereka tidak lagi bersedia melanjutkan bisnis di sektor rumah tangga dengan alasan "kondisi rentannya pasar energi." Perusahaan itu menjadi yang ketiga menarik diri dari pasar listrik lokal dalam waktu sepekan terakhir.
"Penyedia listrik, terutama perusahaan independen yang tidak memiliki pembangkit listrik sendiri paling terdampak kondisi ini," kata Lee. "Mereka tidak mampu menyesuaikan harga tarif listrik karena sudah terlanjur mengikat kontrak dengan konsumen."
Kini yang menjadi pertanyaan salah satunya adalah bagaimana krisis listrik ini berdampak pada dunia bisnis di Singapura. Perusahaan andalan Singapura adalah manufaktur, termasuk sektor elektronik dan kimia, keduanya membutuhkan pasokan listrik yang besar.
"Kami belum mendengar industri dan manufaktur yang terdampak kondisi ini. Namun industri yang belum mengikat kontrak harga tampaknya akan terdampak karena mereka tidak bisa menghindari dari lonjakan harga saat ini," ujar Lee.
Sejumlah sektor bisnis di Singapura kini bersiap dengan kondisi terburuk.
Baca Juga: Krisis Pangan Dibalik Hubungan Diplomasi Indonesia-India
Sejak Juli, perusahaan produsen peralatan kesehatan Racer Technology mengaku mereka mengalami peningkatan konsumsi listrik. CEO Willy Koh mengatakan kepada Nikkei Asia, pengeluaran untuk listrik mereka meningkat sebanyak 30 persen di tengah krisis energi saat ini.
"Saat ini kita kekurangan tenaga kerja, lalu tarif listrik naik, jadi kami khawatir dengan keberlangsungan manufaktur ini," kata dia menyebut kurangnya tenaga kerja karena pandemi Covid-19. "Ongkos produksi naik terus," kata dia.
Pemerintah sudah menyerukan warganya menghemat listrik untuk beberapa bulan ke depan tapi konsumsi listrik sangat dibutuhkan di negara tropis seperti Singapura yang membutuhkan penyejuk ruangan, apalagi untuk warga yang masih bekerja dari rumah karena pandemi. Naiknya harga tarif listrik berpotensi menurunkan konsumsi listrik tapi itu juga menjadi pukulan berat bagi perekonomian yang baru saja hendak pulih dari pandemi.
Reporter: Angga Kurnia Putra
Editor: Amrizal
Editor : Pahlevi