Optika.id - Saat ini semakin banyak orang yang berani mengeluarkan jati diri sendiri dan tidak bersembunyi-sembunyi lagi. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan tersebut? Dengan berjalanya waktu, di sekolah maupun sosial media sudah banyak yang mengedukasi mengenai jenis kelamin baru yang muncul.
Baca Juga: Suramnya Hak Asasi Manusia di bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Dengan adanya sosial media, pendukung akan mencoba untuk memengaruhi dan membangkitkan keberanian untuk penyadaran diri, oleh karena itu, orang-orang zaman sekarang telah merasa nyaman untuk mengakui perkiraan identitas nya dan mencoba untuk maju.
Dengan upaya kelompok-kelompok LGBT tersebut, meskipun tidak semuanya, masyarakat pun sudah mulai pelan-pelan menerima dan memahami keadaan mereka. Ini dikarenakan pembahasan informasi dan banyaknya pendidikan yang tersedia tentang orientasi seksual dan identitas gender yang beragam, masyarakat pun dapat memahami dan merasakan empati pada mereka, mengurangi kesalahpahaman yang dialami. Generasi muda zaman sekarang pun cenderung memiliki pandangan yang lebih terbuka dan inklusif terhadap isu LGBT dan orientasi seksual. Seiring berjalannya waktu, pandangan ini dapat mempengaruhi perubahan budaya secara keseluruhan dan mengganti perspektif orang terhadap kelompok minoritas tersebut.
Di sisi lain, juga ada banyak orang pun yang tidak menyetujui keberadaan LGBT. Indonesia adalah Negara yang beragama, kebanyakan agama tidak mendukung atau bahkan menentang orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda dengan kepercayaan mereka. Di Indonesia juga ada banyak stereotip mengenai komunitas LGBT ini, kebanyakan orang mengira apa yang mereka perbuat adalah hal yang tidak betul dan aneh.
Jika dilihat dari sisi budaya, LGBT menciptakan perubahan dalam pandangan konvensional tentang identitas gender dan orientasi seksual. Beberapa orang mungkin merasa tidak nyaman dengan perubahan ini dan lebih cenderung berpegang pada pandangan tradisional.
Dengan seperti ini, muncul nya perbedaan opini antar masyarakat. Satu pihak ingin melindungi komunitas minoritas tersebut sedangkan satu nya ingin menghapusnya. Pemerintah daerah atau lokal di beberapa tempat di Indonesia pernah melarang acara atau pertemuan yang berkaitan dengan LGBT.
Contohnya adalah pembatalan konser atau acara budaya LGBT dan penutupan tempat-tempat yang dianggap mendukung komunitas LGBT. "Isu terakhir bahwa akan ada LGBT meeting menjelang ASEAN ini. Saya minta Dinas Pariwisata melarang karena tidak sesuai budaya kita, tidak sesuai dengan Pancasila, tidak sesuai dengan agama kita," kata MTZ saat rapat kerja Komisi B dengan eksekutif, Rabu (12/7/2023).
Negara Indonesia masih merujuk pada UU Perkawinan yang hanya melegalkan perkawinan berbeda jenis kelamin. Keberadaan LGBT tidak terlepas dari penetrasi dan pengaruh nilai-nilai asing ke Indonesia. Ironisnya, fenomena ini sudah menyebar ke kalangan anak-anak yang banyak mendapat informasi dari media sosial. Oleh karena itu, saya berharap semua pihak mau bekerjasama untuk menghentikan berbagai bentuk kampanye / promosi terkait LGBT, baik melalui media sosial atau buku-buku bacaan demi melindungi masa depan anak-anak Indonesia, tegas Menteri Yohana.
Baca Juga: KPU Tak Sediakan TPS Khusus, Komnas HAM: Pekerja di RS hingga IKN Kehilangan Hak Pilih
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagai bangsa yang beradab tentu bangsa Indonesia dan juga agama-agama yang ada di Indonesia menolak penyimpangan seksual sebagian kaum hedon ini, tegas Sylvi dalam rilisnya.
Dari peristiwa diatas, kami dapat mengetahui bahwa alasan terbesar mengapa Indonesia masi ada banyak orang yang tidak menyetujui keberadaan komunitas LGBT adalah dipengaruhi oleh budaya, agama, politik dan ideologi. Orang-orang diatas yang menyatakan opini merupakan orang-orang yang memiliki pengaruh di Indonesia, dengan mereka berpendapat seperti itu, otomatis banyak orang yang akan menyetujui dan mengikuti pendapatnya.
Selain dari itu, ada sebagian orang yang mendukung kebebasan / hak manusia untuk memilih gender masing-masing. Mereka memperdebatkan dan memiliki alasan sebagai berikut: LGBT yang terbuka pada masyarakat sekarang masih mengalami banyak diskriminasi dan sulit mangakses kesehatan, pendidikan maupun kesempatan kerja yang sama dengan yang lain. Komunitas LGBT tersebut juga mengalami banyak kekerasan atas stereotip oleh masyarakat-masyarakat, contoh: pada tahun 2017, Aceh secara ketat mempertimbangkan undang-undang LGBT karena Aceh menaati hukum Syariah Islam (1 Oktober 2014) yang memberi mereka kekuasaan untuk menentukan sistem peradilannya sendiri.
Berdasarkan CNN Indonesia, warga di Aceh menggerebek pasangan LGBT di sebuah rumah kos karena kecurigaan pemiliknya. Pasangan itu diberi hukuman 85 kali cambuk untuk memperingati mereka.Setelah kejadian itu terjadi, Aceh menjadi lebih sadar akan keseriusan penyakit mental tersebut dan tidak mau menerimanya.
Baca Juga: Komnas HAM: Pencoblosan Pemilu 2024 Masih Diwarnai Banyak Permasalahan
Ketua Divisi Penegakan Syariat Islam kemudian terus menelusuri keberadaan komunitas lain. Hingga saat ini, mereka telah menangkap 12 perempuan transgender yang dikenal sebagai waria dan memaksa mereka untuk telanjang di depan jalan serta mencukur rambut mereka dan bertingkah laku seperti laki-laki sejati karena telah mengaku-mengaku.
Di dalam tahanan mereka diharuskan menerima pendidikan ulang gender yang mengharuskan mereka mengenakan pakaian laki-laki, melakukan latihan fisik seperti push-up dan sit-up, dan diberikan instruksi untuk memperdalam suara mereka hingga mereka terlihat jantan seperti yang diharapkan. Mereka yang ditahan mengatakan bahwa mereka ditelanjangi dan dipukuli oleh polisi, dan setelah dibebaskan sebagian besar dari mereka menderita trauma psikologis.
Dari beberapa peristiwa ini, kita dapat mengetahui perspektif mereka yang menganggap tindakan ini sebagai penyakit jiwa dan omong kosong. Meskipun mereka sesama manusia, namun keadilan hanya untuk orang normal. Haruskah kami melindungi mereka dan menerima orientasi gender tersebut atau menghapusnya untuk melindungi kepercayaan dan kebeneran yang seharusnya diterapkan?
Editor : Pahlevi