Kini masyarakat jauh lebih mudah mendengarkan lagu dari musisi favorit mereka seiring dengan perkembangan platform streaming musik di Indonesia. hal tersebut tentu berbeda dengan 50 tahun yang lalu ketika orang ingin mendengarkan musik, opsi satu-satunya hanya di radio dan perangkat yang repot untuk dibawa-bawa.
Baca Juga: Reggae: Melodi Masa Lalu, Pesan Masa Kini
Seiring dengan kemudahan tersebut, tentunya ada dampak lainnya yang merugikan. Salah satunya adalah risiko pembajakan yang dikhawatirkan oleh pelaku seni meningkat dengan masifnya penggunaan platform music streaming.
Menurut Manager Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, perkembangan dunia musik kini sudah sangat modern dan pembajakan sudah tidak relevan lagi untuk dikhawatirkan. Untuk diketahui, pembajakan merupakan upaya menyalin suatu karya seni dan menyebar luaskannya ke khalayak demi kepentingan komersial.
Persoalan Hak Cipta
Hafez mengatakan bahwa yang menjadi masalah dan ancaman bukanlah pembajakan, melainkan pelanggaran hak cipta yang tentunya merugikan pada musisi. Dikutip dari laman Koalisi Seni, Indonesia sebenarnya mempunyai hak cipta dan hak terkait. Pihka yang memiliki hak cipta adalah pencipta itu sendiri sementara yang memiliki hak terkait salah satunya adalah pelaku pertunjukan.
Saat ini, ujar Hafez, kehadiran dari platform streaming musik digital tidak diimbangi dengan kebijakan yang bisa melindungi pencipta dan karyanya. Apalagi, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum mengatur lebih lanjut mengenai hal tersebut dan UU itu belum mengikuti perkembangan industri musik yang makin modern.
Baca Juga: Masih Bertahan, Ini Tips Optimalkan Penjualan Live Shopping Streaming
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selain tidak mengatur secara khusus mengenai hak cipta musik digital, UU itu tidak mengatur konsekuensi digitalisasi yang melibatkan banyak pelaku. Padahal, saat ini merilis dan mempromosikan karya lewat platform digital sudah mulai digandrungi oleh sebagian besar musisi dan pencipta lagu di tanah air.
Lahirnya UU Hak Cipta yang pertama pada 1982 didorong oleh tekanan industri dalam negeri dan organisasi dagang internasional untuk mengkampanyekan retorika antipembajakan. Pada akhirnya, muncullah ketakutan bilamanadigitalisasi menjadi peluang lahirnya pembajakan model baru, tutur Hafez, dalam keterangannya, Senin (28/8/2023).
Salah satu faktor yang membuat kebijakan hak cipta di Indonesia seakan-akan terbata-bata dalam mengatur ranah musik digital menurut Hafez adalah pembajakan Salinan fisik dan teknologi dengan segala perkembangannya itu. Pasalnya, kebijakan yang tersedia saat ini masih mengidentifikasi digital sebagai format alih-alih perubahan yang lebih modern dalam industri musik.
Baca Juga: Konser Musik, Anak Muda dan Pencarian Eksistensi
Hafez menyebut bahwa isu utama dalam maraknya layanan streaming musik di Indonesia bukanlah soal pembajakan, melainkan perlindungan hak cipta terhadap suatu karya. Sehingga, bisa menciptakan sistem tata kelola royalty digital yang lebih transparan serta berpihak pada mereka.
Di sisi lain, Koalisi Seni juga menjumpai beberapa situasi industri yang kian eksploitatif terhadap musisi itu sendiri. Dia menilai, saat ini penyedia akses terhadapa salinan (streaming) digital telah memunculkan aktor-aktor anyar seperti platform itu sendiri misalnya aggregator, label rekaman berbasis kekayaan intelektual (KI), label rekaman 360, penerbit musik, dan lain sebagainya. Alhasil, hubungan musisi dengan para pelaku baru di ranah musik digital berkembang kian kompleks dengan berbagai kepentingan yang berbenturan satu sama lain.
Editor : Pahlevi