Kegagalan Sistem Sewa Tanah di Tanah Jawa

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 31 Jul 2023 16:11 WIB

Kegagalan Sistem Sewa Tanah di Tanah Jawa

Optika.id - Pada tahun 1811 Jawa diduduki oleh Inggris setelah kepergian Gubernur Jendral Daendels dari Indonesia. Peletak dasar dari asas-asas pemerintahan sementara Inggris ditentukan oleh Gubernur Raffles yang memiliki pandangan bahwa sistem ekonomi yang baik dikembangkan di Jawa adalah sistem ekonomi yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat kuat pada sistem rodi kolonial Belanda dalam setiap kerja samanya dengan raja-raja Bupati.

Baca Juga: Sejak Kapan Quick Count Mulai Digunakan dalam Pemilu?

Rosalina Ginting dan Agus sutono dalam jurnalnya yang berjudul Sistem Sewa Tanah dalam Upaya Penghapusan Feodalisme di Jawa Abad XIX, dikutip Optika.id, Senin (31/7/2023) menjelaskan bahwa pada abad ke-19 akhirnya Raffles membentuk dan menerapkan sistem sewa tanah atau Landelijk stetsel yang diharapkan akan memberikan kebebasan dan kepastian hukum bagi para petani dan merangsang mereka untuk menanam arus pendapatan Negara yang baik.

Arti dari sistem sewa tanah ini adalah pemerintah kolonial adalah pemilik tanah, maka petani yang mengerjakan tanah dianggap menyewa milik pemerintah, sehingga mereka diwajibkan membayar sewa. Sistem sewa tanah ini dilaksanakan dan diterapkan di seluruh pulau Jawa.

Akan tetapi, daerah di sekitar Jakarta (Batavia) maupun di Parahyangan tidak dilaksanakan dan mengingat bahwa sistem ini mengingat kepemilikan tanah yang kebanyakan dikuasai oleh swasta. Karena keterbatasan waktu dan biaya serta kecakapan pegawai-pegawai kolonial pada masa itu maka sistem ini tidak dapat dilakukan secara sempurna.

Di dalam pelaksanaannya ditemui kendala dan kegagalan beberapa faktor diantaranya yaitu pertama, kurangnya jumlah pengawas dan pegawai-pegawai yang cakap. Selain karena hanya diduduki oleh kalangan pemerintahan Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tersebut.

Jumlah pengawas sangat sedikit menjadi akar kemustahilan pengutipan pajak sewa tanah perorangan distrik timur dalam waktu singkat. Minimnya jumlah pegawai Eropa yang dilibatkan sebagai opziener terkadang harus merangkap melakukan tugas ini di luar distrik yang ada.

Faktor kedua, Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan ekspor seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke 9 masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motifasi masyarakat untuk meningkatkan produktifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.

Faktor ketiga masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motivasi masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari produktifitas hasil pertanian belum disadari betul.

Upaya penghapusan feodalisme yang berlaku di Jawa selama ratusan tahun dinilai sebagai ketidakcemasan Raffles dalam menyikapi kondisi tanah jajahan dengan mengambil keputusan yang keliru, padahal generasi penjajah sebelumnya tetap membiarkan feodalisme berlangsung mengubah sistem administrasi langsung yang berlaku di Eropa dalam waktu sekejap ternyata menjadi salah satu awal kesulitan yang ia hadapi di tanah jajahan yang ia idamkan selama berada di India.

Arah politik pemerintahan Raffles yang liberal akhirnya kandas karena adaanya perbedaan besar antara ide liberalism dan keadaan social budaya masyarakat Jawa. Penghapusan feodalisme yang menyebar ke Negara-negara Eropa yang kebanyakan negaranya berbentuk kerajaan. Hal ini juga ternyata membawa pengaruh terhadap keinginan Raffles untuk menghapuskan feodalisme di Jawa, yang harus dihilangkan untuk mengikuti standart administrasi inggris.

Baca Juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Akan tetapi, dalam pelaksanaannya revolusi terhadap struktur kehidupan jawa tidak lah mudah untuk mengubah feodalisme di Jawa. Dalam pembayaran pajak tanah tidak selalu dibayar dalam bentuk uang, namun beberapa aerah di Jawa diijinkan membayar dengan hasil bumi, namun dalam kenyataannya petani banyak yang membayar dengan uang. Uang yang dibayarkan pajak berasal dari hasil menjual beras, karena beras merupakan satu-satunya benda yang dapat ditawarkan secara memadai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Faktor selanjutnya adalah pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak digarap, dan dapat menurunkan produktifitas pertanian. Karena secara liberal, penduduk harus menikmati kepastian hukum, sehingga ia mentapkan rakyat harus membayar pajak secara individu.

Sistem tersebut dijalankan berdasar anggapan bahwa pemilik tanah adalah pemerintah. Akan tetapi menurut Yuliati dalam jurnalnya Dampak Kebijakan Kolonial di Jawa menyebut bahwa di dalam pelaksanannya menemui kendala karena tidak tersedianya keterangan yang baik dan dipercaya untuk menetapkan pajak yang dibayar.

Faktor kelima adalah keuangan dan kas Negara yang terbatas. Memberikan dampak terhadap minimnya pengembangan pertanian. Keenam adanya pelanggaran Intruksi Pajak 1814 setelah pengumuman Instruksi Pajak 1814, Raffles menugaskan kepada setiap setiap kepala desa untuk menyampaikan intruksi tersebut kepada seluruh masyarakat di desanya.

Terkait pada perintah Raffles yang menugaskan tiap kepala desa dalam menyampaikan tat kelola perpajakan tanah seperti yang tertera dalam poin 78 yang berbunyi kepala Desa juga akan menjelaskan kepada tiap-tiap penyewa suatu penghitungan ringkasan berdasarkan bentuk itu.

Baca Juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Pada kenyataannya dalam menyampaikan perintahnya yang juga suatu keharusan yang harus dijalankan di Besuki nyatanya sangat sulit dijalankan sesuai dengan yang diperintahkan. Melaksanakan isi kontrak kontrak ternyata tidak semudah proses penandatangannya, karena tidak semua kepala pribumi di Ujung Timur bersedia memenuhi kewajiban yang dituntut oleh kompeni.

Faktor ketujuh adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup. Tata laksana landrent idealnya menurut Intruksi Pajak yang berlaku seorang demang diberi tugas untuk mengumpulkan hasil bumi di daerahnya masing-masing, bahkan seluruh hasil bumi bisa dikumpulkan di pos utama yang menghimpun pendapatan pajak dari seluruh desa dalam satu karesidenan.

Akibat tidak ditepatinya poin7 diatas terdapat kasus dimana kepala desa banyak menipu masyarakat desanya dengan melebihkan jumlah pungutan demi kepentingannya sendiri, hal ini bisa dinilai sebagai kondisi yang memperburuk keadaan petani yang harus kerja keras di tanahnya sendiri dan hasil yang diperoleh yang harus disetorkan melebihi apa yang sebelumnya dideklarasikan dan ditambah dengan dibebankannya mereka dengan pungutan-pungutan hasil bumi yang dilipatgandakan oleh kepala pribumi mereka.

Yang terakhir adalah singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan 5 tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah. Penjajahan Inggris di Indonesia tidak berlangsung lama, karena di Eropa terjadi perubahan situasi. Belanda dan Inggris kemudian mengadakan perjanjian kembali pada tahun 1814. Perjanjian tersebut di kenal dengan nama perjanjian London 1814 atau tepatnya Anglo-Dutch Treaty of 1814.

Dalam konvensi tersebut menyatakan bahwa Belanda akan menerima kembali daerah jajahan yang dahulu diserahkan kepada Inggris sebagaimana isi kapitulasi tuntang tahun 1811. Sedangkan serah terima kekuasaan antara Inggris dan Belanda kembali dilakukan pada tahun 1816 sejak tahun itu pemerintah Hindia Beanda mulai berkuasa kembali di Indonesia.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU