Kebijakan Landreform dan Undang-Undang Pokok Agraria

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 31 Jul 2023 13:57 WIB

Kebijakan Landreform dan Undang-Undang Pokok Agraria

Optika.id - Berakhirnya kekuasaan kolonial pada 1942 dan setelah berakhirnya pendudukan Jepang, konsep kemerdekaan di kalangan rakyat semakin tajam dan banyak terjadi perdebatan mengenai arti mengisi kemerdekaan.

Baca Juga: Obral Kursi Menteri Untuk AHY dan Demokrat yang Pikun Konflik Agraria

Pada situasi tersebut, gerakan petani dan sengketa agraria merebak di masa pasca kemerdekaan dan berlanjut di tahun 1960 dalam bentuk aksi-aksi sepihak. Ketika pemerintah Republik Indonesia baru saja berdiri, timbul berbagai tuntutan penyelesaian masalah agraria yang disuarakan oleh berbagai organisasi kaum tani.

Sesuai dengan kedaulatan republik yang baru lahir, organisasi-organisasi tani memandang sudah merupakan keharusan bagi pemerintah untuk segera mengambil alih kekuasaan perkebunan milik pengusaha Belanda dan menghendaki pemerintah segera mengeluarkan peraturan yang menata struktur agraria kolonial ke dalam tatanan agraria yang sesuai dengan cita-cita Republik Indonesia

Kebijakan Landreform dan Undang-Undang Pokok Agraria Di sektor agraria, pemerintah menghapus hak eigendom tanah dari hukum pertanahan Indonesia dan hanya mengakui tanah bagi orang Indonesia. Untuk mendukung kebijakan tersebut, pemerintah membentuk beberapa lembaga baru yang menjadi dasar untuk menjalankan semua kebijakannya, yakni Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perantjang Nasional (Dapernas), Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Front Nasional.

Memasuki tahun 1960-an perombakan sektor agraria bertepatan dengan perubahan orientasi politik negara dalam mendorong aktivitas perekonomian melalui industrialisasi. Pidato presiden Soekarno pada 17 Agustus 1959 menjadi dasar pembahasan kebijakan landreform oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tanggal 13 Januari 1960.

Pidato tersebut menguraikan pokok penting yang menjadi pedoman umum pelaksanaan landreform di Indonesia. Tema dasarnya adalah persoalan memperkuat dan memperluas pemilikan tanah serta mengaitkannya dengan kaum tani penggarap yang merupakan mayoritas penduduk pedesaan.

Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari prinsip tersebut, tujuan perombakan sektor agraria yaitu penciptaan kembali segolongan kaum tani merdeka yang memiliki hak milik penuh terhadap tanah yang digarapnya. Dari golongan petani tersebut pemerintah mengharapkan peningkatan produksi dan modernisasi basis agraria di Indonesia.

Sebagaimana diterangkan lebih lanjut oleh Menteri Sadjarwo, landreform dilandasi pertimbangan-pertimbangan pemerintah terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia, seperti bentuk pemilikan tanah yang terlalu kecil dengan tingkat rata-rata penguasaan dan pemilikan tanah seluas 0,5 hektar tiap keluarga; perimbangan pemilikan yang terlalu tajam antara mayoritas kaum tani dengan petani kaya yang memiliki tanah sampai ratusan hektar; diferensiasi sosial di antara kaum tani (40 persen merupakan golongan tani kaya dan tuan tanah sementara 60 persen adalah petani miskin dan buruh tani tak bertanah di pedesaan) fragmentasi dan konsentrasi tanah dalam sistem tuan tanah; bentuk aktivitas pertanian tradisional.

Hal tersebut juga ditegaskan oleh Andi Ardian dalam bukunya yang berjudul Tanah yang Tak Bertanah, dikutip Optika.id, Minggu, (30/7/2023) selain bertujuan mendistribusi tanah, reforma agraria juga bertujuan meningktakan produksi nasional dan menghapus sistem tuan tanah berupa pemilikan tanah partikulir dan penguasaan tanah secara gadai, sewa, dan bagi-bagi hasil.

Baca Juga: Janji Semu Jokowi Kepada Masyarakat Adat yang Dirampas Lahannya

Dua bulan setelah berlakunya sistem perundangan agraria nasional dengan lahirnya UUPA No.5/1960, Menteri Agraria Sadjarwo menguraikan prinsip-prinsip pelaksanaan landreform yang tercantum dalam undang-undang tersebut yang terdiri dari pengakuan terhadap pemilikan pribadi, penetapan fungsi sosial tanah dengan mengatur bentuk penggarapan tanah terlantar menjadi tanah milik negara dan penghapusan tanah absentee.

Secara umum, pelaksanaan landreform di Indonesia meliputi ketentuan: larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas, larangan pemilikan tanah absentee, redistribusi tanah-tanah yang terkena larangan absentee, pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan, pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, dan penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian dengan disertai larangan melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan tanah menjadi bagian-bagian yang terlalu kecil.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU