Optika.id - Beberapa waktu yang lalu, dalam keterangannya di media dalam merespons tingkat kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di Indonesia, Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin menyatakan keprihatinannya terhadap rendahnya para pejabat publik yang melaporkan asetnya secara jujur di LHKPN. Maka dari itu, dia meminta agar mereka melaporkan semua kekayaan itu dilaporkan secara jujur.
Baca Juga: Kejaksaan Agung Tetapkan Eks Menteri Perdagangan Thomas Lembong Sebagai Tersangka Kasus Impor Gula
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, berdasarkan laporan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), LHKPN untuk jajaran penyelenggara negara di tingkat legislative baru ada sekitar 38n eksekutif sebanyak 53% saja.
Sementara itu, yudikatif memiliki tingkat laporan yang cukup tinggi yakni sebesar 94%.
Penyampaian LHKPN secara jujur ini buntut dari banyaknya LHKPN yang disampaikan tidak sesuai dengan aslinya. Sebagai contoh adalah kasus Rafael Alun Trisambodo. KPK dalam penyelidikannya menemukan kejanggalan atas kepemilikan kendaraan mewah yang kerap dipamerkan anaknya, Mario Dandy. Adapun kendaraan mewah yang dimaksud yakni motor gede (moge) Harley Davidson dan mobil Jeep Rubicon yang kini sudah disita dan dalam proses pelelangan sebagai ganti restitusi kepada David Ozora.
Kendaraan mewah tersebut nyatanya tidak dilaporkan oleh Rafael Alun dalam LHKPN nya. Dia berdalih bahwa Rubicon yang dipakai anaknya itu adalah milik kakaknya. Tak berhenti disitu, KPK juga mengungkap beberapa kepemilikan harta lainnya dalam bentuk saham di enam perusahaan yang berbeda. Lagi-lagi, Rafael hanya melaporkan nilai sahamnya saja sebesar Rp1,5 miliar.
Menanggapi hal itu, Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai bahwa para pejabat publik ini sedikit pintar dalam mengelabui dan menyembunyikan harta kekayaannya. Dalam praktiknya, dia tak menampik ada pejabat yang mengakali LHKPN dengan modus pinjam nama.
Meski secara legal dimiliki oleh orang lain, tapi pemilik manfaat adalah si pejabat. Kalau sudah seperti itu bisa saja ada motif pencucian uang," kata Fajry kepada Optika.id, Senin (18/9/2023).
Adapun modus lainnya adalah dengan tidak melaporkan sesuai dengan harga yang belaku atau nilai pasar saat itu. Misalnya, nilai pasar yang seharga Rp100 miliar, namun yang dimasukkan hanya Rp10 miliar.
Baca Juga: Ketua DPRD Jatim 2019-2024 Diusut KPK: Kapan Tersangka?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Biasanya, hal semacam itu berupa asset property seperti rumah, dan sejenisnya.
Di sisi lain, KPK sendiri juga masih terus melakukan penelusuran terkait dugaan adanya anggota geng yang bersemayam di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Geng tersebut bersekongkol menyamarkan harta kekayaannya dengan pola-pola yang sangat canggih.
Pola yang dimaksud digunakan untuk menyamarkan kepemilikan harta sehingga ada celah untuk tidak perlu dilaporkan dalam LHKPN. Misalnya, pinjam nama tadi.
Baca Juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat
Di sisi lain, pola berikutnya adalah dengan mengatasnamakan kepemilikan harta terhadap perusahaan.
Modus lain yang dilakukan adalah pengaburan nama harta dengan mencatut nama orang lain. Misalnya asset kendaraan, fakta yang sering terungkap di lapangan adalah pemilik aslinya menggunakan nama pekerja rumah tangga (PRT) mereka atau orang lain yang diberi imbalan. Modus ini mirip dengan pinjam nama, namun memberi imbalan terhadap nama orang yang mereka catut.
Dengan demikian, nama yang tertera di bukti kepemilikan kendaraan tersebut bukan nama pemilik aslinya. Modus ini juga pernah marak terjadi di kepemilikan saham sehingga muncul istilah nominee shareholder, ucapnya.
Editor : Pahlevi